SUWAYDA (Arrahmah.id) – Dua faksi militer terbesar di provinsi Suwayda mengumumkan kesiapan mereka untuk bergabung menjadi badan militer yang akan menjadi inti dari tentara nasional baru, dan untuk membuka diri terhadap dialog dengan semua pihak di Suriah setelah penggulingan Bashar al-Assad bulan lalu.
Faksi Rijal al-Karama dan Liwa al-Jabal mengatakan dalam pernyataan bersama pada Senin (6/1/2025) bahwa mereka “mengumumkan, sebagai dua faksi militer terbesar di Suwayda, kesiapan penuh mereka untuk bergabung menjadi badan militer yang akan menjadi inti untuk bergabung di bawah payung tentara nasional baru yang tujuannya adalah untuk melindungi Suriah.”
Mereka menambahkan bahwa mereka dengan tegas menolak “tentara faksional atau sektarian apa pun yang menggunakan alat di tangan penguasa untuk menekan rakyat, seperti yang terjadi pada tentara Bashar al-Assad.”
Kedua faksi tersebut melanjutkan, “Sebagai faksi militer, kami tidak memiliki niat atau peran dalam urusan administratif atau politik,” menyerukan “pengaktifan kerja sipil dan politik secara partisipatif yang menempatkan rakyat di pusat prioritas,” menurut pernyataan tersebut.
Rijal al-Karama dan Liwa al-Jabal menegaskan komitmen mereka untuk “melindungi fasilitas umum dan memastikan stabilitasnya hingga keamanan dan keselamatan tercapai di negara ini,” dan menegaskan bahwa Damaskus akan tetap menjadi ibu kota abadi Suriah.
السويداء
بيان بانقلاب على الشيخ الهجري من أكبر فصيلين في السويداء
حركة رجال الكرامة وفصيل لواء الجبل وتعداد مقاتليهم يتجاوز 10 آلاف مقاتل pic.twitter.com/nJbNGLUqdM— Lina Tibi لينا الطيبي (@LinaTibi) January 6, 2025
Perkembangan ini terjadi beberapa hari setelah pecahnya krisis yang dengan cepat diatasi setelah faksi-faksi lokal di Suwayda (kubu Druze di Suriah) mencegah konvoi militer yang berafiliasi dengan Administrasi Operasi Militer memasuki provinsi selatan negara itu.
Keputusan untuk mencegahnya diambil – menurut sumber – di bawah arahan pemimpin spiritual sekte monoteis Druze, Hikmat al-Hijri, yang menegaskan bahwa tidak ada kehadiran militer dari luar Suwayda yang diizinkan.
Al-Hijri membenarkan keputusan tersebut dengan mengatakan bahwa kedatangan faksi-faksi dari Damaskus tanpa koordinasi sebelumnya dengan faksi-faksi lokal di provinsi tersebut.
Tantangan tersulit
Pemerintah Suriah yang baru menghadapi tantangan besar dalam membangun kembali lembaga-lembaga negara, khususnya militer dan badan-badan keamanan yang didominasi keluarga Assad selama pemerintahannya yang represif yang berlangsung selama lebih dari lima dekade.
Bulan lalu, pemerintahan baru mengumumkan niatnya untuk membubarkan banyak kelompok bersenjata di Suriah dan menggabungkannya menjadi satu kesatuan militer.
“Senjata seharusnya hanya berada di tangan negara, dan siapa pun yang bersenjata dan memenuhi syarat untuk bergabung dengan Kementerian Pertahanan akan disambut baik,” kata panglima tertinggi pemerintahan Suriah, Ahmad asy Syaraa.
Selain mempertahankan diri dari serangan di daerah tempat tinggal mereka, kaum Druze Suriah sebagian besar telah menjauhkan diri dari konflik yang dimulai pada 2011, dan banyak yang berhasil menghindari wajib militer ke dalam militer rezim yang digulingkan.
Lebih dari setahun sebelum faksi-faksi bersenjata menggulingkan Bashar al-Assad pada 8 Desember, provinsi Suwayda menjadi saksi demonstrasi massa yang memprotes kondisi kehidupan yang buruk dan memprihatikan. (zarahamala/arrahmah.id)