Oleh Sriyanti
Ibu Rumah Tangga, Pegiat Literasi
Operasi anti premanisme tengah massif digelar di wilayah Kabupaten Bandung. Kapolres setempat Kombes Aldi Suhartono menyebutkan bahwa untuk memberantas tindak kekerasan tersebut, pihaknya telah memperketat patroli di daerah padat industri dan usaha, seperti di kawasan PT. Kahatex Rancaekek. Hal ini dilakukan demi menjaga keamanan investor dan masyarakat. Aparat kepolisian pun berhasil menangkap 142 preman, dan menindak sebanyak 179 kasus dalam kurun waktu 4 bulan terakhir. Untuk melakukan penertiban ini Polda Jabar melibatkan 925 orang personil polisi gabungan.
Operasi ini pun sangat diapresiasi oleh para pengusaha dan masyarakat, karena selama ini keberadaan para preman menimbulkan keresahan di kalangan para pelaku usaha. Hal tersebut diungkapkan oleh Kepala Asosiasi Pengurus Indonesia (APINDO) Kabupaten Bandung, Willy Kurniawan. Ia pun mengakui bahwa kehadiran aparat polisi di lapangan telah memberikan rasa aman, di tengah maraknya aksi premanisme. (mediaindonesia. com, 13/5/2025)
Maraknya aksi premanisme sangatlah memprihatinkan, terjadi di berbagai wilayah tak terkecuali di Kabupaten Bandung. Tindakan tersebut tentunya sangat merugikan masyarakat pada umumnya, terlebih bagi mereka yang memiliki usaha seperti pedagang, buruh pabrik, pelaku UMKM dan yang lainnya.
Pengamat kebijakan pendidikan sekaligus guru besar Universitas Pendidikan Indonesia Prof. Cecep Darmawan menilai bahwa, aksi premanisme itu bersumber dari kegagalan pendidikan karakter di sekolah. Penanaman tentang nilai-nilai Pancasila, belum sampai menyentuh pada kepribadian siswa secara nyata. Meski sebenarnya nilai moral ini tidak hanya ditanamkan di lembaga pendidikan, namun harus dibangun bersama baik oleh keluarga maupun lingkungan masyarakat. Selain itu ia juga mengungkapkan terkait penanganan bagi para pelaku yang tertangkap, agar diberikan rehabilitasi setelah masa hukuman, seperti dengan memberikan edukasi berbasis agama, skill pekerjaan dan lapangan kerja.
Jika ditelisik lebih mendalam, aksi premanisme dan kekerasan merupakan masalah struktural. Penyelesaiannnya tidak cukup diserahkan pada lembaga sekolah dan edukasi moral saja. Terlebih pendidikan karakter saat ini hanya dijadikan tambal sulam untuk menutupi kelemahan pendidikan sekuler. Kebijakan yang ditetapkan dalam sekularisme mulai dari tujuan, materi pelajaran, metode dan sebagainya, tidak mampu menghasilkan generasi unggul, karena semuanya tidak berlandaskan pada agama.
Tujuan pendidikan lebih berorientasi pada pencapaian materi bukan pada pembentukan kepribadian yang benar, tapi lebih disesuaikan dengan kebutuhan pasar. Pelajaran agama hanya diberikan dua jam dalam seminggu, pun yang diajarkan bukanlah hal yang mendasar. Maka pantas saja output yang dihasilkan minim dari nilai-nilai syariat, halal-haram ataupun terpuji-tercela tidak dijadikan standar perbuatan. Lihat saja tingkah laku remaja saat ini, rusak, amoral, tidak bisa mengontrol emosi, tidak berpikir panjang dan sebagainya. Demi meraih kesenangan duniawi, cara apa pun boleh dijalani.
Kerusakan mental generasi yang demikian memprihatinkan hal ini diperparah oleh penerapan sistem perekonomian kapitalis. Di mana kesenjangan ekonomi dan sosial semakin terlihat, kesejahteraan, kesempatan, dan kekayaan hanya berputar pada segelintir kalangan saja. Penguasaan sumber daya alam oleh para kapital, telah membuat kalangan bawah kesulitan di berbagai sendi kehidupan. Sulitnya mendapatkan pekerjaan, gelombang PHK, minimnya kesempatan usaha, dan lemahnya keimanan, telah membuat sebagian orang mencari nafkah dengan jalan tidak baik, salah satunya dengan melakukan aksi premanisme. Semua itu dilakukan semata-mata demi memenuhi kebutuhan perut. Tindak kekerasan dan kejahatan ini bisa dicegah jika negara mampu mengurus dan melayani semua kebutuhan rakyatnya. Gambaran tersebut bisa kita jumpai dalam sistem pemerintahan Islam.
Dalam pandangan Islam, negara berfungsi sebagai pengurus dan pelayan segala urusan rakyat. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.
“Seorang imam (pemimpin) adalah penggembala, dan ia akan dimintai pertanggung jawaban atas gembalaannya”. (HR. Bukhari)
Pemerintah juga berperan besar dalam melindungi dan mencegah umat dari perbuatan maksiat seperti tindak kejahatan dan sebagainya. Penguasa akan mendorong rakyatnya menjadi individu-individu yang bertakwa. Diawali dengan menerapkan sistem pendidikan yang berasaskan akidah Islam, baik dari segi kurikulum, tujuan, strategi, materi pembelajaran wajib terikat dan sejalan dengan syariat. Target utamanya adalah membentuk kepribadian, di mana pola pikir serta sikapnya harus sesuai dengan hukum syara. Terkait penguasaan terhadap sains dan teknologi, akan diberikan secara beriringan ketika karakter Islami telah terbentuk. Karena itu output dari bidang ini adalah generasi yang berkualitas.
Selain itu, elemen pendukung lainnya seperti orangtua, masyarakat, dan negara juga harus memahami tujuan mulia pendidikan. Belajar ditujukan untuk meraih rida Allah Swt. bukan keuntungan materi semata. Dengan begitu, diharapkan generasi akan semakin bersemangat dalam menuntut ilmu dan menjadi individu yang bertakwa, serta menjadikan halal haram sebagai standar dalam setiap perbuatan.
Keberhasilan pendidikan dalam Islam juga ditopang oleh sistem ekonomi yang orientasinya adalah mewujudkan kesejahteraan umat secara keseluruhan. Dengan tata kelola perekonomian yang sahih, negara akan melayani dan menjamin kebutuhan rakyatnya. Sumber daya alam yang merupakan kepemilikan umum akan dikelola berdasarkan ketentuan syariat, hingga keberkahannya dirasakan bersama. Masyarakat tidak akan mencari nafkah melalui jalan haram, seperti dengan melakukan tindakan premanisme dan kejahatan lainnya. Karena penguasa akan menyediakan lapangan kerja yang halal.
Itulah sedikit gambaran bagaimana Islam menangani maraknya aksi premanisme. Oleh karena itu, pendidikan karakter ala kapitalis tidak akan mampu menjadi solusi. Hanya melalui penerapan aturan syariat lah kejahatan dan kekerasan ini bisa terurai tuntas.
Wallahu a’lam bi ash shawab