KABUL (Arrahmah.com) – Rakyat Afghanistan menyatakan kecewa atas Presiden Ashraf Ghani dan saingannya Abdullah Abdullah yang mengambil sumpah serentak untuk kursi kepresidenan, yang selanjutnya menjerumuskan negara yang dilanda perang itu ke dalam krisis politik baru.
Kedua pemimpin pada Senin (9/3/2020) mengadakan upacara mereka sendiri dan membentuk pemerintahan paralel, dengan Abdullah menolak untuk mengakui pelantikan Ghani, saat upaya Amerika Serikat untuk menyelesaikan krisis gagal, lansir Al Jazeera.
Beberapa sumber mengonfirmasi kepada Al Jazeera bahwa pemerintah AS, yang dipimpin oleh utusan khusus Zalmay Khalilzad, telah bernegosiasi dengan kedua pihak selama 24 jam terakhir untuk mencapai penyelesaian damai.
Situasi ini mirip dengan tahun 2014 ketika intervensi John Kerry dalam perselisihan yang sama menyebabkan pembentukan pemerintah Persatuan Nasional setelah kesepakatan pembagian kekuasaan disepakati oleh Ghani dan Abdullah.
Namun, kali ini para pemimpin AS gagal membawa kedua pihak mendapatkan penyelesaian, menghasilkan perkembangan yang tidak biasa pada Senin (9/3). Abdullah membantah hasil pemilihan yang diumumkan bulan lalu dan menyatakan dirinya sebagai pemenang.
Tak satu pun dari mereka layak mendapat posisi
Sementara itu, warga Afghanistan menyaksikan krisis baru yang sedang merebak di negara itu dengan gugup dan tidak percaya, sementara jalan-jalan ibu kota Kabul yang selalu ramai tampak kosong pada Senin pagi.
Ketika ditanya siapa presiden Afghanistan yang sah, Mohammad Rashid, seorang tukang daging berusia 29 tahun di Kabul barat, mengambil napas dalam-dalam sebelum menjawab: “Saya tidak yakin. Tak satu pun dari mereka yang layak mendapat posisi itu.”
“Mereka berdua memiliki kesempatan untuk bekerja sama tetapi mereka tidak melakukan apa-apa. Kekerasan lebih buruk dari sebelumnya dan ekonomi sedang dalam kesulitan,” kata Rashid, yang menyaksikan kedua upacara pembukaan dari sebuah televisi kecil di tokonya.
Dia mengatakan dia sangat tertekan bahwa kedua pemimpin tidak dapat mencapai perdamaian bagi negara yang dilanda perang.
“Hal seperti itu belum pernah terjadi di belahan dunia manapun sebelumnya,” katanya kepada Al Jazeera. “Tidak ada hal baik yang bisa keluar dari ini, dan tidak ada harapan tersisa untuk masa depan yang damai setelah menyaksikan perkembangan hari ini.”
Sentimen serupa bergema di antara warga Afghanistan lainnya di ibu kota.
“Tentu saja, Ashraf Ghani adalah pemimpin yang sah karena AS memilihnya. Abdullah dapat mencalonkan diri dalam seratus pemilihan, tetapi itu tidak akan terjadi karena AS memilih Presiden Ghani dan merekalah yang menjalankan pertunjukan,” ujar pria berusia 45 tahun Humayoon, seorang agen properti, yang seperti banyak orang Afghanistan lainnya, hanya menggunakan nama depan.
Namun terlepas dari suara kepercayaannya untuk Ghani, ia tidak punya harapan hasil yang damai untuk krisis politik saat ini.
“Setiap negara memiliki pemimpin yang menjalankan urusan mereka, dan negara kami terbagi antara dua pemerintah. Kami tidak dapat memprediksi masa depan tetapi jalan yang kami tempuh saat ini sangat salah. Arah yang dipilih oleh para pemimpin kami terikat untuk menuju ke krisis,” katanya. (haninmazaya/arrahmah.com)