1. News
  2. Internasional

Sosiolog ‘Israel’ Peringatkan: Rencana Tel Aviv di Gaza Bisa Jadi Bencana

Samir Musa
Ahad, 12 Oktober 2025 / 20 Rabiul akhir 1447 15:49
Sosiolog ‘Israel’ Peringatkan: Rencana Tel Aviv di Gaza Bisa Jadi Bencana
Yagil Levy: Hamas tidak memiliki alasan apa pun untuk menyerahkan senjatanya. (Associated Press)

TEL AVIV (Arrahmah.id) — Dalam sebuah artikel yang diterbitkan oleh harian Haaretz, sosiolog “Israel” Yagil Levy memperingatkan bahwa rencana baru yang disetujui pemerintah “Israel” mengenai masa depan Gaza merupakan “pertaruhan berbahaya” yang tidak memiliki dasar realistis maupun politik.

Menurut Levy, rencana tersebut — yang didukung pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump — bertujuan menjadikan Gaza sebagai wilayah tanpa kedaulatan yang sebagian akan dikelola oleh kekuatan multinasional dengan mandat untuk melucuti senjata Hamas. Ia menyebut proyek itu sebagai “rencana berbahaya yang sepenuhnya terpisah dari realitas.”

“Proyek Tanpa Realitas”

Levy menegaskan bahwa upaya pelucutan senjata yang berhasil di beberapa konflik dunia seperti Irlandia Utara, Mozambik, El Salvador, atau Jerman pasca Perang Dunia II, hanya mungkin terwujud dalam situasi luar biasa — yakni adanya kesepakatan damai menyeluruh, integrasi politik, atau penyerahan total pihak yang kalah.

Namun, kata Levy, “tak satu pun dari kondisi tersebut ada di Gaza hari ini.” Tidak ada kesepakatan politik, tidak ada stabilitas institusional, dan Hamas tidak memiliki alasan apa pun untuk menyerahkan senjatanya.

Ia memperkirakan bahwa kembalinya ratusan ribu warga pengungsi ke rumah mereka akan menempatkan mereka di bawah kekuasaan otoritas asing yang tidak memiliki legitimasi, mungkin dipimpin oleh seorang komisaris internasional seperti mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair. Sebagian wilayah Gaza, lanjutnya, bahkan akan tetap berada di bawah kendali langsung militer “Israel” dalam apa yang disebut “sabuk keamanan”.

Levy memperingatkan bahwa situasi tersebut berpotensi memicu gelombang kemarahan dan perlawanan baru, serta kemunculan kelompok-kelompok bersenjata independen di luar struktur resmi mana pun.

Risiko Besar bagi “Israel”

Dari sudut pandang “Israel”, menurut Levy, rencana ini justru penuh risiko. Ia dapat menciptakan zona penyangga yang bermusuhan tanpa pemerintahan efektif, yang diawasi oleh kekuatan internasional tanpa motivasi nyata untuk menghadapi konflik.

“Dalam kondisi seperti itu,” tulisnya, “’Israel’ akan menghadapi dilema besar: menahan diri di tengah kekacauan, atau melanjutkan operasi militer di wilayah yang secara formal berada di bawah otoritas internasional — sesuatu yang akan berujung pada bencana militer dan kegagalan moral.”

Levy menilai, proyek ini mencerminkan pandangan Amerika yang terlalu menyederhanakan persoalan, berangkat dari ilusi rekayasa sosial terhadap rakyat yang telah kehilangan kedaulatan dan kemanusiaannya.

Alternatif yang Diabaikan

Lebih lanjut, Levy menyinggung proposal yang pernah diajukan mantan Perdana Menteri Palestina Salam Fayyad — yakni mengintegrasikan Hamas ke dalam Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) untuk membentuk pemerintahan baru yang lebih sah di bawah Otoritas Palestina.

Ia berpendapat bahwa gagasan tersebut, disertai dengan pembebasan tokoh populer Marwan Barghouti untuk memimpin arah politik baru, bisa menjadi solusi yang realistis dan menguntungkan semua pihak.

Namun, “Israel,” tulis Levy, “menolak opsi itu dan justru memilih jalur yang lebih berisiko — sebuah kebijakan yang mengancam keamanannya sendiri lebih dari apa pun.”

(Samirmusa/arrahmah id)