GAZA (Arrahmah.id) – Di Jalur Gaza, tempat laut menjadi satu-satunya area terbuka yang tersisa, ada seorang perempuan muda yang melawan arus dengan cara yang tidak biasa. Madleen Kulab, warga Gaza dari keluarga nelayan, tumbuh besar dalam bayang-bayang blokade, serangan militer, dan kemiskinan yang membelenggu. Namun, bukan penderitaan yang mendefinisikan hidupnya, melainkan keberanian.
Hari ini, namanya tak hanya dikenal di kalangan masyarakat Palestina. Kapal “Madleen”, salah satu armada dalam misi Freedom Flotilla 2025, menjadikan namanya sebagai simbol dari perlawanan sipil dan perjuangan kemanusiaan melawan pengepungan terhadap Gaza.
Nelayan Perempuan Pertama di Gaza
Madleen Kulab mulai turun ke laut sejak usia 5 tahun, mendampingi ayahnya yang berprofesi sebagai nelayan. Namun kehidupan keluarga berubah drastis ketika sang ayah mengalami kelumpuhan. Saat itu, Madleen memutuskan untuk meneruskan profesi ayahnya, keputusan yang tidak lazim bagi seorang perempuan di Gaza.
Dalam sebuah masyarakat yang ruang hidupnya dikendalikan oleh militer asing, kehadiran Madleen di laut bukan hanya soal ekonomi. Ia menjadi perempuan pertama di Gaza yang secara resmi terdaftar sebagai nelayan. Pilihannya menghadirkan kritik sosial, risiko keamanan, hingga stigmatisasi. Namun ia tetap bertahan.
Laut yang Terbatas, Risiko yang Nyata
Blokade ‘Israel’ di Gaza membatasi akses nelayan hingga beberapa mil dari pesisir. Melanggar batas tersebut berarti menghadapi ancaman tembakan langsung, penahanan, atau perampasan kapal. Bahkan di dalam zona yang diizinkan pun, tentara ‘Israel’ kerap melakukan intimidasi.
Madleen menyaksikan sendiri bagaimana tembakan diarahkan ke perahu-perahu kecil, bagaimana nelayan ditahan tanpa alasan, dan bagaimana laut pun dikontrol sebagai alat pendisiplinan terhadap warga sipil. Namun, laut juga memberinya kekuatan. Di tengah ancaman itu, Madleen tetap kembali ke laut, hari demi hari.
Nama yang Menjadi Simbol
Pada 2025, Freedom Flotilla Coalition, koalisi internasional yang menentang blokade terhadap Gaza, menamai salah satu kapalnya dengan nama “Madleen”. Kapal tersebut membawa bantuan kemanusiaan: bahan makanan, perlengkapan medis, dan kebutuhan dasar, dalam upaya menerobos blokade laut yang telah berlangsung selama lebih dari 17 tahun.
Kulab (31), mengatakan kepada Al Araby Al Jadeed bahwa awak kapal telah menghubunginya secara pribadi untuk menjelaskan keputusan mereka untuk menamai kapal itu dengan namanya. Mereka tersentuh oleh kisahnya dan hubungannya dengan laut sepanjang hidupnya.
“Saya memulai perjalanan saya sebagai nelayan saat berusia lima tahun,” katanya. “Saya dulu menemani ayah saya dan mulai bekerja sebagai nelayan penuh waktu saat ia jatuh sakit, saat ia baru berusia 13 tahun. Seperti semua nelayan Palestina di Gaza, hidup saya berputar di sekitar laut dan rumah. Saya membaca ombak dan angin untuk mengetahui kapan dan di mana harus memancing.”
Ibu empat anak yang sedang menantikan kelahiran anak kelimanya ini mengatakan perang telah merenggut segalanya darinya, seperti yang terjadi pada seluruh komunitas nelayan di Gaza.
“Perahu kami hancur, jaring kami robek. Semua yang kami bangun, perbaikan perahu, tabungan kami, musnah akibat perang,” katanya.
Dia menjelaskan bahwa para nelayan Gaza telah lama menghadapi tantangan besar, tidak hanya karena sifat pekerjaan mereka yang berbahaya tetapi juga karena pembatasan yang terus-menerus, kurangnya peralatan, dan pelecehan ‘Israel’ yang terus-menerus.
Ketika para awak kapal meminta restunya untuk memberi nama kapal dengan namanya, dia setuju, meskipun dia mendesak mereka untuk tidak membahayakan diri mereka sendiri.
“Mereka mengatakan kepada saya bahwa misi mereka bersifat damai,” katanya. “Mereka membawa perbekalan seperti beras, tepung, dan obat-obatan. Mereka berjanji untuk tidak mengambil risiko atau terlibat dalam hal-hal yang berbahaya.”
Kulab mengatakan dia berharap kapal itu akan mencapai pelabuhan Gaza, bukan hanya karena bantuan yang dibawanya, tetapi juga karena pesan yang akan disampaikannya, bahwa Gaza tidak sendirian.
“Dalam keterasingan kami, kapal itu merupakan tanda solidaritas,” katanya. “Kapal itu memberi tahu kami bahwa orang-orang bebas di seluruh dunia masih mendukung kami.”
Perlawanan yang Tidak Mengangkat Senjata
Berbeda dari narasi dominan yang kerap mengasosiasikan Palestina dengan perlawanan bersenjata, kisah Madleen memperlihatkan bentuk lain dari perjuangan: perlawanan sipil yang tenang, konsisten, dan bermakna. Menjadi nelayan di Gaza bukan hanya persoalan mencari nafkah, tetapi juga tentang mempertahankan hak atas hidup yang layak, atas laut, dan atas martabat.
Kapal Madleen, sebagai bagian dari misi kemanusiaan, adalah kelanjutan dari narasi ini. Ia menjadi pengingat bahwa blokade bukan hanya soal politik atau militer, tapi tentang kehidupan sehari-hari: tentang seorang anak perempuan yang harus melaut untuk memberi makan keluarganya.
Akhir yang Belum Usai
Madleen Kulab mungkin tidak pernah membayangkan bahwa namanya suatu hari akan diabadikan pada lambung kapal yang memuat solidaritas dari berbagai negara. Namun dalam dunia yang semakin terfragmentasi oleh kekerasan dan propaganda, kisah-kisah seperti miliknya menjadi semakin penting.
Nama “Madleen” kini melintasi batas negara, membawa pesan tentang ketabahan, keberanian, dan hak atas kemanusiaan yang tak dapat diblokade.
Pemberian nama ini bukanlah simbolik belaka. Ia mencerminkan pengakuan terhadap ketahanan rakyat Palestina, khususnya perempuan seperti Madleen yang menjalani hidup dalam kondisi ekstrem, namun tetap memilih bertahan dan berkontribusi secara nyata.
Dan selama blokade masih berlangsung, selama bantuan kemanusiaan masih dihalangi, selama perempuan Gaza masih harus mempertaruhkan nyawa untuk mendapatkan sesuap makanan, kisah Madleen akan terus berlayar. (zarahamala/arrahmah.id)