Oleh Ine Wulansari
Pendidik Generasi
Lagi dan lagi kasus korupsi kembali terjadi. Kali ini dilakukan dua orang pejabat Pertamina dalam kasus korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (2018-2023). Keduanya diduga memberi instruksi proses blending atau mengoplos pada produk kilang jenis RON 88 dan RON 90 agar dapat menghasilkan RON 92. Modus para tersangka mengondisikan produk minyak bumi dalam negeri menjadi berkurang dan tidak memenuhi nilai ekonomis sehingga perlu impor dan melakukan mark up kontrak mengirim minyak impor.
Kejaksaan Agung menyatakan adanya pengoplosan Pertamax ditemukan oleh tim penyidik berdasarkan hasil alat bukti. Sebanyak tujuh orang tersangka yag telah ditetapkan Kejagung dalam kasus dugaan korupsi yang telah merugikan negara hingga Rp193,7 triliun ini. Meskipun perusahaan plat merah tersebut mengklaim bahwa kualitas Pertamax dipastikan sesuai dengan spesifikasi yang diterapkan pemerintah, yakni RON 92, namun hal tersebut dibantah oleh Direktur Penyidik Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejaksaan Agung, Abdul Qahar. (bbc.com, 25 Februari 2025)
Skandal yang melibatkan para petinggi Pertamina ini bukanlah kali pertama. Sebelumya peristiwa serupa pernah terjadi, yang membedakan adalah para pelakunya. Sudirman Said (Mantan Menteri ESDM) mengatakan, ada tiga faktor yang menyebabkan celah korupsi di Pertamina. Pertama, sebagai pemegang pasar utama. Kedua, transaksi dengan volume besar di Pertamina menciptakan batas yang signifikan. Ketiga, sikap dari pemegang kekuasaan di sekitar Pertamina. (Kompas.com, 2 Maret 2025)
Sistem Kapitalisme Menumbuhsuburkan Korupsi
Korupsi menjadi salah satu masalah terbesar yang sangat merugikan rakyat juga negara. Masyarakat merasa diperdaya karena selama ini membeli Pertamax, padahal kenyataannya adalah Pertalite. Artinya, rakyat membeli Pertalite dengan harga Pertamax yang telah dioplos yang dapat merusak mesin kendaraan.
Menanggapi betapa banyaknya kasus korupsi yang seakan menjadi tradisi di Indonesia, munculah istilah Klasemen Liga Korupsi Indonesia yang tengah menjadi sorotan warganet setelah peristiwa korupsi minyak mentah dan produk kilang oleh Pejabat Pertamina Patra Niaga. Dalam dunia sepak bola, klasemen digunakan untuk menyusun peringkat klub berdasarkan jumlah poin yang telah dikumpulkan. Akan tetapi dalam kondisi ini, julukan tersebut mengarah pada kerugian negara akibat berbagai kasus korupsi terbesar di tanah air.
Setidaknya ada 10 kasus megakorupsi yang masuk dalam daftar “Liga Korupsi Indonesia” beserta kerugian yang ditimbulkannya. Posisi pertama ada korupsi Pertamina dengan nilai kerugian hampir mencapai Rp1 kuadriliun. Selanjutnya pada posisi kedua, ada kasus korupsi timah yang merugikan negara Rp300 triliun. Pada posisi ketiga, skandal BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indnesia) yang merugikan negara Rp138,44 triliun. Sedangkan pada posisi keempat sampai kesepuluh, ditempati oleh kasus penyerobotan Lahan PT Duta Palma Group (Rp78 T), PT Trans-Pacific Petrochemical Indotama (Rp78 T), PT Asabri (Rp22,7 T), Jiwasraya (Rp16,8 T), izin ekspor kinyak sawit (Rp12 T), pengadaan pesawat Garuda Indonesia (Rp9,37 T), dan proyek BTS 4G (Rp8 T). (kompas.com, 28 Februari 2025)
Kian maraknya kasus korupsi menunjukkan para pejabat atau pemegang kekuasaan yang abai terhadap amanahnya. Posisi yang diembannya bukan untuk menyejahterakan rakyat melainkan sebagai kesempatan memperkaya diri dan kelompoknya demi meraih keuntungan materi meskipun jalannya kecurangan. Kasus mega korupsi Pertamina ini menjadi salah satu kasus dari banyaknya kecurangan yang dilakukan pemilik kebijakan. Bukan hal yang tidak mungkin kasus serupa akan terjadi lagi, sebab pangkal persoalan tindak korupsi berasal dari sistem yang diterapkan, yakni kapitalisme. Dimana sangat terbuka peluang untuk melakukan tindak manipulasi. Sistem ini membuat siapa saja bebas melakukan hal yang diinginkan dengan menghalalkan segala cara asal tujuannya tercapai.
Semestinya dengan banyaknya kasus mega korupsi yang muncul, negara segera bertindak dengan upaya nyata yang bersifat tegas, baik dari sisi mekanisme atau sanksi. Namun realitasnya, sistem sanksi yang ada saat ini tidak bertindak tegas melarang korupsi, bahkan penguasa nomor satu di negeri ini memberi sinyal pemaafan koruptor jika mengembalikan uang hasil korupsi. Ditambah sanksi yang diberikan bagi pelaku sangatlah ringan sehingga tidak memberi efek jera. Dengan kekuatan uang para pelaku bisa tetap menikmati fasilitas mewah dalam penjara, bahkan tak sedikit pelesiran ke luar negeri. Inilah rusaknya menerapkan sistem kapitalisme, tindak korupsi jangankan untuk diberantas hingga tuntas, dicegah saja tidak mampu.
Islam Tuntas Memberantas Korupsi
Berbeda dengan sistem yang diterapkan saat ini, Islam mampu memberantas korupsi hingga tuntas. Sistem politik Islam akan menerapkan aturannya (syariat Islam) secara sempurna dan menyeluruh sehingga menutup peluang terjadinya korupsi. Di mulai dari proses pemilihan pemimpin berlangsung dengan jujur berdasarkan kualitas calon pemimpin, bukan dengan money politic. Pengangkatan pejabat mutlak ada di tangan khalifah, tidak ada peran parpol di dalamnya.
Dalam aspek ekonomi, SDA milik umum termasuk di dalamnya minyak bumi akan dikelola secara profesional oleh negara. Sehingga hasil dari pengelolaannya akan sampai pada masyarakat secara mudah bahkan gratis. Dari sisi hukum Islam menegaskan korupsi, yakni menggelapkan harta yang diamanatkan padanya merupakan tindakan yang haram yang terkategori perbuatan khianat. Sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengkhianati Allah dan Rasul-Nya. Jangan pula kalian mengkhianati amanah-amanah kalian, padahal kalian tahu.” (QS Al-Anfal: 8).
Sanksi dalam Islam bagi pelaku korupsi sangat tegas dan menjerakan, yaitu berupa takzir yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim. Bentuk sanksinya bisa berupa nasihat atau teguran dari hakim, penjara, pengenaan denda, publikasi pelaku di khalayak umum atau media massa, hukuman cambuk, hingga hukuman mati. Teknisnya bisa digantung atau dipancung. Berat dan ringannya takzir sesuai dengan kejahatan yang dilakukannya.
Semuanya ini didukung dengan penerapan sistem pendidikan Islam yang akan membentuk individu-individu yang bertakwa. Sehingga ketika siapa saja menjadi pejabat, mereka akan bersikap amanah. Sistem pendidikan Islam juga akan membentuk pribadi yang zuhud tidak mudah tergoda dengan harta yang bukan haknya. Dengan semua mekanisme ini, kepemimpinan Islam yang menerapkan syariat secara kafah akan mampu mewujudkan negara bebas dari korupsi dan membawa masyarakat pada tingkat kesejahteraan yang merata dan adil.
Wallahua’lam bish shawab