Oleh Novi Widiastuti
Pegiat literasi
Pelaksanaan Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) untuk Seleksi Nasional Berdasarkan Tes (SNBT) tahun 2025 diwarnai dengan dugaan kecurangan yang mencengangkan dan berhasil menyita perhatian publik. Berbagai modus baru muncul, memanfaatkan teknologi canggih yang sulit terdeteksi oleh sistem pengawasan standar.
Selama dua hari awal pelaksanaan UTBK, panitia mendeteksi sedikitnya 14 kasus kecurangan yang melibatkan peserta. Khusus pada hari pertama ujian, Rabu (23/4/2025), Tim Seleksi Nasional Penerimaan Mahasiswa Baru (SNPMB) berhasil mengidentifikasi sembilan kasus kecurangan. (Beritasatu.com, 25/4/2025)
Dilansir dari media Kompas.com, pada 25/4/2025, Ketua Umum SNPMB, Prof. Eduart Wolok, menyatakan bahwa kecurangan terjadi pada 0,0071 persen dari 196.328 peserta UTBK 2025 sesi 1–4. Meski jumlahnya kecil, ia menegaskan bahwa kecurangan sekecil apa pun tidak akan ditoleransi.
Dia mengungkap bahwa sejumlah peserta diduga berhasil menyelundupkan alat perekam dengan cara-cara yang tak lazim dan sulit terdeteksi. Kamera berukuran sangat kecil disamarkan dalam bentuk behel gigi, kuku, ikat pinggang, bahkan kancing baju semuanya luput dari deteksi alat metal detector yang digunakan di lokasi ujian.
Tak hanya itu, beberapa peserta juga diketahui menyembunyikan ponsel pintar atau perangkat elektronik lainnya di bagian tubuh tertentu, yang tidak dapat dijangkau oleh pemeriksaan standar.
Curang dengan Teknologi: Potret Buruk Akhlak Calon Mahasiswa
Pemanfaatan teknologi untuk mengakali tes Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) merupakan fenomena memprihatinkan yang mencoreng dunia pendidikan. Alih-alih digunakan untuk menunjang pembelajaran dan mengasah potensi diri, teknologi justru dijadikan alat untuk melakukan kecurangan. Ini bukan sekadar pelanggaran teknis terhadap sistem ujian, tetapi sebuah cerminan dari buruknya akhlak sebagian calon mahasiswa generasi yang kelak akan memegang peran penting dalam pembangunan bangsa.
Tindakan seperti menggunakan alat bantu tersembunyi, menyewa joki online, atau memanipulasi sistem komputer menunjukkan bahwa sebagian pelajar lebih mengutamakan hasil instan ketimbang proses yang jujur dan berintegritas. Ketika nilai akademik menjadi satu-satunya tolok ukur keberhasilan, sementara aspek moral dan spiritual diabaikan, maka tidak mengherankan jika kecurangan dianggap wajar dan bahkan dibenarkan selama tujuannya tercapai.
Hal ini menjadi alarm keras bahwa pendidikan kita telah gagal membentuk karakter. Sekolah dan lingkungan belajar tidak lagi menjadi tempat menumbuhkan nilai-nilai luhur seperti kejujuran, tanggung jawab, dan takut kepada Tuhan. Sebaliknya, siswa dilatih mengejar target, bukan kebenaran; mengejar nilai, bukan makna. Maka, tak heran jika akhirnya teknologi yang seharusnya menjadi sarana kemajuan justru menjadi senjata untuk merusak integritas.
Generasi Rusak dalam Penerapan Sistem Pendidikan Kapitalisme
Kerusakan moral yang melanda generasi muda saat ini bukanlah terjadi secara tiba-tiba, melainkan merupakan buah dari sistem pendidikan yang diterapkan dalam bingkai ideologi kapitalisme. Sistem ini memosisikan pendidikan sebagai sarana untuk mencetak tenaga kerja demi kebutuhan pasar, bukan sebagai proses pembentukan manusia paripurna yang berakhlak mulia dan bertanggung jawab di hadapan Tuhan. Maka tidak mengherankan jika hari ini kita menyaksikan generasi yang cerdas secara akademik, tetapi rusak secara akhlak.
Dalam sistem pendidikan kapitalistik, keberhasilan diukur dari capaian materi: nilai tinggi, gelar prestisius, dan pekerjaan dengan gaji besar. Sementara itu, nilai-nilai moral seperti kejujuran, amanah, kesederhanaan, dan kepedulian sosial terpinggirkan. Halal dan haram tak lagi menjadi pertimbangan. Bahkan, tindakan menyontek, manipulasi data, hingga membeli jalan pintas demi lolos ujian atau seleksi seperti UTBK dianggap biasa dan lumrah. Pendidikan telah kehilangan rohnya yakni membentuk manusia sebagai hamba Allah dan khalifah di bumi.
Lebih parah lagi, sistem ini tidak sekadar gagal membina akhlak, tetapi juga menjauhkan peserta didik dari kesadaran spiritual. Kurikulum sekuler menempatkan agama hanya sebagai pelengkap, bukan pondasi. Akibatnya, generasi yang dihasilkan tidak memiliki keteguhan iman, tidak takut bermaksiat, dan mudah goyah oleh tekanan dunia. Mereka diajarkan mengejar kesuksesan duniawi tanpa dibekali orientasi akhirat.
Generasi Gemilang Lahir dari Sistem Pendidikan Berbasis Akidah Islam
Sejarah telah mencatat dengan terang bahwa peradaban Islam di masa lalu mampu melahirkan generasi gemilang yang tak hanya unggul dalam ilmu pengetahuan, tetapi juga luhur dalam akhlak. Kejayaan itu bukan hadir secara kebetulan, melainkan lahir dari sistem pendidikan yang dibangun di atas fondasi akidah Islam.
Dalam sistem ini, ilmu dan iman berjalan beriringan, sehingga setiap pencapaian intelektual diarahkan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan memberi manfaat sebesar-besarnya bagi umat.
Di masa keemasan Islam, lahirlah para ilmuwan sekaligus ulama seperti Ibnu Sina, Al-Khawarizmi, Al-Farabi, dan Imam Syafi’i mereka bukan hanya ahli di bidangnya, tapi juga sosok yang terikat kuat pada nilai-nilai syariat.
Pendidikan bukan sekadar alat untuk meraih status sosial atau keuntungan materi, melainkan sebagai jalan ibadah dan pengabdian kepada Allah. Maka tak heran, generasi yang dibina dalam sistem ini tumbuh menjadi pemimpin, penemu, dan pembaharu yang membawa cahaya Islam ke penjuru dunia.
Keberhasilan tersebut menunjukkan bahwa sistem pendidikan Islam tidak hanya menghasilkan kecerdasan, tetapi juga integritas. Anak-anak dididik sejak dini untuk memahami tujuan hidup, tanggung jawab sebagai hamba Allah, serta pentingnya menjadikan syariat sebagai pedoman dalam seluruh aspek kehidupan. Ilmu pengetahuan tidak dipisahkan dari nilai-nilai wahyu, justru disinergikan untuk membangun peradaban yang berkah.
Sayangnya, sistem pendidikan hari ini telah jauh menyimpang dari warisan gemilang tersebut. Ketika pendidikan dipisahkan dari akidah, maka hilanglah arah dan tujuan mulianya. Oleh karena itu, kebangkitan peradaban umat hanya mungkin terwujud jika kita kembali kepada sistem pendidikan Islam yang telah terbukti mencetak generasi tangguh berilmu tinggi, berakhlak mulia, dan siap menjadi pelita bagi dunia.
Wallahua’lam bis shawab