Di perbukitan sebelah barat Hebron, tempat kesunyian kini menyelimuti kebun zaitun dan reruntuhan berpagar, sebuah desa Palestina pernah berkembang pesat. Al-Dawayima adalah namanya, komunitas pertanian yang berpenduduk hampir 6.000 orang, penuh dengan anak-anak, rumah batu, dan hasil panen. Kehidupan itu berakhir pada 29 Oktober 1948.
Kini, hanya kenangan yang membuatnya tetap hidup.
Bagi Abu Bassam Muhammad Ismail Al-Qaisi, yang saat itu berusia 10 tahun, pembantaian yang terjadi hari itu tidak pernah berakhir. Ia melihat keluarganya tewas di sampingnya. Ia ditembak empat kali. Namun, entah bagaimana, ia selamat.
“Saya melihat semuanya,” katanya kepada Quds News Network. “Saya mengalaminya. Dan saya mengingat semuanya.”

Perang telah berakhir ketika pasukan ‘Israel’ menyerang. Penduduk desa telah mendengar tentang pembantaian di tempat-tempat terdekat seperti Deir Yassin. Banyak yang melarikan diri. Namun yang lain, seperti keluarga Muhammad, tetap tinggal percaya bahwa pertempuran telah berakhir.
Jumat itu, tujuh kendaraan lapis baja datang dari dua arah. Tentara ‘Israel’ turun ke jalan, melepaskan tembakan tanpa peringatan. Tidak ada perlawanan. Tidak ada pertempuran. Hanya peluru.
“Mereka menembaki apa saja,” kata Abu Bassam. “Orang-orang yang berjalan, yang sedang beribadah, rumah-rumah, bahkan masjid.”
Lebih dari 75 orang tua tewas saat shalat di masjid desa tersebut. Beberapa di antaranya dikunci di dalam dan dieksekusi. Yang lainnya diledakkan dengan bahan peledak. Saksi mata kemudian mengatakan kepada wartawan bahwa tentara Israel memukuli anak-anak hingga tewas dan memperkosa wanita sebelum membunuh mereka.
Seorang pengamat PBB yang berkunjung kemudian mengatakan jumlah yang tewas mungkin melebihi 200.
Sejarawan ‘Israel’ Benny Morris, yang mengutip arsip militer, menggambarkan Al-Dawayima sebagai salah satu pembantaian terbesar di Nakba. Rinciannya begitu mengganggu sehingga bahkan otoritas ‘Israel’ yang baru dibentuk saat itu berusaha merahasiakannya.
Namun bagi para penyintas seperti Abu Bassam, tidak ada keheningan resmi yang dapat menghapus apa yang telah terjadi.
Gua yang Berubah Menjadi Kuburan
Saat tentara menyerbu desa, keluarga Abu Bassam melarikan diri dengan berjalan kaki. Ayah, ibu, nenek, dan lima saudara kandungnya bergabung dengan para tetangga saat mereka melarikan diri ke lembah terdekat yang disebut Tur Al-Zagha. Sekitar 100 orang, kebanyakan wanita dan anak-anak, berkerumun di sebuah gua alam, berharap tentara tidak akan menemukan mereka.
Tapi mereka melakukannya.
“Satu tembakan dilepaskan oleh seseorang yang mencoba membela kami,” kenang Abu Bassam. “Itu sudah cukup. Mereka menemukan gua itu.”
Para tentara mengepung pintu masuk. Salah seorang menyeret seorang gadis muda keluar dan mencoba melecehkannya secara seksual. Ibunya mencoba menghentikannya. Dia menembak mereka berdua dengan darah dingin. Kemudian, tanpa ragu-ragu, senapan mesin itu menembaki semua orang di dalam.
“Saya ditembak empat kali,” kata Abu Bassam. “Di sisi tubuh saya, di kaki saya, di lengan saya.”
Ayahnya tertembak di kepala dan meninggal seketika. Ibunya sedang menggendong adik laki-lakinya, seorang balita berusia lebih dari satu tahun, ketika sebuah peluru mengenai tengkorak anak itu. Neneknya meninggal saat melindungi adik-adiknya dengan tubuhnya.
“Kupikir hanya aku yang masih hidup,” katanya lirih, terisak-isak saat berusaha menahan tangis.
Ketika para prajurit pergi, Abu Bassam, yang masih berdarah, merangkak keluar dari gua. Ia berjalan sendirian sampai ia menemukan bibinya, yang juga telah melarikan diri. Bersama-sama, mereka berjalan menuju kota Dura di dekatnya.
Di sana, ia menemukan bahwa tiga saudaranya secara ajaib selamat, dilindungi oleh tubuh nenek mereka selama baku tembak.
Dari Yatim Piatu Menjadi Guru: Sebuah Kehidupan yang Dibangun Kembali dari Kehancuran
Muhammad, yang saat itu baru berusia 10 tahun, menghabiskan dua bulan di rumah sakit lapangan di Hebron. Ia dan saudara-saudaranya yang masih hidup kini menjadi yatim piatu, terlantar, dan trauma. Mereka tidak punya rumah, tidak punya orang tua, tidak punya tanah untuk kembali.
“Kami tinggal di sebuah gua di Khirbet Seema selama beberapa waktu,” katanya. “Di musim dingin, adik-adik saya akan menangis di malam hari, memanggil-manggil ibu kami.”
Ketika penduduk desa mencoba kembali ke Al-Dawayima, mereka mendapati daerah itu tertutup dan penuh ranjau darat. Beberapa orang yang mencoba memetik buah zaitun atau mengambil barang-barang mereka terbunuh. Tentara Israel menembaki yang lainnya.
Pada 1950, Muhammad dan seorang temannya mencoba mengambil perbekalan dari desa tersebut, tetapi mereka diserang dan melarikan diri. Pada 1951, keluarga tersebut dipindahkan ke kamp pengungsi Aqbat Jabr di dekat Jericho. Di sana, mereka tinggal di tenda, memanggang roti di atas api unggun. Kakak perempuannya, Sabha, yang baru berusia 12 tahun, menjadi kepala keluarga.
Muhammad bekerja memetik buah zaitun dan membajak ladang untuk membantu memberi makan saudara-saudaranya. Ia membangun tempat berteduh dari lumpur kecil untuk mereka. Melawan segala rintangan, ia tetap bersekolah, dan pada 1958, ia lulus ujian akhir.
“Itu adalah salah satu hari paling bahagia dalam hidup saya,” katanya. “Saya merasa seperti berhasil menembus tembok keputusasaan.”
Ia pindah ke Amman dan bekerja sebagai pelayan. Kemudian, ia memperoleh diploma di bidang pendidikan dan menjadi guru di UNRWA. Selama bertahun-tahun, ia naik jabatan menjadi kepala sekolah, kemudian menjadi inspektur pendidikan. Ia menempuh pendidikan tinggi, memperoleh gelar sarjana akuntansi dan gelar magister pendidikan.
Ia menikah, membesarkan sepuluh orang anak, enam putra dan empat putri, dan kini memiliki 25 cucu. Kini, di usianya yang ke-87, ia masih bekerja di bidang akuntansi.
Namun masa lalunya tetap hidup bersamanya.
Ia masih ingat jeritan di dalam gua, suara tembakan, dan hangatnya darah ibunya. Ia masih bisa melihat tengkorak adik bayinya yang hancur.
“Kami masih anak-anak,” katanya. “Dan mereka membunuh kami seolah-olah kami bukan apa-apa.” (zarahamala/arrahmah.id)