GAZA (Arrahmah.id) – Di tengah serangan brutal yang terus berlangsung di Gaza, tentara ‘Israel’ menghadapi musuh yang tak kalah berbahaya dari medan tempur: kehancuran psikologis dari dalam. Kelelahan tempur, krisis moral, hingga gelombang gangguan mental menggerogoti daya tempur tentara, dan kini menjadi ancaman nyata bagi kemampuan mereka melanjutkan perang.
Kekurangan Personel, Korban Jiwa Diam-Diam
Karena kekurangan pasukan, militer ‘Israel’ mengambil langkah ekstrem: memanggil kembali tentara cadangan yang sebelumnya didiagnosis dengan gangguan stres pascatrauma (PTSD) dan bahkan disabilitas mental permanen. Hasilnya? Gelombang baru bunuh diri dan kehancuran mental, sebagaimana diungkap laporan investigatif Haaretz dan Yedioth Ahronoth.
Menurut data resmi, 35 tentara ‘Israel’ dilaporkan bunuh diri sejak perang dimulai pada 7 Oktober 2023. Lebih dari 9.000 tentara kini diklasifikasi sebagai penderita gangguan psikologis, dengan 11.000 lainnya sudah lebih dulu didiagnosis PTSD sebelum perang. Sejak perang Gaza meletus, 17.000 tentara tambahan mengalami luka, separuhnya mengalami gangguan jiwa.
Dalam investigasi mendalam, jurnalis Haaretz Tom Levinson menyampaikan betapa buruknya situasi ini. Tentara dengan gangguan mental dikirim ke medan tempur tanpa evaluasi kesehatan memadai. Alasannya sederhana: militer takut hasil evaluasi justru membongkar betapa parahnya krisis di barisan cadangan.
Salah satu tentara bahkan berkata, “Saya dalam bahaya… Saya bisa menyakiti diri sendiri atau orang lain.” Banyak dari mereka kemudian kembali dengan kondisi yang lebih rusak secara mental daripada sebelumnya, jika kembali.
Militer Tanpa Arah, Target yang Kabur
Tak hanya krisis mental, tentara juga dilanda kebingungan strategis. Dalam artikelnya berjudul “Dilema 2025: Ke Mana Arah Perang Gaza?”, jurnalis dan analis militer Ronen Bergman menyebut ‘Israel’ berada dalam “perang tanpa tujuan.”
Masyarakat mulai kehilangan kepercayaan, keluarga tawanan khawatir, dan para perwira senior mempertanyakan apakah perang ini masih bisa membebaskan tawanan, tujuan utama yang semula diumumkan.
Bergman juga menyinggung kemungkinan bahwa dukungan politik terhadap militer hanyalah jebakan, agar ketika perang gagal atau terlalu mahal, para politisi seperti Netanyahu bisa melempar tanggung jawab ke tentara.
Militer terus mendorong “pendudukan merayap” di Gaza, meski mayoritas perwira senior menolaknya karena risiko keamanan yang besar. Menurut seorang pejabat intelijen, satu-satunya cara membebaskan tawanan secara realistis hanyalah melalui negosiasi, bukan invasi.
Analis Haaretz Amos Harel memperingatkan bahwa Israel sedang menuju “kekacauan total” di Gaza. Menurutnya, satu-satunya jalan keluar adalah intervensi eksternal, terutama dari Washington.
Walau Herzi Halevi, sempat mengusulkan rencana pendudukan penuh dengan enam divisi, kenyataannya hanya sebagian kecil dari puluhan ribu pasukan cadangan yang dikerahkan ke Gaza. Sebagian besar malah ditugaskan ke Tepi Barat dan perbatasan utara.
Di saat yang sama, serangan udara makin meningkat, sebagai persiapan untuk operasi “Arbaat Gid’on” (Kereta Perang Gideon), dan peringatan akan bencana kemanusiaan dalam 10 hari ke depan terus membayangi. Jika eskalasi tak dihentikan, sanksi internasional bisa menyusul, kecuali Presiden AS Donald Trump mengambil langkah pengendalian. (zarahamala/arrahmah.id)