ISLAMABAD (Arrahmah.id) — Angka pernikahan anak di Pakistan kembali meningkat setelah sempat menurun pada beberapa tahun lalu. Menurut laporan, jumlah pernikahan dini bagi anak-anak perempuan di Pakistan kembali meningkat sejak banjir akibat hujan monsun dan glester mencair pada 2022 lalu yang menewaskan ribuan orang lebih.
Dilansir France24 (28/8/2024), para pekerja hak asasi manusia (HAM) mengungkapkan bahwa pada saat ini, ada banyak anak-anak perempuan terpaksa menikah dengan sosok yang lebih tua akibat ketidakstabilan ekonomi yang dipicu oleh perubahan iklim.
Umumnya, musim panas yang terjadi pada Juli hingga September sangat menguntungkan jutaan petani dan mampu memberikan “Keluarga akan mencari cara apa pun untuk bertahan hidup.
Cara pertama dan paling jelas adalah dengan menikahkan anak perempuan mereka dengan imbalan uang.”dampak ketahanan pangan.
Namun, perubahan iklim yang terjadi justru membuat musim hujan menjadi lebih berat dan lama, meningkatkan risiko tanah longsor, banjir, hingga kerusakan tanaman jangka panjang.
Sejak banjir besar pada 2022 lalu, banyak desa di wilayah pertanian Sindh yang belum pulih seutuhnya. Tak heran, banjir yang belum pernah terjadi sebelumnya di Pakistan itu telah menenggelamkan sepertiga wilayah negara, membuat jutaan orang mengungsi, dan merusak panen.
Pendiri LSM Sujag Sansar, Mashooque Birhmani mengungkapkan bahwa kondisi tersebut menciptakan tren baru di tengah masyarakat, yakni pernikahan anak yang disebut sebagai “Pernikahan pengantin musim hujan”.
“Keluarga akan mencari cara apa pun untuk bertahan hidup. Cara pertama dan paling jelas adalah dengan menikahkan anak perempuan mereka dengan imbalan uang,” jelas Birhmani, dikutip Arab News (29/8).
Birhmani mengungkapkan bahwa secara spesifik, pernikahan dini pasca banjir 2022 paling banyak terjadi di desa-desa di distrik Dadu. Distrik ini adalah kawasan yang terkena dampak banjir paling parah selama berbulan-bulan hingga berubah bentuk menyerupai danau.
Sebagai contoh, di desa Khan Mohammad Mallah sebanyak 45 anak perempuan di bawah umur dilaporkan telah menikah sejak musim hujan terakhir. Bahkan, 15 anak di antaranya menikah pada Mei dan Juni 2024 lalu.
“Sebelum musim hujan 2022, tidak ada kebutuhan untuk menikahkan anak perempuan berusia muda di daerah kami,” kata tetua desa Mai Hajani.
“Mereka bekerja di ladang, membuat tali untuk tempat tidur kayu. Sedangkan para lelaki sibuk dengan perikanan dan pertanian. Selalu ada pekerjaan yang harus diselesaikan,” sambungnya.
Seiring dengan pernyataan Birhmani, para orang tua mengaku bahwa mereka terpaksa menikahkan anak-anaknya saat usia yang terlalu dini demi menyelamatkan keluarga dari kemiskinan. Biasanya, keluarga akan mendapatkan imbalan uang jika “merelakan” anaknya untuk dinikahkan.
Mertua dari salah satu anak perempuan yang dinikahkan mengaku bahwa mereka memberikan 200 ribu rupee Pakistan atau sekitar Rp11 juta kepada orang tua pengantin perempuan saat pernikahan (asumsi kurs Rp55,47/rupee Pakistan). Jumlah tersebut diklaim sudah cukup besar bagi keluarga miskin yang terdampak banjir besar dua tahun lalu itu.
Najma Ali (16) mengaku bahwa saat ini ia terlilit utang akibat menikah saat berusia 14 tahun pada 2022 lalu dan mulai tinggal bersama mertuanya mengikuti tradisi di Pakistan. Utang itu disebut akibat pernikahan dini karena muncul demi membayar mahar.
“Suami saya memberi orangtua saya 250.000 rupee untuk pernikahan kami. Namun, uang itu adalah pinjaman (dari pihak ketiga) yang tidak dapat ia bayar sekarang,” kata Najma.
“Saya pikir saya akan membeli lipstik, riasan, pakaian, dan peralatan makan. Nyatanya, sekarang saya kembali ke rumah dengan suami dan bayi karena kami tidak punya apa-apa untuk dimakan,” sambungnya sambil menggendong bayinya yang berusia enam bulan.
Pernikahan anak merupakan hal umum di beberapa wilayah Pakistan. Bahkan, data pemerintah pada Desember lalu menunjukkan bahwa negara ini mencatatkan jumlah anak perempuan yang menikah sebelum usia 18 tahun tertinggi keenam di dunia.
Di Pakistan, usia legal untuk menikah bervariasi, yakni dari 16 hingga 18 tahun di berbagai wilayah. Namun, hukum tersebut jarang ditegakkan.
Menurut UNICEF, peristiwa cuaca ekstrem dapat membahayakan anak perempuan. Sebab, prevalensi pernikahan anak diperkirakan bakal meningkat sebesar 18 persen yang setara dengan terhapusnya kemajuan selama lima tahun. (hanoum/arrahmah.id)