(Arrahmah.id) – Ben-Zion Netanyahu bukan sekadar nama dalam sejarah keluarga Perdana Menteri “Israel” Benjamin Netanyahu. Ia adalah sosok yang selama hampir satu abad membawa ideologi ekstrem yang tak kalah radikal dari kebijakan putranya saat ini. Pemikirannya yang terbentuk dari pengalaman hidup penuh konfrontasi dengan dunia Arab tampaknya telah diwariskan kepada Benjamin Netanyahu, membentuk sikap kerasnya terhadap Palestina yang terus tercermin dalam tindakan dan ucapannya hingga hari ini.
Lantas, siapa sebenarnya Ben-Zion Netanyahu? Bagaimana ia memengaruhi jalannya gerakan Zionis? Dan mengapa pandangannya terhadap Arab selalu begitu bermusuhan?

Ben-Zion: Biografi Singkat
Ben-Zion Mileikowsky—yang kemudian dikenal sebagai Netanyahu, yang berarti “pemberian Tuhan”—lahir di Warsawa, Polandia, pada tahun 1910, saat negara itu masih berada di bawah kekuasaan Rusia Tsar. Ayahnya, Nathan Mileikowsky, adalah seorang penulis dan aktivis Zionis asal Belarus yang juga seorang rabi. Nathan menghabiskan hidupnya bepergian ke Eropa dan Amerika Serikat untuk menyampaikan ceramah yang mendukung gerakan Zionisme yang diyakininya sepenuh hati.
Pada tahun 1920, Nathan memutuskan untuk berimigrasi ke Palestina bersama keluarganya, mengikuti gelombang besar imigrasi Yahudi. Setelah berpindah-pindah antara Yafo, Tel Aviv, dan Safed, keluarga Mileikowsky akhirnya menetap di Yerusalem, di mana Ben-Zion menempuh pendidikan di Institut David Yellin dan Universitas Ibrani Yerusalem.

Saat itu, banyak imigran Zionis yang mengadopsi nama-nama Ibrani. Nathan Mileikowsky mulai menandatangani beberapa tulisannya dengan nama “Netanyahu,” versi Ibrani dari nama depannya. Ben-Zion kemudian mengadopsi nama ini sebagai nama keluarga resminya. Pada tahun 1944, ia menikahi Tzila Segal, yang kelak digambarkan oleh putranya, Benjamin Netanyahu, sebagai “poros keluarga kami dan otoritas tertinggi di dalamnya.”
Ben-Zion belajar sejarah abad pertengahan di Universitas Ibrani Yerusalem. Selama masa studinya, ia bergabung dengan Gerakan Zionisme Revisionis, sebuah gerakan yang memisahkan diri dari arus utama Zionisme karena menganggap gerakan utama terlalu kompromistis terhadap otoritas Inggris yang menguasai Palestina kala itu. Sebaliknya, kaum revisionis yang dipimpin oleh Ze’ev Jabotinsky mengusung nasionalisme Yahudi yang lebih ekstrem, menolak Zionisme sosialis yang mendominasi “Israel” pada masa-masa awalnya. Mereka percaya bahwa wilayah “Israel” mencakup seluruh Palestina historis dan Yordania.
Karena minatnya pada jurnalistik dan akademik, Ben-Zion menjadi editor di majalah Ibrani Betar (1933-1934), lalu menjadi pemimpin redaksi surat kabar harian HaYarden, yang merupakan corong propaganda Zionisme revisionis di Yerusalem (1934-1935). Namun, surat kabar ini kemudian ditutup oleh otoritas Inggris pada tahun 1940.
Pada tahun 1939, ia pindah ke New York untuk bekerja sebagai sekretaris Ze’ev Jabotinsky, yang saat itu berusaha menggalang dukungan Amerika Serikat untuk Zionisme bersenjata. Setelah Jabotinsky wafat di tahun yang sama, Ben-Zion menjadi Direktur Eksekutif Organisasi Zionis Baru di Amerika, yang merupakan saingan politik lebih radikal dari Organisasi Zionis Amerika yang moderat. Ia menjabat posisi ini hingga tahun 1948.

Tahun-Tahun Pergulatan dan Akhir Hidup
Ben-Zion sangat percaya pada konsep “Israel Raya” dan menentang keras segala bentuk kompromi wilayah. Ketika PBB mengeluarkan Rencana Pembagian Palestina pada 29 November 1947, ia menjadi salah satu penandatangan petisi penolakan terhadap rencana tersebut. Selama periode ini, ia aktif di Washington D.C., menjalin hubungan dengan anggota Kongres guna memperkuat dukungan terhadap agenda Zionisme radikalnya.
Pada tahun 1949, ia kembali ke “Israel” dan mencoba masuk ke dunia politik. Namun, usahanya gagal karena negara yang baru berdiri itu dikuasai oleh Zionis tradisional yang dipimpin David Ben-Gurion, yang menganggap kelompok revisionis sebagai ancaman bagi stabilitas negara.
Meski gagal di politik, Ben-Zion tetap aktif di bidang akademik. Ia tidak berhasil masuk ke fakultas Universitas Ibrani, tetapi berkat bantuan mentornya, Joseph Klausner, ia memperoleh posisi sebagai editor di Ensiklopedia Ibrani. Setelah Klausner meninggal, Ben-Zion menjadi editor utama bersama beberapa akademisi lainnya.
Ia kemudian pindah ke Amerika Serikat dan mengajar di berbagai universitas, termasuk Universitas Cornell, di mana ia menjabat sebagai Ketua Departemen Bahasa dan Sastra Semit antara 1971 dan 1975. Namun, setelah putranya, Yonatan Netanyahu, terbunuh dalam operasi militer di Entebbe pada 1976, Ben-Zion memutuskan kembali ke “Israel” dan melanjutkan karier akademiknya.
Saat wafat pada tahun 2012 dalam usia 102 tahun, Ben-Zion masih menjadi anggota Akademi Seni dan Sains serta Profesor Emeritus di Universitas Cornell.

Ben-Zion Netanyahu dan Gurunya, Jabotinsky
Ben-Zion Netanyahu pernah menulis dalam salah satu artikelnya bahwa “Arab dan Yahudi seperti dua kambing yang bertemu di jembatan sempit. Salah satunya harus melompat ke sungai, tetapi keduanya tidak ingin mati. Oleh karena itu, mereka terus bertarung dengan keyakinan bahwa salah satu dari mereka akan lelah dan menyerah, lalu yang lebih kuat akan memaksa yang lebih lemah untuk melompat. Melompat bagi Yahudi berarti hilangnya bangsa Yahudi, sementara bagi Arab, melompat hanya akan menyebabkan kerugian kecil bagi mereka.”
Kutipan ini mengungkapkan pengaruh besar Ze’ev Jabotinsky, pemimpin gerakan Zionisme Revisionis, terhadap Ben-Zion Netanyahu. Ayahnya, Rabbi Nathan Milikowsky, juga mengagumi Jabotinsky dan menganggapnya sebagai pemimpin sejati Zionisme yang mengarahkan kebijakan radikal terhadap Arab.
Ben-Zion Netanyahu percaya bahwa mayoritas besar Arab di Israel akan memilih untuk memusnahkan orang Yahudi jika mereka memiliki kesempatan. Keyakinan ini mendorongnya sejak masa mudanya untuk mendukung gagasan pemindahan paksa penduduk Arab dari Palestina, sebuah ide yang ia pertahankan hingga akhir hayatnya. Ia terus menyuarakan pandangannya dalam berbagai kesempatan.
Dalam wawancara tahun 2009 dengan surat kabar Maariv Israel, ia menegaskan pandangannya tentang konflik Arab-Israel dengan mengatakan: “Kecenderungan terhadap konflik adalah inti dari pemikiran Arab. Mereka secara alami adalah musuh. Karakter mereka tidak memungkinkan adanya kompromi. Terlepas dari perlawanan yang mereka hadapi atau harga yang mereka bayar, keberadaan mereka berarti perang yang terus-menerus.”
Mungkin pandangan ekstrem Ben-Zion Netanyahu terhadap Arab membuat banyak analis berpendapat bahwa putranya, Benjamin Netanyahu, tidak akan mampu menandatangani perjanjian damai komprehensif dengan negara-negara Arab selama ayahnya masih hidup.

Meskipun Netanyahu secara terbuka membantah anggapan ini dan menyebutnya sebagai “omong kosong”, seperti yang dikutip oleh surat kabar Herald, kebijakan dan tindakannya di lapangan, terutama di Gaza, menunjukkan adopsi yang jelas terhadap pendekatan keras yang dipegang oleh ayahnya.
Namun, untuk memahami lebih dalam, kita harus melihat kembali Jabotinsky dan bagaimana ia meyakinkan tiga generasi keluarga Netanyahu—kakek, ayah, dan cucu—tentang ideologi ini. Jabotinsky dikenal karena penolakannya terhadap strategi diplomasi Zionisme arus utama, yang menurutnya hanya berusaha menipu orang Arab dengan negosiasi sambil menyembunyikan niat sebenarnya untuk mengambil tanah Palestina.

Dalam tulisannya, Jabotinsky menegaskan bahwa “Kita bisa mengatakan apa saja kepada orang Arab untuk meyakinkan mereka tentang niat baik kita, kita bisa menggunakan kata-kata yang paling manis, tetapi mereka tahu persis apa yang kita inginkan, seperti halnya kita tahu apa yang mereka tolak. Mereka merasakan cinta terhadap Palestina dengan naluri yang sama seperti yang dirasakan oleh suku Aztek terhadap Meksiko kuno mereka.”
Jabotinsky percaya bahwa gerakan Zionis membuang-buang waktu dalam negosiasi, padahal seharusnya mereka fokus pada pembangunan kekuatan militer yang kuat untuk melindungi pemukim Yahudi. Ia menulis: “Semua bangsa pribumi di dunia akan selalu melawan penjajah selama mereka masih memiliki harapan sekecil apa pun untuk menyingkirkan mereka.”
Ia juga menambahkan: “Tidak peduli bagaimana kita merumuskan tujuan kolonial kita, baik dengan kata-kata Herzl atau Herbert Samuel, kolonialisme memiliki satu makna yang jelas bagi setiap orang Yahudi dan setiap orang Arab. Koloni hanya memiliki satu tujuan, dan orang Arab Palestina tidak akan pernah bisa menerima tujuan itu.”
Atas dasar ini, Jabotinsky menekankan bahwa keberhasilan dan stabilitas proyek Zionis hanya dapat dicapai melalui “pembangunan kekuatan independen dari penduduk asli, di balik tembok besi yang tidak dapat mereka tembus. Inilah kebijakan kami terhadap orang Arab.”
Di bawah ideologi ini, Ben-Zion Netanyahu benar-benar percaya pada pandangan gurunya, Jabotinsky, tentang konflik dengan Arab. Jabotinsky berpendapat bahwa sikap Arab sangat kaku dan tidak dapat diselesaikan dengan perjanjian, tidak seperti keyakinan Zionisme arus utama. Oleh karena itu, gerakan Zionisme Revisionis tidak mengandalkan diplomasi kecuali untuk memfasilitasi pemindahan paksa dan pembunuhan terhadap orang Palestina.
Jabotinsky bahkan menyatakan bahwa “90% dari Zionisme terdiri dari tindakan pemukiman yang kejam, termasuk pembunuhan dan pengusiran, sementara hanya 10% yang terkait dengan politik.”
Dalam artikel yang diterbitkan oleh surat kabar Haaretz pada tahun 2018 berjudul “Bagaimana Ayah Netanyahu Menganut Pandangan bahwa Orang Arab adalah Bangsa Biadab?”, penulis menelusuri perjalanan pemikiran ekstrem Ben-Zion Netanyahu terhadap Arab dan Palestina. Artikel tersebut menyebutkan bahwa Ben-Zion mendapatkan pengaruh kuat dari sejarawan Joseph Klausner, seorang profesor sastra Ibrani dan editor utama Ensiklopedia Ibrani, yang menjadi mentornya.
Ben-Zion sepenuhnya mengadopsi pandangan Klausner yang menggambarkan Arab sebagai “bangsa setengah biadab” yang hanya dapat ditangani dengan kekuatan dan ketegasan. Menurut artikel tersebut, Ben-Zion kemudian mengadopsi pandangan ini sebagai dasar ideologinya, yang semakin memperkuat permusuhannya terhadap orang Arab.
Pandangan ekstrem ini tampak dalam artikel-artikel Ben-Zion yang diterbitkan di surat kabar HaYarden, media yang dikelola oleh Zionisme Revisionis. Dalam artikel tertanggal 6 Agustus 1934, ia menggambarkan Arab sebagai “setengah liar yang nyaris tidak beradab.”
Ia menulis: “Seperti bagaimana orang-orang Arab liar di Jazirah Arab mengejar pengungsi Yahudi dari Spanyol di lereng Aljazair pada abad ke-15, mereka sekarang mengejar para pengungsi dari neraka diaspora di gerbang tanah air kita.”
Dalam artikel lain berjudul “Pemukiman Pedesaan dan Pemukiman Perkotaan”, yang diterbitkan pada Desember 1934, Ben-Zion membandingkan tanah Israel dengan Amerika dan menyamakan Yahudi dengan warga Amerika Serikat, sementara Arab ia bandingkan dengan suku Indian.
Ia menulis: “Penaklukan tanah adalah salah satu proyek pertama dan terpenting dalam setiap kolonisasi.”
Ia kemudian menambahkan dengan nada yang jelas-jelas mendukung pembersihan etnis:
“Kita harus memahami bahwa negara bukan hanya konsep matematis tentang jumlah populasi, tetapi juga konsep geografis. Bangsa Anglo-Saxon, yang terus-menerus berkonflik dengan suku Indian, tidak hanya membangun kota-kota besar seperti New York dan San Francisco di tepi dua samudra yang mengapit Amerika Serikat, tetapi juga memastikan adanya jalur yang menghubungkan kedua kota tersebut. Jika para penakluk Amerika membiarkan tanah itu tetap di tangan orang Indian, maka sekarang, dalam skenario terbaik, hanya akan ada beberapa kota Eropa di Amerika Serikat, sementara seluruh negeri akan dihuni oleh jutaan orang Indian!”
Pengaruh Ben-Zion Netanyahu terhadap putranya, Benjamin Netanyahu, sangat nyata. Pada 16 Desember 2023, setelah hampir 17 tahun menjabat sebagai Perdana Menteri Israel secara bergantian, Benjamin Netanyahu dengan bangga menyatakan kepada rakyat Israel: “Saya adalah penghalang utama bagi pembentukan negara Palestina,” sementara sayap kiri Israel mencoba, dengan cara tertentu, untuk menawarkan konsesi yang dapat mengarah pada solusi politik dan mengakhiri konflik.
Itulah Ben-Zion Netanyahu, ayah dari Perdana Menteri saat ini yang secara terbuka menyerukan pembersihan Gaza dan pengusiran penduduknya. Meskipun ia tidak secara eksplisit menyatakan bahwa ia mengikuti prinsip-prinsip Zionisme Revisionis seperti ayahnya, tindakan dan kebijakannya di lapangan membuktikan bahwa ia berusaha mewujudkan impian yang sama!
** Penulis: Muhammad Shaban Ayoub adalah seorang peneliti dalam bidang sejarah dan warisan. Ia telah menerbitkan lima buku tentang sejarah Abbasiyah, Mamluk, dan Utsmaniyah, serta puluhan artikel di berbagai situs dan jurnal.
Sumber Artikel: Al Jazeera
(Samirmusa/arrahmah.id)