DAMASKUS (Arrahmah.id) – Presiden Suriah pada Kamis (13/3/2025) menandatangani sebuah konstitusi sementara yang membuat negara tersebut berada di bawah kekuasaan Islamis selama lima tahun, selama fase transisi.
Para penguasa sementara negara itu telah berjuang untuk menggunakan otoritas mereka di sebagian besar wilayah negara itu sejak Hai’ah Tahrir Syam atau HTS, memimpin serangan kilat yang menggulingkan mantan pemimpin Bashar Assad pada Desember.
Mantan pemimpin HTS, Ahmad Asy Syaraa, kini menjadi presiden sementara negara tersebut -sebuah keputusan yang diumumkan setelah pertemuan kelompok-kelompok bersenjata yang ikut ambil bagian dalam serangan terhadap Assad. Pada pertemuan yang sama, kelompok-kelompok tersebut setuju untuk mencabut konstitusi lama negara tersebut dan mengatakan bahwa konstitusi baru akan disusun, lansir AP.
Meskipun banyak yang senang melihat berakhirnya kekuasaan diktator keluarga Assad selama lebih dari 50 tahun di negara yang dilanda perang ini, kelompok agama dan etnis minoritas tetap skeptis terhadap para pemimpin Islamis yang baru dan enggan mengizinkan Damaskus di bawah pemerintahan yang baru untuk menguasai wilayah mereka.
Abdulhamid Al-Awak, salah satu dari tujuh anggota komite Asy Syaraa yang ditugaskan untuk menyusun konstitusi sementara, mengatakan dalam sebuah konferensi pers pada Kamis bahwa konstitusi tersebut akan mempertahankan beberapa ketentuan dari konstitusi sebelumnya, termasuk ketentuan bahwa kepala negara haruslah seorang Muslim, dan hukum Islam merupakan sumber utama yurisprudensi.
Namun, Al-Awak, seorang ahli hukum konstitusi yang mengajar di Universitas Mardin Artuklu di Turki, juga mengatakan bahwa konstitusi sementara ini mencakup ketentuan-ketentuan yang menjamin kebebasan berekspresi dan pers. Konstitusi ini akan “menyeimbangkan antara jaminan sosial dan kebebasan” selama situasi politik Suriah yang sedang goyah, katanya.
Sebuah komite baru untuk menyusun sebuah konstitusi permanen akan dibentuk, namun tidak jelas apakah konstitusi tersebut akan lebih inklusif terhadap kelompok-kelompok politik, agama, dan etnis di Suriah.
Asy Syaraa pada Senin mencapai kesepakatan penting dengan pihak berwenang yang dipimpin Kurdi yang didukung AS di Suriah timur laut, termasuk gencatan senjata dan penggabungan angkatan bersenjata mereka dengan badan-badan keamanan pemerintah pusat.
Kesepakatan ini terjadi setelah pasukan pemerintah dan kelompok-kelompok sekutu menumpas pemberontakan yang dilancarkan pekan lalu oleh orang-orang bersenjata yang setia kepada Assad.
Tujuan utama dari konstitusi sementara adalah untuk memberikan garis waktu bagi transisi politik negara tersebut untuk keluar dari fase sementara. Pada Desember, Asy Syaraa mengatakan bahwa diperlukan waktu hingga tiga tahun untuk menulis ulang konstitusi Suriah dan hingga lima tahun untuk mengorganisir dan menyelenggarakan pemilihan umum.
Asy Syaraa menunjuk sebuah komite untuk menyusun konstitusi baru setelah Suriah mengadakan konferensi dialog nasional bulan lalu, yang menyerukan untuk mengumumkan konstitusi sementara dan mengadakan pemilihan parlemen sementara. Para pengkritik mengatakan bahwa konferensi yang diselenggarakan dengan tergesa-gesa ini tidak melibatkan berbagai kelompok etnis dan sektarian di Suriah atau masyarakat sipil.
Amerika Serikat dan Eropa ragu-ragu untuk mencabut sanksi-sanksi keras yang dijatuhkan kepada Suriah selama pemerintahan Assad sampai mereka yakin bahwa para pemimpin baru akan menciptakan sistem politik yang inklusif dan melindungi kaum minoritas. Asy Syaraa dan pemerintah-pemerintah regional telah mendesak mereka untuk mempertimbangkan kembali, karena khawatir bahwa ekonomi negara yang sedang runtuh dapat membawa ketidakstabilan lebih lanjut. (haninmazaya/arrahmah.id)