(Arrahmah.id) – Suriah tengah menghadapi gelombang pemberontakan bersenjata yang dilakukan oleh sisa-sisa rezim lama di wilayah pesisir, tempat komunitas Alawi—yang merupakan kelompok asal mantan presiden terguling, Bashar al-Assad—tinggal.
Berdasarkan perkembangan di lapangan serta informasi resmi dan independen, kelompok bersenjata ini dipimpin oleh mantan perwira loyalis Assad. Mereka beroperasi dengan koordinasi yang rapi dan mendapat dukungan senjata serta dana dari luar negeri.
Fenomena ini sebenarnya bukan hal yang mengejutkan. Kejatuhan rezim lama tentu saja merugikan banyak pihak, baik di dalam maupun luar negeri. Mereka yang kehilangan kepentingan dan membenci Suriah baru tidak ingin pemerintahan baru stabil, karena bagi mereka, kepemimpinan saat ini adalah musuh yang harus dilawan.
Suriah dan Kerentanan Internal
Di dalam negeri, ada beberapa tantangan besar yang harus dihadapi:
- Sisa-sisa kekuatan lama
Ribuan mantan tentara dan perwira yang dulu bekerja di militer serta aparat keamanan kini kehilangan kekuasaan dan hak istimewa yang dulu mereka nikmati. Mereka terbiasa hidup dalam sistem korup yang memberikan mereka kebebasan untuk menindas rakyat demi kepentingan pribadi. Kehilangan itu membuat mereka tidak akan menyerah begitu saja terhadap perubahan. - Ancaman pemberontakan berantai
Jika pemberontakan bersenjata di pesisir Suriah berhasil, bisa jadi ini akan menginspirasi kelompok Druze di selatan untuk melakukan hal serupa, terutama dengan dukungan “Israel”. Hal ini juga dapat memperkuat keinginan Kurdi di timur untuk memisahkan diri dari Suriah dengan dukungan Amerika Serikat dan “Israel”. - Struktur negara yang rapuh
Suriah mewarisi birokrasi yang bobrok dari rezim sebelumnya, termasuk ekonomi yang lemah serta sistem administrasi yang tidak efisien. Pemerintahan baru harus mereformasi sistem yang dulunya dipenuhi dengan pegawai fiktif yang hanya ada untuk membeli loyalitas politik. Selain itu, infrastruktur dan layanan publik juga dalam kondisi buruk. Namun, lawan-lawan politik menggunakan masalah ini untuk menyerang pemerintahan baru, meskipun semua itu adalah krisis warisan dari masa lalu.
Meskipun menghadapi tantangan ini, Suriah berhasil menjaga stabilitas sosial dan bahkan mulai mengurangi sebagian sanksi yang selama ini membebani negara.
Ancaman dari Luar dan Manuver Geopolitik
Situasi internal Suriah tak bisa dilepaskan dari dinamika regional. Beberapa negara ingin mengendalikan Suriah sesuai kepentingan mereka, terutama “Israel” dan negara-negara Barat yang masih memiliki pengaruh besar dalam sistem global.
“Israel”, misalnya, secara terang-terangan memusuhi Suriah yang merdeka dan kuat. Mereka melabeli pemerintahan baru sebagai ekstremis dan terus melakukan serangan udara untuk menghancurkan basis militer Suriah. Selain itu, “Israel” juga mendukung pemberontakan Druze di Sweida serta berusaha mengubah selatan Suriah menjadi zona bebas militer.
Namun, ancaman terbesar bukan sekadar pemberontakan di pesisir, melainkan rencana besar untuk memecah Suriah menjadi empat wilayah terpisah:
- Wilayah Kurdi di timur
- Wilayah Alawi di barat
- Wilayah Druze di selatan
- Wilayah Sunni di bagian tengah, dari Idlib hingga Damaskus
Pemecahan ini akan menghapus identitas Suriah sebagai negara bersatu, serta menghambat kebangkitannya sebagai kekuatan utama di kawasan Timur Tengah dan Mediterania Timur.
Bagi “Israel”, skenario ini sangat ideal. Negara itu tak ingin ada kekuatan Arab yang cukup kuat untuk menantangnya. Bahkan, beberapa pejabat “Israel” secara terbuka menyatakan bahwa mereka ingin memperluas perbatasan hingga mencapai Damaskus. Oleh karena itu, mereka mendorong pemberontakan Druze, mendukung pasukan Kurdi dengan bantuan Amerika, dan kini membantu sisa-sisa rezim lama di pesisir.
Yang ironis, ada beberapa negara yang—entah sengaja atau tidak—ikut membantu skenario ini karena tidak menyukai pemerintahan baru di Damaskus. Mereka mendukung pemberontakan bersenjata, membantu pasukan Kurdi, dan berusaha menggagalkan eksperimen politik baru yang sedang dibangun di Suriah.
Di sisi lain, Iran dan Rusia juga memiliki kepentingan sendiri. Kejatuhan Bashar al-Assad merugikan mereka secara strategis. Rusia kehilangan pijakan militernya di Mediterania, sementara Iran kehilangan jalur komunikasi langsung dengan Hizbullah di Lebanon.
Turki juga memainkan peran besar dalam konflik ini. Sebagai negara tetangga, Turki tak ingin Suriah terpecah. Setelah jatuhnya Assad, Turki menjadi pemain utama dalam politik Suriah dan mendukung kesatuan wilayah negara itu. Namun, banyak pihak—terutama “Israel”-tak suka dengan pengaruh Turki di Suriah.
Dinamika Strategis dan Pilihan Politik
Awalnya, pemerintahan Presiden Ahmad Asy-Syaraa mencoba menjaga keseimbangan dalam kebijakan luar negerinya, termasuk dalam hubungan dengan Turki dan negara-negara Arab. Namun, semakin banyaknya ancaman dari berbagai pihak bisa memaksa Damaskus untuk mengambil langkah yang lebih tegas dalam menentukan sekutunya.
Bersikap netral dalam kondisi seperti ini bisa menjadi pilihan yang berisiko. Dengan semakin meningkatnya tekanan dari berbagai pihak, pemerintahan Suriah mungkin harus mempererat aliansi strategisnya dengan Turki.
Turki, sebagai negara besar dengan pengaruh politik, militer, dan ekonomi yang kuat, bisa menjadi mitra utama bagi Suriah. Selain itu, hubungan erat dengan Turki juga membuka peluang bagi Suriah untuk terhubung kembali dengan Eropa dan Asia.
Masa depan Suriah saat ini bergantung pada keputusan-keputusan strategis yang akan diambil oleh pemerintahan baru. Negara ini telah membayar harga yang sangat mahal untuk kebebasannya, dan kini berada di titik kritis dalam menentukan arah sejarahnya.
Artikel ini merupakan terjemahan dari tulisan yang dipublikasikan di Al Jazeera Net dengan judul asli “Tahaddiyat Sa’bah Tuwajih ar-Ra’is asy-Syaraa li as-Saytharah ‘ala at-Tamarrud”.
(Samirmusa/arrahmah.id)