Hari Santri beberapa waktu lalu tepatnya tanggal 22 Oktober dirayakan dengan berbagai seremonial yang cukup menyita perhatian publik. Mulai dari upacara, kirab, baca kitab hingga festival sinema. Adapun tema yang diangkat tahun ini adalah ‘Mengawal Indonesia Merdeka Menuju Peradaban Dunia’. Tema ini disebut Pak Prabowo sebagai cerminan tekad santri masa kini untuk berkontribusi pada kemajuan bangsa.
Tak hanya itu, sebagai pemimpin, Presiden Prabowo mengucapkan selamat kepada para santri, santriwati, kyai, nyai hingga keluarga pondok pesantren di seluruh tanah air. Ia juga menekankan bahwa ‘Hari Santri’ merupakan momentum untuk mengenang jasa para ulama dan santri yang turut berjuang mempertahankan kemerdekaan. Hal ini merujuk pada resolusi jihad 22 Oktober 1945, atau 1367 Hijriah yang dipelopori oleh tokoh sekaligus pendiri Nahdlatul Ulama (NU) KH Hasyim Asy’ari. Menurut Presiden Prabowo, semangat jihad yang digelorakan 80 tahun silam tetap relevan hingga hari ini, yaitu menjaga keutuhan bangsa dengan ilmu dan keimanan. Selain itu presiden juga mengharapkan agar santri dapat menjadi bagian dari kemajuan global tanpa melepaskan akar nilai keislaman dan keindonesiaan, bukan hanya menjadi penjaga moral bangsa. (Setneg.go.id, 24/10/2025)
Peran Santri Terbajak Kapitalisme
Peringatan Hari Santri yang setiap tahun dirayakan, belum dapat mengubah apapun, bahkan semakin jauh dari peran strategis para santri. Karena yang dikedepankan lebih kepada seremonial belaka. Padahal gambaran santri itu sendiri semestinya terlihat sebagai sosok yang faqqih fiddin, juga sebagai agen perubahan.
Fakta sejarah menggambarkan para santri dan ulama yang sejatinya merupakan para intelektual muslim, berperan sangat besar dalam membangun dan menjaga peradaban Islam dan eksistensi bangsa ini di bumi Nusantara. Merekalah yang mengkaji dan mempraktikkan ajaran-ajaran Islam, lalu menyebarkannya ke seluruh pelosok negeri, hingga ajaran Islam pun menjadi identitas dan karakter bangsa.
Selain itu, karakter umat Islam yang menonjol, yakni jiwa perlawanan terhadap segala bentuk kezaliman dan penjajahan juga melekat pada diri para santri. Semuanya terpancar dari pemahaman Islam, khususnya ajaran jihad fii sabilillah. Spirit ini terus terpelihara hingga sepanjang era kolonialisme bangsa-bangsa Eropa, seperti Portugis, Spanyol, Inggris, dan Belanda. Sebagai contoh kisah perjuangan para santri dan ulama terlihat pada berbagai peristiwa perang, misalnya perang Padri di Sumatera Barat, Perang Diponegoro di Jawa, di Aceh ada perang Aceh yang semuanya melibatkan para ulama dan santri.
Pujian presiden terkait peran santri dalam berjihad tidak sejalan dengan berbagai kebijakan menyangkut santri dan pesantren di masa kini. Santri justru dimanfaatkan untuk menjadi agen moderasi beragama dan agen pemberdayaan ekonomi. Dugaan adanya upaya membelokan orientasi pesantren ke arah pemberdayaan ekonomi telah dirasakan sejak lama. Tepatnya semenjak dikeluarkannya program One Pesantren One Product (OPOP) pada tahun 2018. Juga dikuatkan dengan peluncuran Peta Jalan Kemandirian Pesantren oleh Menag pada 4 Mei 2021 lalu, yang ditujukan untuk mengembangkan pesantren sebagai percontohan pergerakan ekonomi, selain sebagai lembaga pendidikan.
Tak hanya itu, kuatnya cengkeraman penjajahan kapitalisme sekuler di negeri ini, menyebabkan pesantren tak luput dari serangan, terutama materi dan kurikulum yang mulai dijauhkan dari kaderisasi ulama seperti jihad dan khilafah. Berbagai program berbau sekuler terus dirancang untuk menyudutkan ajaran Islam, mengebiri kesempurnaan Islam, melemahkan peran strategis ulama dan para santri, serta menggeser orientasi perjuangan pesantren. Hasilnya, moderasi beragama telah menjadi isu sentral di lingkungan pendidikan Islam tak terkecuali pesantren.
Akibat serangan paham kufur sekuler, santri tidak diarahkan untuk memiliki visi dan misi jihad melawan penjajah yakni penjajahan gaya baru yang membahayakan umat Islam dan syariatnya. Peran strategis santri dan pesantren justru dibajak untuk kepentingan mengokohkan sistem kapitalisme sekuler. Realitas seperti ini tentu tidak bisa disolusikan dengan kegiatan sia-sia seperti peringatan Hari Santri atau seremonial serupa. Para santri harus melakukan aktivasi, kembali kepada perannya, yakni sebagai entitas politis yang siap memimpin umat menggagas kebangkitan, menjadi garda terdepan dalam mewujudkan kepemimpinan global.
Peran Strategis Santri dalam Islam
Dalam Islam, para santri dan ulama memiliki kedudukan dan peran yang sangat penting dalam memajukan bangsa. Oleh karena itu, peran strategis pesantren tidak boleh dibelokkan dari jalan politik Islam sebagai episentrum ulama dan dakwah Islam. Pesantren harus fokus pada perannya agar dapat melahirkan ulama sebagai warasatul anbiya’ (pewaris para nabi) yang terdepan dalam menyerukan kebenaran (Islam) dan aktif melakukan muhasabah lil hukam (mengoreksi para pejabat/penguasa) .
Islam memiliki panduan yang khas terkait sistem pendidikan, termasuk pesantren. Islam menempatkan pendidikan sebagai salah satu hak rakyat secara kolektif yang wajib dipenuhi oleh negara sebagai raa’in (pengurus rakyat). Jaminan pendidikan ini diberikan oleh negara secara cuma-cuma bahkan secara gratis, namun tetap berkualitas. Sehingga dapat dipastikan tidak ada satupun rakyat yang tidak dapat mengakses pendidikan.
Pendidikan dalam Islam wajib berasaskan akidah Islam, bukan yang lain. Terhadap pesantren, negara wajib memastikan kurikulum dan materi ajarnya sesuai Islam dan tidak terkontaminasi sedikitpun dengan ide-ide sekuler, termasuk ide moderasi beragama dan yang lainnya. Sehingga peran strategis pesantren dan santri dapat terwujud dalam menjaga umat dan mewujudkan peradaban Islam yang cemerlang, yakni fakih fiddin, dan menjadi agen perubahan dalam menegakkan syariat Islam.
Negara dalam Islam (khilafah) akan bertugas sebagai penanggung jawab utama untuk mewujudkan eksistensi pesantren dengan visi dan misi mulia yang akan mencetak para santri yang siap berdiri di garda terdepan melawan penjajahan dan kezaliman. Oleh karena itu, penyelenggaraan sistem pendidikan Islam harus selalu terintegrasi dengan kebijakan politik ekonomi khilafah.
Misalnya dalam kebijakan ekonomi, negara akan membiayai sektor-sektor vital seperti pendidikan, termasuk pesantren. Untuk biaya pendidikan negara Islam memiliki dua sumber pendapatan baitulmal, yakni pertama dari pos fa’i, kharaj, ghanimah, khumus, jizyah, dan dharibah (pajak). Dan sumber yang kedua dari pos kepemilikan umum, seperti hasil tambang, minyak dan gas, hutan, laut, dan hima (milik umum yang penggunaannya telah dikhususkan). Jika dua sumber di atas belum mencukupi maka negara akan memungut dharibah dari orang-orang kaya saja sesuai kebutuhan.
Dengan pendanaan pesantren yang terkonsep seperti ini, para pendidik hanya fokus pada pengajaran yang sesuai syariat, untuk tujuan mulia, yaitu mencetak para santri dan ulama yang memiliki jati diri sebagai penerus perjuangan Islam, generasi yang berkepribadian Islam, bukan untuk memuluskan kepentingan Barat dengan arus moderasinya. Karena sejatinya konsep moderasi itu bertentangan dengan Islam, oleh karenanya tidak akan bisa jalan beriringan.
Dengan gambaran seperti ini, negara dalam Islam bertanggung jawab penuh terhadap seluruh rakyat, bahkan memenuhi segala kebutuhannya, baik yang asasi maupun kolektif, maka tujuan pendidikan Islam dapat terwujud. Namun semua itu, butuh adanya sistem yang shahih (benar) yakni sistem Islam dan khalifah (pemimpin) sebagai pelaksana hukum syariat. Yaitu dengan penerapan Islam secara kafah (menyeluruh) di setiap aspeknya.
Wallahu a’lam bis shawab
Editor: Hanin Mazaya