JAKARTA (Arrahmah.id) — Pemeriksaan terhadap mantan Presiden Joko Widodo pada Selasa, (20/05/ 2025) terkait dugaan ijazah palsu menuai sorotan tajam dari berbagai kalangan, termasuk pakar hukum pidana. Banyak pihak menilai proses hukum ini penuh dengan kejanggalan dan tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Brigjen Pol. Trunoyudo Wisnu Andiko, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Mabes Polri, menyatakan bahwa pihaknya akan menggelar perkara dalam waktu dekat guna menentukan apakah kasus laporan dugaan ijazah palsu ini akan naik ke tingkat penyidikan.
Namun, publik justru mempertanyakan transparansi proses pemeriksaan yang dilakukan terhadap Jokowi. Pasalnya, pemeriksaan tersebut hanya berlangsung selama satu jam, dengan 22 pertanyaan yang diajukan penyidik—sebuah durasi yang sangat singkat jika dibandingkan dengan waktu pemeriksaan terhadap pihak pelapor seperti Rizal Fadillah dan Tri Kurnia Royani yang masing-masing diperiksa selama 13 dan 12 jam.
Lebih lanjut, kejanggalan semakin kentara saat Jokowi diketahui membawa pulang kembali ijazah aslinya, padahal proses hukum masih berjalan dan gelar perkara belum dilakukan. “Bagaimana bisa barang bukti dikembalikan sebelum ada ketetapan hukum?” ujar pakar hukum pidana Dr. Muhammad Taufik, Presiden Asosiasi Ahli Hukum Pidana Indonesia.
Menurut Taufik, proses ini melanggar prinsip-prinsip dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), khususnya Pasal 185 ayat 1 yang menyatakan bahwa alat bukti paling kuat adalah keterangan di depan persidangan, bukan semata berita acara pemeriksaan (BAP) penyidik.
“Kalau ijazah itu dinyatakan asli oleh polisi, tapi tidak pernah dibawa dan diperlihatkan di ruang sidang, itu bukan bukti hukum yang sah. Itu hanya berkas administratif,” tegas Taufik.
Taufik juga menyoroti kemungkinan bahwa pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada Jokowi telah disiapkan sebelumnya. “Ini terlihat seperti proses yang sudah direkayasa. Tidak ada transparansi yang jelas,” tambahnya.
Di sisi lain, Jokowi menyatakan bahwa dirinya merasa “sedih dan kasihan” jika kasus ini berlanjut ke tahap selanjutnya. Pernyataan ini pun dianggap publik sebagai sinyal bahwa Jokowi telah mengetahui arah penyidikan, dan bahwa pelapornya-lah yang justru akan dijadikan tersangka.
Sebagaimana diketahui, laporan dugaan ijazah palsu terhadap Jokowi dilayangkan oleh Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) ke Bareskrim Polri sejak Desember 2024, namun baru mendapat respons aktif pada April 2025. Sementara itu, laporan balik dari Jokowi terhadap lima aktivis, termasuk Roy Suryo, Egi Sujana, dan dr. Tifa, dilayangkan pada 30 April dan sudah melibatkan 24 saksi dalam waktu singkat.
Dr. Taufik menyerukan agar masyarakat terus mengawal kasus ini demi tegaknya prinsip equality before the law — bahwa hukum harus berlaku sama terhadap siapa pun, tanpa pandang status.
“Jika proses hukum seperti ini dibiarkan, maka keadilan tidak akan pernah hadir di negeri ini. Hukum seharusnya menjadi alat penegak kebenaran, bukan alat perlindungan bagi kekuasaan,” pungkasnya.
(Samirmusa/arrahmah.id)