GAZA (Arrahmah.id) – Pada Senin (19/5/2025), hanya 5 truk dari total 11 yang berhasil memasuki Jalur Gaza melalui perlintasan Karam Abu Salem, meskipun sebelumnya ‘Israel’ telah mengumumkan persetujuannya untuk mengizinkan masuknya 100 truk bantuan. Seorang pejabat Uni Eropa menyebut jumlah ini sebagai “setetes air di lautan”.
Sebelumnya, seorang pejabat PBB menyatakan bahwa ‘Israel’ telah menyetujui pengiriman sekitar 100 truk bantuan ke Gaza. Meskipun angka tersebut masih jauh dari cukup, kenyataannya yang benar-benar sampai ke Gaza bisa dibilang nyaris tak berarti.
Setelah 11 pekan pengepungan ketat oleh ‘Israel’, kemarin (Senin), Israel mengizinkan masuknya 11 truk bantuan ke Gaza. Namun menurut Juru Bicara Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan, Jens Laerke, hanya 5 truk yang benar-benar berhasil masuk.
Laerke menyampaikan, “Kami sudah meminta dan mendapatkan persetujuan untuk lebih banyak truk hari ini, jumlahnya jauh lebih besar dibanding kemarin.” Saat ditanya berapa tepatnya jumlah truk yang disetujui, Laerke menjawab dalam konferensi pers di Jenewa, “Sekitar 100.”
Dia juga menambahkan bahwa langkah selanjutnya adalah mengumpulkan bantuan tersebut untuk didistribusikan lewat sistem yang sudah terbukti mampu bekerja. Bantuan tersebut terutama terdiri dari makanan dan produk gizi untuk anak-anak.
Kondisi gizi di Gaza memburuk
Selama pengepungan berlangsung, tingkat malnutrisi di Gaza melonjak tajam, dan diperkirakan akan terus memburuk jika krisis pangan berlanjut. Hal ini diungkapkan oleh seorang pejabat kesehatan dari UNRWA (Badan PBB untuk Pengungsi Palestina) dalam konferensi pers yang sama.
Akihiro Seita, Direktur Kesehatan UNRWA, mengatakan, “Data terakhir kami sampai akhir April menunjukkan bahwa malnutrisi semakin parah. Jika situasinya tetap seperti ini, kondisinya akan memburuk hingga di luar kendali.”
Meski ‘Israel’ telah menyetujui masuknya sejumlah bantuan, seorang pejabat dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menegaskan bahwa volume bantuan yang diizinkan “sangat tidak mencukupi.” Hal senada disampaikan oleh Komisaris Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa, Kaja Kallas, yang menyebut bantuan ini hanyalah “setetes di lautan”.
Kecaman internasional terus berdatangan
PBB menegaskan bahwa peristiwa 7 Oktober 2023 tidak dapat dijadikan pembenaran atas pembunuhan massal dan pemblokiran bantuan ke Gaza. Menteri Luar Negeri Norwegia, Espen Barth Eide, menyebut situasi di Gaza sebagai bencana dan mengatakan rakyat Palestina sangat membutuhkan bantuan sekarang lebih dari kapan pun.
Menteri Luar Negeri Spanyol, José Manuel Albares, juga mengatakan bahwa situasi di Gaza sangat tidak dapat diterima dan bencana kemanusiaan yang tengah berlangsung ini menuntut pembukaan akses bantuan segera.
Sementara itu, Menlu Belanda, Kaspar Veldkamp, menyerukan agar bantuan kemanusiaan bisa masuk ke Gaza tanpa syarat, serta mendesak ‘Israel’ untuk menyetujui gencatan senjata.
Krisis kemanusiaan yang belum pernah terjadi sebelumnya
Lebih dari dua juta warga Palestina di Gaza kini menghadapi krisis kemanusiaan yang belum pernah terjadi sebelumnya akibat pembatasan ketat dari ‘Israel’ terhadap masuknya bantuan sejak awal Maret lalu.
Pembatasan ini semakin memperparah penderitaan penduduk Gaza yang menjadi korban genosida oleh ‘Israel’ sejak Oktober 2023. Serangan tersebut telah menyebabkan lebih dari 174.000 warga Palestina menjadi korban jiwa atau luka-luka, mayoritas dari mereka adalah anak-anak dan perempuan, serta lebih dari 11.000 orang dilaporkan hilang. (zarahamala/arrahmah.id)