GAZA (Arrahmah.id) – Hamas menegaskan kembali bahwa setiap kesepakatan yang lahir dari pembicaraan yang sedang berlangsung di Sharm el-Sheikh harus mencakup jaminan gencatan senjata total dan permanen, serta penarikan penuh pasukan pendudukan ‘Israel’ dari Jalur Gaza.
Seorang sumber senior Hamas mengatakan kepada Al Jazeera bahwa delegasi gerakan tersebut menuntut agar setiap tahap pembebasan tawanan ‘Israel’ dikaitkan dengan tahap penarikan bertahap pasukan ‘Israel’. Menurutnya, pembebasan tahanan terakhir harus bertepatan dengan penarikan penuh militer ‘Israel’ dari Gaza. Hamas juga menuntut adanya jaminan internasional untuk memastikan berakhirnya agresi dan penarikan pasukan secara menyeluruh.
Delegasi Hamas yang berpartisipasi dalam negosiasi di Kairo disebut berupaya menghapus semua hambatan menuju kesepakatan yang adil dan sesuai dengan aspirasi rakyat Palestina. Tuntutan utama mereka meliputi akses tanpa batas bagi bantuan kemanusiaan, kepulangan para pengungsi, dimulainya kembali rekonstruksi di bawah pengawasan lembaga teknokrat Palestina, serta kesepakatan pertukaran tawanan yang adil.
Pejabat senior Hamas, Fawzi Barhoum, menegaskan bahwa prioritas utama gerakannya adalah menghentikan segera agresi dan genosida ‘Israel’ di Jalur Gaza. Dalam pidato memperingati dua tahun Operasi Banjir al-Aqsa yang dimulai pada 7 Oktober 2023, Barhoum menegaskan komitmen Hamas terhadap hak-hak sah rakyat Palestina dan perjuangan mereka untuk kemerdekaan.
“Kami menegaskan kembali janji untuk mempertahankan seluruh hak nasional rakyat kami dan membela cita-cita mereka untuk pembebasan dan kemerdekaan,” ujarnya.
Barhoum juga memberikan penghormatan kepada rakyat Palestina di Gaza, Tepi Barat, Yerusalem, wilayah pendudukan 1948, serta di pengasingan dan kamp pengungsian. Ia menyebut mereka sebagai rakyat yang “tabah, teguh di tanahnya, dan tidak menyerah meski menghadapi penderitaan, kelaparan, dan pengungsian selama dua tahun penuh.”
Dalam pidatonya, Barhoum menyoroti dampak agresi ‘Israel’ yang menurutnya “belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah modern”, dengan lebih dari 67.000 warga Palestina tewas, sekitar 170.000 terluka, dan 15.000 lainnya masih hilang di bawah reruntuhan. Ia menegaskan bahwa 95 persen korban adalah warga sipil tak bersenjata, mayoritas perempuan dan anak-anak.
Ia juga memperingatkan bahwa perang di Tepi Barat dan Yerusalem sama berbahayanya, karena ‘Israel’ terus melanjutkan kebijakan aneksasi, pengusiran, dan pembagian waktu serta ruang di Masjid Al-Aqsa.
Terkait kondisi para tahanan Palestina, Barhoum mengatakan lebih dari 80 orang meninggal di penjara ‘Israel’ akibat penyiksaan, kelalaian medis, dan kekurangan makanan. Ia menyerukan lembaga-lembaga HAM internasional agar menuntut pertanggungjawaban para pemimpin ‘Israel’ di Mahkamah Pidana Internasional.
Barhoum menekankan bahwa perang ini bukan hanya ditujukan terhadap Hamas, melainkan terhadap seluruh keberadaan rakyat Palestina, dengan tujuan mematahkan tekad mereka dan menghapus identitas nasional Palestina. Ia juga memperingatkan bahaya ekspansi ‘Israel’ yang mengancam kedaulatan negara-negara Arab dan Islam, serta menyerukan sikap tegas yang disertai langkah nyata, bukan sekadar pernyataan kecaman.
Dalam perkembangan lain, hari kedua perundingan di Sharm el-Sheikh berakhir pada Selasa malam (7/10/2025) dengan fokus pada rencana penarikan pasukan dan jadwal pertukaran tawanan. Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengatakan bahwa pembicaraan mengenai Gaza berlangsung sangat serius dan berpeluang besar mencapai kemajuan.
Trump menyebut tidak ada negara yang menentang rencana penghentian perang dan menegaskan bahwa ia ingin pembebasan segera para tawanan. Sebelumnya, ia telah mengumumkan rencana 20 poin yang mencakup gencatan senjata, pembebasan tawanan ‘Israel’, dan pelucutan senjata Hamas. Namun, meski Hamas telah menyatakan tanggapan positif terhadap proposal itu, ‘Israel’ tetap melanjutkan serangan udara di Gaza. (zarahamala/arrahmah.id)