RAMALLAH (Arrahmah.id) – Dalam sebuah langkah bersejarah dan kontroversial, Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas telah menujuk tokoh senior Fatah Hussein al-Sheikh sebagai wakilnya, penunjukan pertama dalam dua dekade.
Keputusan tersebut, yang disetujui oleh Komite Eksekutif dan Dewan Pusat Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) pada Sabtu (26/4/2025), menjadikan al-Sheikh pejabat tertinggi kedua dalam organisasi tersebut, tepat di bawah Abbas.
Jabatan baru itu diciptakan menyusul resolusi Dewan Pusat untuk menetapkan jabatan Wakil Presiden PLO, di tengah meningkatnya kekhawatiran atas suksesi kepemimpinan seiring bertambahnya usia Abbas (89).
Al-Sheikh (64), telah lama dianggap sebagai orang kepercayaan terdekat Abbas. Berasal dari Ramallah, ia berasal dari keluarga pedagang yang mengungsi dari Deir Tarif selama Nakba 1948. Ia adalah ayah dari enam orang anak dan anggota veteran Komite Sentral Fatah dan Komite Eksekutif PLO. Sejak 2022, ia menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Komite Eksekutif, yang secara efektif menjadi orang kedua dalam komando organisasi tersebut.
Karier politik Al-Sheikh berawal dari akhir 1970-an, saat ia bergabung dengan Fatah dan kemudian dipenjarakan oleh otoritas ‘Israel’ pada 1978 saat berusia 17 tahun. Ia menghabiskan 11 tahun di balik jeruji besi karena diduga terlibat dalam sel gelap, dan selama masa itu ia belajar bahasa Ibrani dengan lancar.
Pada1990-an, ia naik pangkat di Fatah, bertugas di pasukan keamanan Palestina dan akhirnya memimpin operasi Fatah di Tepi Barat. Sejak 2007, ia telah mengawasi Otoritas Urusan Sipil, mengelola koordinasi yang sensitif dengan otoritas ‘Israel’.
Setelah kematian kepala negosiator Saeb Erekat pada 2020, al-Sheikh semakin naik jabatan dan mengambil alih peran Erekat sebelumnya di PLO. Kehadirannya yang sering bersama Abbas di berbagai pertemuan tingkat tinggi internasional dan regional telah menempatkannya sebagai pemain kunci dalam diplomasi Palestina.
Akan tetapi, pengangkatannya bukannya tanpa reaksi keras.
Sementara banyak pendukung Fatah dan kubu Abbas memuji keputusan itu sebagai sesuatu yang diperlukan untuk stabilitas, para kritikus, termasuk anggota Fatah sendiri, serta Front Populer untuk Pembebasan Palestina (PFLP), Front Demokratik (DFLP), dan Partai Rakyat Palestina, mengutuknya sebagai tindakan sepihak.
Mereka menuduh Abbas mengabaikan norma-norma demokrasi dengan tidak mengizinkan seluruh Komite Eksekutif PLO memilih wakilnya.
Para kritikus berpendapat bahwa langkah tersebut dilakukan di bawah tekanan eksternal, khususnya dari negara-negara Amerika dan Arab, yang menginginkan sosok yang dapat diterima untuk kepemimpinan pasca-Abbas. Mereka memandang pengangkatan tersebut sebagai bagian dari rencana yang lebih luas untuk suksesi yang terkendali, bukan cerminan keinginan nasional Palestina.
“Tidak ada proses membangun konsensus,” kata seorang analis politik di Ramallah. “Ini tentang memperkuat kontrol, bukan tentang menghidupkan kembali PLO.”
Hamas mengeluarkan pernyataan keras yang mengecam penunjukan tersebut, menyebutnya sebagai tindakan “tercela” yang mengakar pada “unilateralisme dan pengucilan”. Kelompok itu menuduh Abbas menanggapi perintah asing alih-alih memprioritaskan persatuan Palestina.
Dalam pernyataannya, Hamas mengatakan: “Prioritas rakyat kami saat ini adalah menghentikan agresi, genosida, dan kelaparan di Gaza, bukan mendistribusikan posisi otoritas untuk memuaskan aktor eksternal.”
Hamas mendesak semua faksi Palestina untuk menolak penunjukan tersebut dan menyerukan pembangunan kembali PLO di atas fondasi nasional dan demokratis yang mencerminkan keinginan sejati rakyat Palestina.
Komite eksekutif PLO diperkirakan akan bertemu lagi Sabtu depan untuk memilih sekretaris jenderal baru, peran yang ditinggalkan setelah promosi al-Sheikh. (zarahamala/arrahmah.id)