WASHINGTON (Arrahmah.id) – Sejak debu pemilu presiden Amerika mengendap dengan kemenangan Donald Trump untuk masa jabatan kedua, penulis ternama Amerika Thomas Friedman—yang dikenal dengan pandangan liberalnya—tak henti-hentinya melontarkan kritik dalam kolom mingguannya di harian New York Times yang sangat berpengaruh.
Namun dalam salah satu kolom terbarunya, Friedman melancarkan serangan yang mungkin paling tajam terhadap Trump. Ia memperingatkan bahwa masa kepemimpinan Trump bisa menghancurkan fondasi yang selama ini menjadikan Amerika Serikat sebagai negara yang makmur, inovatif, dan dihormati di seluruh dunia.
Menurutnya, sejak Trump kembali menjabat, begitu banyak hal gila terjadi setiap hari hingga banyak peristiwa—yang sebenarnya penting dan mencerminkan krisis mendalam—justru tenggelam dalam riuhnya kekacauan. Salah satu contoh terbaru, tulis Friedman, terjadi pada tanggal 8 bulan ini di Gedung Putih. Di tengah memanasnya perang dagang yang ia mulai sendiri, Trump menandatangani perintah eksekutif untuk menghidupkan kembali industri batu bara, sambil pada saat yang sama memotong dana untuk pengembangan teknologi bersih. “Bagaimana mungkin keputusan semacam ini membuat Amerika lebih kuat?” tulisnya dengan nada getir.
Friedman menggambarkan pemerintahan Trump yang kedua ini sebagai “lelucon yang mengerikan”. Menurutnya, Trump mencalonkan diri lagi bukan karena ia membawa visi baru untuk abad ke-21, tetapi semata-mata demi menghindari penjara dan membalas dendam kepada mereka yang telah berusaha menegakkan hukum terhadapnya berdasarkan bukti-bukti nyata.
Ia menambahkan bahwa Trump kembali ke Gedung Putih dengan gagasan-gagasan usang dari tahun 1970-an. Ia meluncurkan perang dagang tanpa dukungan sekutu dan tanpa persiapan matang. Salah satu indikasinya: ia kerap mengubah kebijakan tarif impor nyaris setiap hari, tanpa memahami bahwa ekonomi dunia kini saling terhubung dan bergantung pada rantai pasokan global yang kompleks.
Lebih jauh, Friedman memperingatkan bahwa “lelucon ini” akan berdampak langsung pada setiap warga Amerika. Trump tidak hanya menyerang lawan-lawannya, tapi juga sekutu terdekat negaranya—seperti Kanada, Meksiko, Jepang, Korea Selatan, dan Uni Eropa—serta lawan utamanya, yaitu China. Ironisnya, ia justru tampak lebih menyukai Rusia ketimbang Ukraina, dan lebih memilih industri energi yang merusak iklim dibanding industri masa depan, seperti energi terbarukan dan teknologi bersih. Hasilnya: dunia makin kehilangan kepercayaan pada Amerika.
Salah satu tanda nyata, tulis Friedman, adalah berkurangnya pembelian surat utang pemerintah AS oleh para sekutu, yang mengindikasikan menurunnya kepercayaan terhadap institusi Amerika. Bahkan, orang-orang di luar negeri kini mulai menyarankan anak-anak mereka untuk tidak lagi kuliah di AS karena dianggap bukan pilihan terbaik.
Ia menulis bahwa dunia kini melihat Amerika sebagaimana adanya: sebuah negara nakal yang dipimpin oleh sosok berkuasa yang ceroboh, yang terlepas dari nilai-nilai hukum, prinsip, dan etika sebagaimana tertulis dalam konstitusi.
Friedman memperingatkan: jika situasi ini dibiarkan, Amerika akan semakin terpuruk—lebih miskin, lebih terisolasi, dan lebih tidak dihormati.
Salah satu dampak paling serius dari kebijakan Trump, menurutnya, adalah berkurangnya kemampuan Amerika untuk menarik para imigran berbakat, yang selama ini menjadi motor utama inovasi dan pertumbuhan. Ia juga merusak reputasi AS sebagai negara yang menjunjung tinggi supremasi hukum, dan melemahkan daya tarik negeri itu terhadap simpanan global, yang selama ini memungkinkan rakyat Amerika hidup di atas kemampuannya sendiri.
Di saat Trump sibuk dengan manuver jangka pendek dan pembalasan politik, China justru menyusun rencana strategis jangka panjang. Beijing mengucurkan investasi besar dalam proyek-proyek masa depan seperti energi bersih, baterai, mobil listrik dan otonom, robotika, material baru, peralatan otomatis, drone, komputasi kuantum, hingga kecerdasan buatan—semua untuk memastikan dominasinya atas industri abad ke-21, baik secara lokal maupun global.
Namun Friedman tak sepenuhnya membela China. Ia menegaskan bahwa Beijing juga menghadapi tantangan besar dan perlu menyeimbangkan kembali ekonominya. Bahkan, menurutnya, Trump memang punya alasan untuk menekan China. Tetapi pertanyaan besar yang ia ajukan adalah: Apa yang akan dilakukan China dengan surplus ekonominya? Apakah akan digunakan untuk membangun militer yang lebih mengancam? Atau untuk membangun jalan raya dan jalur kereta cepat ke kota-kota yang tak membutuhkannya? Atau justru untuk meningkatkan konsumsi domestik dan kualitas layanan publik?
Menutup kolomnya, Friedman menulis dengan nada tajam bahwa “perilaku Trump merusak supremasi hukum, menjauhkan para sekutu, menguras kekuatan lunak Amerika, dan mengancam kepemimpinan ekonomi serta global negara ini.”
Jika Trump tak segera menghentikan pola kepemimpinannya yang ia sebut “gaya negara nakal”, maka ia akan menghancurkan segala sesuatu yang pernah menjadikan Amerika kuat, dihormati, dan makmur.
Friedman menutup dengan pengakuan yang mencemaskan: “Tak pernah seumur hidup saya merasa sekhawatir ini terhadap masa depan Amerika seperti hari ini.”
(Samirmusa/arrahmah.id)