ISLAMABAD (Arrahmah.id) — Panglima Militer Pakistan Jenderal Asim Munir telah membuat India marah karena retorika ideologisnya yang keras. Dia telah mengobarkan jihad untuk apa yang dia sebut “menolong Muslim di Kashmir”.
Bagi India, Asim Munir terkenal dengan julukan “Jenderal Jihad”.
Dilansir The Economic Times (5/5/2025), Jenderal Munir menjabat Panglima Militer Pakistan sejak akhir 2022. Sejak itu, banyak yang menganggapnya sebagai transisi biasa dalam institusi militer yang sangat berpengaruh di negara Islam tersebut.
Namun, seiring waktu, sosoknya mulai menunjukkan arah baru—atau bagi sebagian, arah lama yang kini dibangkitkan kembali.
Dengan semangat religius yang membara dan retorika ideologis yang semakin keras, Munir menghadirkan aroma masa lalu, khususnya era Jenderal Zia-ul-Haq, diktator militer yang dianggap mengislamkan militer dan masyarakat Pakistan pada akhir 1970-an.
Kini, di bawah kepemimpinannya, militer Pakistan kembali diselimuti oleh semangat keislaman yang intens, dan India menghadapi seorang jenderal yang bukan hanya mengusung strategi militer, melainkan juga doktrin jihad sebagai dasar kebijakan strategis.
Asim Munir bukan sekadar seorang perwira militer konvensional. Dia seorang hafiz Al-Qur’an, sebutan bagi mereka yang menghafal seluruh Al-Qur’an, yang menyelesaikan hafalannya saat bertugas di Arab Saudi.
Sang jenderal dibesarkan dalam keluarga religius dan mengenyam pendidikan di madrasah Islam di Rawalpindi sebelum masuk ke dunia militer.
Perpaduan antara karier militer dan latar belakang religius inilah yang membuatnya dijuluki sebagai “Jenderal Mullah”, julukan yang bukan tanpa alasan.
Dalam pidatonya pada Konvensi Pakistan Diaspora di Islamabad, Munir menegaskan bahwa Kashmir adalah “urat nadi” Pakistan, bukan sekadar klaim teritorial, tetapi sebagai amanah spiritual dan sejarah.
Dia menghidupkan kembali “teori dua negara”—dasar pendirian Pakistan oleh Muhammad Ali Jinnah—yang menyatakan bahwa Muslim dan Hindu adalah dua bangsa yang berbeda secara agama, budaya, dan aspirasi.
“Kita adalah dua bangsa, bukan satu bangsa. Agama kita berbeda, adat kita berbeda, cita-cita kita berbeda,” tegasnya di hadapan hadirin.
Retorika ini memperkuat posisi Munir sebagai jenderal yang tidak hanya melihat konflik dengan India sebagai perseteruan geopolitik, melainkan sebagai jihad yang sakral.
Pidato Munir bukan hanya retorika kosong. Pernyataannya mengenai Kashmir, menurut sejumlah pejabat intelijen India, diduga menjadi salah satu pemicu serangan teror kelompok The Resistance Front (TRF) pada 22 April yang menewaskan 26 turis Hindu di Pahalgam, wilayah Jammu dan Kashmir yang dikuasai India.
India menganggap TRF berafiliasi dengan Lashkar-e-Taiba (LeT), kelompok milisi yang bermarkas di Pakistan. Namun, LeT menepis anggapan tersebut.
Media-media India dalam laporannya menduga serangan teror di Kashmir termotivasi oleh pidato-pidato Munir yang memuliakan perjuangan heroik warga Kashmir dan mengutuk perbedaan perlakuan terhadap umat Muslim di India.
Sebagai mantan kepala intelijen militer (MI) dan mantan Direktur Jenderal Inter-Services Intelligence (ISI), Munir memiliki pemahaman mendalam tentang jaringan dalam dan luar negeri Pakistan.
Meski masa jabatannya di ISI relatif singkat—hanya beberapa bulan sebelum dicopot karena konflik dengan Perdana Menteri saat itu, Imran Khan—Munir kembali naik daun berkat dukungan Parlemen dan pengaruh militer yang tak tergoyahkan.
Ketika pada November 2024 Parlemen Pakistan mengesahkan perpanjangan masa jabatan kepala militer menjadi lima tahun, posisi Munir pun semakin kokoh hingga setidaknya 2027.
Kebijakan ini memperkuat pandangan bahwa negara tersebut kini berada di bawah bayang-bayang militer yang tidak hanya kuat secara politik, tetapi juga membawa misi ideologis yang terang-terangan.
Dengan posisi strategis sebagai panglima militer di negara bersenjata nuklir, dan dengan pendekatan jihad yang semakin dilembagakan, Jenderal Munir menciptakan tantangan tersendiri bagi India dan kawasan Asia Selatan secara keseluruhan.
Bagi India, Munir bukan sekadar lawan militer, tetapi representasi dari militerisasi ideologi—agama sebagai senjata geopolitik.
Pendekatan religius yang dia usung dapat mengaburkan kalkulasi rasional dalam hubungan bilateral.
Jika keputusan strategis dipandu oleh imperatif ideologis dan bukan kalkulasi pragmatis, maka eskalasi konflik bisa terjadi tanpa peringatan, didorong oleh narasi moral-spiritual yang sulit dinegosiasikan.
Jenderal Asim Munir mencerminkan wajah baru militer Pakistan yang lama—sebuah lembaga yang kembali ke akar ideologis Islamisme yang pernah mendominasi era Zia-ul-Haq.
Namun di era modern yang lebih kompleks, langkah Munir ini bisa menciptakan dilema strategis, tidak hanya bagi musuh-musuh Pakistan, tetapi juga bagi stabilitas internal negara itu sendiri.
Di tangan seorang “Jenderal Mullah”, militer bukan lagi instrumen pertahanan semata, melainkan alat dakwah ideologis bersenjata.
Menurut laporan dunia— khususnya India—harus memperhatikan dengan seksama ke mana arah Pakistan di bawah komando Asim Munir akan bergerak. Karena dari Rawalpindi, gema jihad bisa saja terdengar lebih nyaring daripada suara diplomasi. (hanoum/arrahmah.id)