MOSKOW (Arrahmah.com) – Ketegangan antara Rusia dan Amerika Serikat semakin memburuk sehari sebelum pejabat tinggi dari kedua negara akan bertemu, dengan Moskow mengambil langkah untuk mengusir diplomat AS.
Juru bicara kementerian luar negeri Rusia Maria Zakharova mengatakan pada Rabu (1/12/2021) bahwa staf kedutaan AS yang telah berada di Moskow selama lebih dari tiga tahun diperintahkan untuk terbang pulang pada tanggal 31 Januari, sebuah langkah yang tampaknya merupakan pembalasan, lansir Al Jazeera.
Duta Besar Rusia untuk AS mengatakan pekan lalu bahwa 27 diplomat Rusia dan keluarga mereka diusir dari negara itu dan akan pergi pada 30 Januari.
“Kami bermaksud untuk menanggapi dengan cara yang sesuai,” kata juru bicara kementerian luar negeri Maria Zakharova dalam sebuah pengarahan.
Perkembangan itu terjadi menjelang pertemuan antara Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken dan timpalannya dari Rusia Sergey Lavrov di sela-sela KTT Organisasi untuk Keamanan dan Kerjasama Eropa (OSCE) di Stockholm pada Kamis – dan dengan latar belakang pertemuan NATO yang dipimpin Washington tentang Ukraina.
Kantor berita Rusia RIA mengutip Zakharova mengatakan bahwa aturan baru AS berarti diplomat Rusia yang telah dipaksa meninggalkan negara itu juga dilarang bekerja sebagai diplomat di sana selama tiga tahun.
Kedutaan Besar AS di Moskow adalah misi operasional AS terakhir di negara itu, yang telah menyusut menjadi 120 staf dari sekitar 1.200 pada awal 2017, kata Washington.
Pengurangan lebih lanjut dalam staf kedutaan AS akan memberi tekanan pada operasi yang sebelumnya digambarkan Washington sebagai “kehadiran sementara”.
Tetapi Wakil Menteri Luar Negeri Sergei Ryabkov mengatakan Moskow akan menghentikan rencananya jika Washington mengabaikan langkahnya.
Kekhawatiran atas Ukraina meningkat
Hubungan antara Washington dan Moskow, yang telah mendekam di posisi terendah pasca-Perang Dingin selama bertahun-tahun, berada di bawah tekanan yang meningkat karena kekhawatiran Barat atas penumpukan pasukan Rusia di dekat Ukraina.
Ukraina pada Rabu mendesak Washington dan aliansi keamanan transatlantik NATO yang dipimpin AS untuk mempersiapkan sanksi ekonomi terhadap Rusia guna mencegah kemungkinan invasi oleh puluhan ribu tentara Rusia.
Menteri Luar Negeri Ukraina Dmytro Kuleba mengatakan dia akan mengajukan permintaan itu ke pertemuan para menteri luar negeri NATO untuk hari kedua di Latvia pada Rabu.
“Kami akan meminta sekutu untuk bergabung dengan Ukraina dalam menyusun paket pencegahan,” kata Kuleba kepada wartawan saat ia tiba untuk pembicaraan di Riga.
Kuleba menambahkan bahwa NATO juga harus meningkatkan kerja sama militer dan pertahanan dengan Ukraina.
Ukraina bukan anggota NATO tetapi aliansi tersebut mengatakan pihaknya berkomitmen untuk menjaga kedaulatan bekas republik Soviet, yang telah condong ke Barat sejak 2014, ketika Moskow mencaplok Krimea dari Kyiv dan separatis yang didukung Moskow merebut petak wilayah di Ukraina timur, memicu konflik yang terus membara hingga hari ini.
Kyiv bercita-cita untuk bergabung dengan NATO dan Uni Eropa. Rusia tidak ingin itu terjadi.
Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan pada Rabu bahwa ia ingin mengadakan pembicaraan dengan negara-negara Barat untuk mendapatkan jaminan bahwa NATO tidak akan memperluas ke timur.
Pada Selasa, dia mengatakan Moskow siap dengan senjata hipersonik yang baru diuji jika NATO melintasi “garis merah” dan menyebarkan rudal di Ukraina, di mana Kremlin mengatakan Kyiv telah memobilisasi 125.000 tentara, atau setengah tentaranya, di zona konflik di negara itu.
Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskiy mengatakan pada Rabu bahwa pembicaraan langsung dengan Moskow diperlukan untuk mengakhiri perang di wilayah Donbas, yang menurut Kyiv telah menewaskan lebih dari 14.000 orang. (haninmazaya/arrahmah.com)