DAMASKUS (Arrahmah.id) – Menurut laporan Associated Press, konflik di Suriah telah memperburuk ketegangan antara Turki dan ‘Israel’, dengan kepentingan kedua negara yang semakin bertentangan di wilayah tersebut. Kondisi ini disebut mendorong keduanya ke arah konfrontasi tidak langsung dalam bentuk perang proxy.
Ketegangan Meningkat
Turki, yang sejak lama mendukung kelompok oposisi terhadap rezim Bashar al-Assad, menginginkan Suriah yang stabil dan bersatu di bawah pemerintahan pusat. Ankara juga menyambut baik kesepakatan baru antara pemerintah Suriah dan Syrian Democratic Forces (SDF) yang dipimpin oleh kelompok Kurdi. Kesepakatan ini bertujuan untuk mengintegrasikan SDF ke dalam tentara Suriah.
Sebaliknya, ‘Israel’ justru lebih skeptis terhadap pemerintahan baru di Suriah dan mencurigai pengaruh Turki di negara itu. Tel Aviv tampaknya lebih memilih Suriah tetap terpecah, mengingat selama bertahun-tahun Suriah di bawah Assad menjadi basis operasi bagi Iran dan kelompok proksi-nya.
Perang Proxy di Suriah?
Aslı Aydıntaşbaş dari Brookings Institution menyatakan bahwa Suriah kini telah menjadi “medan perang proxy antara Turki dan ‘Israel’.” Kedua negara saling melihat satu sama lain sebagai rival regional, dan perbedaan pandangan mereka terhadap masa depan Suriah semakin memperumit hubungan.
Setelah jatuhnya Assad, ‘Israel’ menguasai beberapa wilayah di selatan Suriah, mengklaim langkah ini sebagai strategi untuk menjaga “kelompok-kelompok musuh” tetap jauh dari perbatasannya. Selain itu, Tel Aviv juga terus melakukan serangan udara terhadap infrastruktur militer yang pernah dikuasai rezim Assad, serta menegaskan niatnya untuk mempertahankan kehadiran di kawasan itu dalam jangka panjang.
Sementara itu, Turki telah meluncurkan operasi militer di utara Suriah sejak 2016 untuk menekan kelompok militan Kurdi yang dianggap sebagai ancaman keamanan nasionalnya. Saat ini, Ankara dan Damaskus disebut mulai menjalin kerja sama dalam menjaga stabilitas kawasan.
‘Israel’ Ingin Suriah Tetap Terpecah?
Nimrod Goren, ketua Mitvim Institute yang berbasis di ‘Israel’, menilai bahwa Tel Aviv tampaknya lebih memilih Suriah tetap terpecah sebagai strategi keamanan jangka panjang.
“Berbeda dengan Turki yang menginginkan Suriah yang kuat dan bersatu, ‘Israel’ justru merasa lebih aman dengan Suriah yang terfragmentasi. Mereka khawatir bahwa pemerintahan yang kuat di Damaskus dapat membawa ancaman baru ke perbatasan mereka,” kata Goren.
Di sisi lain, para analis menilai bahwa eskalasi ketegangan ini dapat membawa risiko serius bagi kawasan. Jika konflik terus meningkat, bukan tidak mungkin Turki dan ‘Israel’ akhirnya berhadapan langsung di Suriah.
Sebuah laporan dari Institute for National Security Studies (INSS) yang dipimpin oleh mantan kepala intelijen militer ‘Israel’ bahkan menyarankan bahwa Tel Aviv sebaiknya mempertimbangkan untuk berdialog dengan Ankara guna mencegah konfrontasi langsung yang dapat memperburuk situasi keamanan di kawasan.
(Samirmusa/arrahmah.id)