Oleh: Santika (aktivis dakwah)
Kasih ibu kepada beta tak terhingga sepanjang masa, hanya memberi tak harap kembali….
Sepenggal bait lagu yang menggambarkan bahwa kasih sayang ibu itu tidak berujung dan tidak ada habisnya hanya sebuah ilusi saat ini. Betapa tidak, fakta menunjukkan ada seorang ibu di Kecamatan Kalianget Kabupaten Sumenep yang rela memberikan anak remajanya untuk dirudapaksa oleh selingkuhannya yang merupakan seorang kepala sekolah berinisial J (41 thn) dengan alasan untuk ritual mennyucikan diri dan diiming-imingi diberikannya sebuah motor oleh pelaku berinisial J. (Kumparan.com, 1 September 2024).
Peristiwa tersebut terungkap setelah korban menceritakan peristiwa memilukan kepada ayahnya, ternyata peristiwa itu sudah berulang kali dilakukan mulai bulan Februari hingga bulan juni. Perbuatan keji seorang ibu terhadap anaknya seakan jauh dari fitrah seorang ibu. Seharusnya, ibu adalah garda terdepan dalam melindungi dan menjaga anaknya. Hewan saja tidak akan mau memangsa anaknya, kenapa ini seorang ibu dengan kesadaran sendiri rela mengantarkan anaknya untuk dirudapaksa? Sungguh di luar nalar.
Ibu memiliki kewajiban sebagai madrasatul ula (pendidik pertama dan yang paling utama). Bukan justru menjadi mediator terjadinya kekejian dan rusaknya kehormatan. Ibu seakan mati rasa, dimana jiwa keibuannya? Sungguh memilukan dan tak habis fikir. Anak yang dinanti dan dirawat hingga besar namun justru akhirnya dihancurkan masa depannya oleh ibunya sendiri.
Inilah bukti semakin jauh kualitas seorang ibu saat ini. Dan menambah deretan panjang potret buram rusaknya seorang ibu. Seorang ibu seolah hilang “kewarasannya” hanya demi materi dan kesenangan diri. Bukan hanya berbicara kerusakan seorang ibu, tapi peristiwa memilukan ini menyadarkan kita akan rusaknya moral. Yang bukan hanya rusaknya pribadi seorang ibu saja tapi juga rusaknya tatanan kehidupan bermasyarakat juga bernegara.
Kerusakan dan penyimpangan fitrah ibu ini diakibatkan dari penerapan sistem sekularisme yang tidak sama sekali memihak pada Islam. Dalam sistem ini adanya pemisahan agama dan kehidupan sehingga lahirlah asas kebebasan yang akhirnya setiap orang bebas berperilaku sesuka hati tanpa peduli terhadap lingkungannya bahkan terhadap anaknya sendiri. Perbuatan zina pun menjadi budaya yang tak terkendali.
Penerapan sistem sekularisme ini juga telah melemahkan keimanan seorang ibu. Seorang ibu tidak lagi mengetahui apa kewajibannya, apa dosa atau tidak? Semua disandarkan pada hawa nafsu dunia. Sistem pendidikan sekuler juga tidak menjamin pada perbaikan akhlak. Terbukti oknum yang melakukan rudapaksa itu adalah seorang kepala sekolah dan ibu yang memberikan anaknya untuk dirudapaksa adalah seorang guru. Yang notabene mereka adalah seorang pendidik, seorang pendidik seharusnya menjaga generasi bukan jadi perusak generasi. Ditambah sistem sanksi yang diterapkan saat ini tidak memberi efek jera sehingga memunculkan para pelaku baru, zina dan rudapaksa seolah fenomena biasa.
Lantas masihkah kita berpegang teguh terhadap sistem kapitalisme-sekularisme yang justru membawa kehancuran? Sistem apakah yang akan menyelesaikan segala permasalahan ini? Tentu jawabannya adalah sistem Islam. Karena sistem Islam tidak mengenal pemisahan agama dengan kehidupan. Kehidupan harus diatur oleh hukum syara di berbagai lini kehidupan, termasuk peran seorang ibu. Ibu memiliki peran penting dalam mendidik generasi biasa disebut sebagai ummu madrasatul ula.
Mulianya peran ibu dalam pandangan Islam, karena ditangan ibulah baik atau buruknya generasi peradaban itu dihasilkan. Sehingga peran ini harus dijaga dan didukung oleh berbagai pihak termasuk masyarakat dan negara. Mulai dari pendidikan dan ilmu menjadi seorang ibu harus didapatkan oleh semua perempuan yang bergelar ibu dan calon ibu.
Pendidikan dari Islam yang akhirnya membentuk syakhsiyah Islamiyah (berkepribadian Islam) yang terdiri dari aqliyah (pola pikir) dan nafsiyah (pola sikap). Sehingga terwujudlah takwa dalam setiap individu sehingga segala sesuatunya bersandar atas rida Allah SWT. Islam juga memiliki sistem sanksi yang jawabir (sebagai penebus dosa di akhirat) dan efek zawajir (efek jera), karena masyarakat merasa ngeri atas hukuman yang diterapkan. Seharusnya ibu dan selingkuhannya dihukum rajam karena memiliki status muhsan (sudah menikah) sehingga ketika diterapkan hukum itu pastinya membuat takut bagi orang yang akan berzina. Tentunya hukum Islam secara kaffah hanya bisa diterapkan dalam bingkai daulah khilafah Islamiyah. Wallahu’alam