1. Opini

Opini: Membangun Kesadaran Politik Gen Z untuk Perubahan

Oleh Ummu Kholda Pegiat Literasi
Ahad, 12 Oktober 2025 / 20 Rabiul akhir 1447 09:28
Opini: Membangun Kesadaran Politik Gen Z untuk Perubahan
Ilustrasi demonstrasi Gen Z. (Foto: Tribunlampung.co.id/Deni Saputra)

Buntut kerusuhan saat demonstrasi 25-31 Agustus 2025 Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri, Komjen Syahardiantono menetapkan total 959 tersangka, di antaranya 664 dewasa dan 295 anak. Bareskrim mengatakan, semua tersangka tersebut merupakan pelaku kerusuhan bukan pelaku demonstrasi.

Pelaku kerusuhan tersebut langsung ditangani oleh beberapa Polda di antaranya: Polda Jambi, Lampung, Banten, Polda Metro Jaya, Polda Jabar, dan Polda lainnya. Mereka ditetapkan sebagai tersangka atas tindakan penghasutan dan menyebarkan dokumentasi kerusuhan di sosial media dengan maksud memprovokasi massa untuk melakukan pembakaran, bom molotov, dan juga penjarahan.

Diketahui, demonstrasi tersebut terjadi di beberapa daerah, bermula dari demonstrasi buruh dan mahasiswa di depan Gedung MPR/DPR RI, Senayan, yang mengkritik besarnya tunjangan fasilitas para anggota DPR. Namun di tengah demonstrasi sempat terjadi kericuhan, dan upaya pembubaran yang dilakukan oleh polisi justru berujung tewasnya pengemudi ojek online (ojol), Affan Kurniawan yang ditabrak kendaraan Brimob Polda Metro Jaya, hingga memicu amarah publik. (Tempo.co, 24/9/2025)

Di sisi lain, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengingatkan kepolisian akan potensi pelanggaran HAM dalam penetapan 295 tersangka yang terkategori anak. Anis Hidayah selaku Ketua Komnas HAM mengatakan agar polisi mengkaji kembali, apakah penetapan tersangka tersebut sudah sesuai dengan hukum acara pidana dalam Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Senada dengan itu, Komisioner KPAI Aris Adi Leksono, menyebut bahwa penetapan 295 tersangka anak pada kerusuhan akhir Agustus lalu tidak memenuhi standar perlakuan terhadap anak sesuai UU peradilan anak. Di antara mereka ada yang diperlakukan tidak manusiawi, diancam, dan dikeluarkan dari sekolahnya. (Kompas.com, 26/9/2025)

 

Kapitalisme: Aspirasi Tak Berbuah Solusi

Demonstrasi yang berujung pada penetapan 295 tersangka, menunjukkan bahwa generasi muda atau Gen Z mulai sadar akan politik dan berani menuntut perubahan. Selain itu, demo di depan gedung DPR tersebut juga telah membuka mata publik akan banyaknya ketidakadilan yang dipertontonkan. Fasilitas mewah para anggota DPR dan pejabat lainnya benar-benar telah melukai hati masyarakat termasuk Gen Z, apalagi dipamerkan di tengah kondisi masyarakat yang sedang menghadapi berbagai kesulitan hidup.

Selain itu, Gen Z juga termasuk kalangan yang cepat beradaptasi dengan dunia digital. Dengan hadirnya platform media sosial, masyarakat dan Gen Z kian mudah menyerap informasi, bahkan tidak sedikit yang tertarik untuk mengonsumsi berita politik, ekonomi, dan apa saja yang berkaitan dengan kebijakan dan kemaslahatan publik. Dari sinilah kesadaran mereka mulai bangkit, hingga menuntut perubahan serta ingin menghilangkan ketidak adilan. Namun, hal ini justru diwaspadai oleh pihak-pihak tertentu yang tidak ingin generasi muda bangkit dengan  kesadaran politiknya.

Untuk itu, dibuatlah narasi seolah-olah generasi muda itu dekat dengan anarkisme dan kerusuhan. Maka berita yang terus bermunculan dari demo DPR tersebut justru aksi vandalisme (tindakan merusak), penjarahan, kerusuhan, dan kericuhan. Sementara aksi damai Gen Z yang menuntut perubahan malah tenggelam oleh berita anarkisme dan kerusuhan tersebut. Alih-alih mengapresiasi sikap generasi muda yang mulai berani menyuarakan pendapat dan kesenjangan sosial, aksi mereka justru distigma negatif yang kerap menghantarkan kepada kerusuhan dan anarkis, sehingga kehilangan legitimasi di mata publik.

Penetapan 295 tersangka aksi demonstras adalah bentuk pembungkaman atau kriminalisasi terhadap generasi muda agar tidak kritis terhadap penguasa. Mereka ditakut-takuti dengan  jerat hukum serta label pelaku anarkisme, bukannya dididik, dirangkul, dan diarahkan kepada membangun kesadaran politik yang benar. Potensi besar yang ada pada Gen Z dikerdilkan dan dihambat agar tidak menjadi kekuatan politik yang akan mengancam eksistensi ideologi kapitalisme. Karena sejatinya kapitalisme dan demokrasi hanya memberi ruang suara kepada mereka yang sejalan dengan kepentingan penguasa atau kepentingan yang ingin diraih.

Alhasil, kriktik rakyat terhadap penguasa tidak akan berbuah keadilan jika parameter keputusan adalah kepentingan. Penyampaian aspirasi rakyat yang mestinya disikapi sebagai kritik membangun justru malah dikriminalisasi. Demokrasi yang mengagungkan kebebasan, nyatanya membungkam kebebasan. Itulah imbas penerapan kapitalisme yang berasaskan sekularisme. Aturan negara dianggap tidak ada hubungannya dengan kepentingan publik dan kehidupan mereka. Kritik sebagai hak rakyat malah dipandang aksi kriminal.

 

Generasi Muda Tonggak Perubahan

Dalam sejarah Islam para penggerak perubahan banyak dilakukan oleh generasi muda. Karena dalam Islam, pemuda adalah tonggak perubahan dan mercusuar peradaban. Generasi muda juga memiliki banyak potensi, selain fisik yang kuat, pemberani, juga identik dengan idealisme yang tinggi. Potensi inilah yang harus diarahkan ke jalan yang shahih (benar). Di antaranya: Pertama, kesadaran politik yang mulai tumbuh pada generasi muda semestinya jangan dipatahkan apalagi dikriminalisasi, akan tetapi diarahkan pada kesadaran politik yang benar berdasarkan  paradigma Islam. Yakni kesadaran untuk lepas dari sistem kapitalisme sekuler kepada Islam, bukan sekedar perubahan yang bersifat pragmatis.

Kedua, kewajiban adanya kelompok yang melakukan amar makruf nahi mungkar, sebagaimana terdapat dalam surah Ali Imran ayat 104 yang artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, mereka itulah orang-orang yang beruntung.”

Aktivitas amar makruf nahi mungkar salah satunya adalah dengan mengoreksi penguasa jika kebijakannya bertentangan atau melanggar syariat. Setiap muslim diwajibkan melakukan amar makruf nahi mungkar ini agar penguasa tetap berada jalur yang benar. Karenanya, aktivitas ini tidak boleh dilarang, sebaliknya generasi muda diharapkan tidak hanya menyalurkan ekspresi kekecewaan dan kemarahan, akan tetapi memiliki visi misi sesuai Islam dalam hal perubahan.

Ketiga, negara akan membina generasi muda dengan pendidikan yang berbasis akidah Islam. Tujuannya agar melahirkan generasi yang berkepribadian Islam, yakni berpola pikir Islam dan pola sikap Islam. Di samping menjadi sosok yang tangguh dan berani terutama dalam menyampaikan aspirasi dan kebenaran Islam. Bahkan dibangun pada diri mereka kesadaran politik yang benar agar perubahan yang diinginkan tidak salah arah.

Demikianlah Islam membentuk dan memperkuat mafahim (persepsi) masyarakat terutama generasi muda. Semua itu dilakukan agar tingkah lakunya dalam kehidupan ini sesuai dengan mafahim yang benar menurut Islam, bukan dengan anarkis yang berujung kerusuhan, akan tetapi berjuang hanya untuk mengharap ridho Allah semata. Konsep ini hanya akan terealisasi jika didukung oleh sistem yang menjadi pelaksana syariat, yakni sistem pemerintahan Islam yang akan menerapkan Islam secara kafah (menyeluruh).

Wallahu a’lam bis shawab

Editor: Hanin Mazaya