DOHA (Arrahmah.id) – Sejumlah pengamat meyakini bahwa Perdana Menteri penjajah “Israel”, Benjamin Netanyahu, akan menyetujui kesepakatan gencatan senjata sementara karena ia tengah menjalankan proyek pengosongan Gaza secara bertahap. Mereka menilai Netanyahu ingin menunjukkan bahwa dirinya tidak tunduk pada Presiden AS Donald Trump, dengan tetap melakukan perundingan di tengah gempuran militer demi memaksakan kesepakatan sesuai syarat-syaratnya.
Netanyahu disebut mulai melunak dalam proses negosiasi, sementara pasukannya terus menghancurkan infrastruktur Gaza untuk memaksa warga di wilayah utara dan tengah mengungsi ke selatan. Ia tidak menolak putaran baru perundingan, namun berusaha memastikan bahwa perundingan itu akan mengarah pada hasil yang memperkuat ambisinya menguasai penuh Jalur Gaza.
Menurut harian Yedioth Ahronoth, militer “Israel” telah memperluas operasi militernya berdasarkan rencana bernama “Gerobak Gideon”, yang mencakup pengeboman besar-besaran serta pendudukan wilayah yang telah dikuasai.
Di sisi lain, surat kabar tersebut mengutip pernyataan pejabat bahwa pemerintah penjajah menghadapi waktu krusial 24 jam dalam perundingan, dengan kemungkinan kesepakatan bisa tercapai dalam hitungan jam. Sementara itu, saluran “Kan” menyebut perundingan mendatang akan berlangsung tanpa prasyarat dari kedua belah pihak.
Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio pada Sabtu malam (18/5) mengatakan bahwa dirinya telah berdiskusi dengan Netanyahu mengenai upaya pembebasan tawanan, yang menurut pengamat utama Pusat Studi Al Jazeera, Dr. Liqa’ Makki, mengindikasikan kemungkinan besar tercapainya kesepakatan.
Namun, Dr. Makki menegaskan dalam program Masar al-Ahdats Al Jazeera bahwa kebiasaan “Israel” untuk mengingkari kesepakatan akan menjadi batu sandungan utama, mengingat jaminan AS tidak mampu menegakkan perjanjian sebelumnya.
Hamas dalam Tekanan
Menurut Makki, Gerakan Perlawanan Islam (Hamas) kini berada dalam posisi yang semakin sulit karena semua pihak menekan mereka, sementara tidak ada yang menekan “Israel”. Ia menyebut bahwa pengorbanan Hamas demi mencegah pengosongan Gaza akan menjadi keberhasilan besar.
Meski berat, Makki menyebut tekanan militer dan kemanusiaan di Gaza, ditambah tekanan AS dan Arab, membuat pilihan Hamas menjadi sangat terbatas. Ia memperingatkan bahwa jika rakyat Gaza terusir, mereka tidak akan kembali, sementara perlawanan akan bangkit kembali dengan lebih kuat.
Makki menyimpulkan bahwa tujuan utama Hamas saat ini adalah menggagalkan proyek pengosongan yang mulai dijalankan oleh penjajah secara nyata di lapangan. Ia menambahkan bahwa sejak lama “Israel” sadar tidak bisa menguasai Gaza secara militer, sehingga kini fokus pada pengosongan penduduknya, memanfaatkan kelambanan dunia internasional.
Menurut Kantor Informasi Pemerintah di Gaza, militer penjajah telah menghancurkan 1.000 rumah di utara Jalur Gaza dan memaksa sekitar 300.000 warga mengungsi hanya dalam dua hari.

Netanyahu Butuh Kesepakatan Sementara
Pengamat urusan “Israel”, Dr. Muhannad Mustafa, menyebut bahwa eskalasi militer bersamaan dengan perundingan mencerminkan strategi Netanyahu untuk menegaskan bahwa ia bukan bawahan Trump, dan bahwa ia akan berunding sambil terus menyerang guna mencapai kesepakatan sesuai keinginannya.
Mustafa meyakini bahwa Netanyahu saat ini membutuhkan jeda sementara, bahkan jika harus menunjukkan fleksibilitas pada beberapa poin kontroversial, selama itu tidak berarti mengakhiri perang. Ia ingin menggunakan jeda tersebut untuk meredakan tekanan dalam negeri dan internasional, serta melanjutkan proyek pengosongan.
Alasan utama yang mendorong Netanyahu menyetujui kesepakatan kali ini, menurut Mustafa, adalah kesadarannya bahwa ini adalah peluang terakhir untuk menyelamatkan tawanan yang masih hidup. Ia ingin memastikan setidaknya separuh dari mereka kembali, sebagai imbalan untuk gencatan senjata sementara yang bisa berlangsung hingga dua bulan.
Dr. Mustafa menegaskan bahwa jika berhasil memulangkan 10 tawanan atau lebih, Netanyahu akan dianggap meraih keberhasilan besar—terutama karena kini ia menjadi aktor dominan dalam perang dan perundingan setelah menyingkirkan semua lawan politik dan militer.
Secara militer, ekspansi operasi yang sedang dijalankan “Israel” bertujuan mempertahankan wilayah yang telah direbut dan membangun infrastruktur di dalamnya. Brigjen Elias Hanna menyebut bahwa rencana ini juga bertujuan memindahkan warga Gaza utara dan tengah ke wilayah selatan sambil bernegosiasi gencatan senjata.
Dengan demikian, menurut Hanna, Netanyahu sedang melakukan perubahan realitas di lapangan sambil berunding di meja perundingan.
Ia menambahkan bahwa skenario ini akan memunculkan aturan pertempuran baru, di mana satu-satunya pilihan bagi perlawanan adalah terus bertempur. Menyerahkan senjata akan berarti kehancuran total, sehingga Hamas kini berusaha memanfaatkan tawanan sebagai kartu tawar untuk mengubah situasi.
Hanna memperingatkan bahwa penghancuran wilayah dan pemindahan warga akan memperkecil ruang gerak perlawanan, yang berarti bahwa pertempuran selanjutnya akan jauh lebih brutal karena penjajah menargetkan pejuang dan terowongan perlawanan.
(Samirmusa/arrahmah.id)