JAKARTA (Arrahmah.id) – Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa membuat gebrakan dengan memerintahkan jajarannya di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk kembali mempublikasikan secara rutin data utang pemerintah pusat yang termuat dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Langkah ini menjadi penanda kembalinya era transparansi data fiskal setelah sempat terhenti sejak Januari 2025, ketika Kemenkeu di bawah kepemimpinan Sri Mulyani Indrawati terakhir kali menerbitkan buku APBN Kinerja dan Fakta (KiTa). Saat itu, posisi utang pemerintah tercatat sebesar Rp 8.908,13 triliun atau 39,6% terhadap produk domestik bruto (PDB).
Sejak dilantik Presiden Prabowo Subianto pada September 2025, Purbaya menegaskan komitmennya untuk membuka kembali data utang kepada publik. Menurutnya, transparansi adalah langkah penting agar masyarakat turut mengawasi pengelolaan keuangan negara.”
“Biar Anda bisa marah-marahin saya kalau utangnya kegedean. Itu memang perlu diketahui publik supaya kita lebih transparan,” ujar Purbaya di kantornya, dikutip Senin (20/10/2025).
Pada 10 Oktober 2025, Kementerian Keuangan akhirnya merilis kembali data utang pemerintah pusat per Kuartal II-2025 atau akhir Juni 2025.
Total utang pemerintah tercatat Rp 9.138,05 triliun, turun dari posisi Mei 2025 yang sebesar Rp 9.177,48 triliun.
Purbaya menegaskan bahwa rasio utang terhadap PDB masih berada di level aman, yakni 39,86%, jauh di bawah ambang batas internasional sebesar 60% PDB.
“39% PDB ini ukuran internasional masih aman,” ujarnya.
Purbaya meminta publik tidak memandang nominal utang sebagai sentimen negatif bagi perekonomian. Ia menegaskan, di bawah kepemimpinannya, penerbitan utang baru akan ditekan, sementara penerimaan negara akan terus dioptimalkan.
Ia juga memastikan pengelolaan dana pemerintah akan lebih efisien, dengan meminimalkan dana menganggur di Bank Indonesia dan menyalurkannya ke perbankan untuk memperkuat likuiditas ekonomi nasional.
“Utang jangan dijadikan sentimen negatif untuk perekonomian kita. Kita akan coba kurangi penerbitan utang seoptimal mungkin. Kalaupun saya utang, harus digunakan dengan efisien dan tanpa kebocoran,” tegasnya.
Purbaya juga berencana merealokasi anggaran kementerian/lembaga (K/L) dengan serapan rendah untuk dialihkan ke pos pembayaran utang atau pengurangan defisit.
“Kalau serapannya rendah, saya pindahkan anggarannya untuk bayar utang,” kata Purbaya.
Untuk tahun 2026, ia menyiapkan “ramuan khusus” agar kebutuhan pembangunan tidak lagi bergantung pada utang. Purbaya optimistis, dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat, penerimaan pajak akan meningkat signifikan.
“Setiap pertumbuhan 1% ekonomi, saya dapat tambahan pendapatan sekitar Rp 220 triliun. Jadi itu yang kita kejar,” ungkapnya di DPR.
Struktur Utang RI Semakin Sehat
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu Suminto menambahkan, struktur utang Indonesia kini semakin stabil. Dari total Rp 9.138,05 triliun, sekitar 71,73% berdenominasi rupiah, sedangkan dalam valuta asing hanya 28,3%, turun dari 28,7% tahun sebelumnya.
Komposisi ini membuat utang Indonesia lebih tahan terhadap gejolak kurs dolar AS.
“Eksposur kita terhadap pergerakan valuta asing hanya 28%, sehingga risiko akibat pelemahan rupiah masih terkendali,” ujar Suminto dalam acara Media Gathering di Bogor, 10 Oktober 2025.
Rasio utang terhadap PDB Indonesia juga jauh lebih rendah dibanding negara-negara tetangga seperti Malaysia (61,9%), Filipina (62%), Thailand (62,8%), dan India (84,3%).
Selain itu, kepemilikan Surat Berharga Negara (SBN) oleh investor domestik terus meningkat. SBN yang dipegang Bank Indonesia per Juni 2025 mencapai Rp 1.592,47 triliun, sedangkan kepemilikan oleh bank, dana pensiun, asuransi, dan individu menunjukkan tren naik.
“Daya serap investor domestik terus meningkat, termasuk dari dana jangka panjang seperti asuransi dan pensiun,” kata Suminto.
Data Utang Dirilis per Kuartal
Ke depan, Kemenkeu akan menerbitkan data utang setiap tiga bulan sekali, bukan lagi bulanan seperti sebelumnya. Langkah ini, kata Suminto, untuk menjaga akurasi rasio utang terhadap PDB, yang kini akan didasarkan pada data riil dari Badan Pusat Statistik (BPS).
“Supaya statistiknya lebih kredibel, rasio utang akan dihitung berdasarkan realisasi PDB setiap kuartal,” jelasnya.
Dengan langkah transparansi baru ini, pemerintah berharap publik dapat memahami kondisi fiskal negara secara objektif dan turut mengawal agar pengelolaan utang tetap sehat, terkendali, dan produktif bagi pembangunan nasional.
(ameera/arrahmah.id)