NEW YORK (Arrahmah.id) – “Israel” dan sekutunya terus membenarkan penghancuran besar-besaran di Palestina dengan dalih hak membela diri. Namun, sejumlah pakar hukum berpendapat bahwa klaim tersebut tidak bisa diterima begitu saja dalam hukum internasional.
Menurut laporan Fox News, sejak perjanjian gencatan senjata antara “Israel” dan Hamas mulai berlaku, serangan udara di Tepi Barat justru meningkat, menyebabkan lebih dari 40 ribu warga Palestina mengungsi. Setelah fase pertama gencatan senjata yang rapuh berakhir, “Israel” memutus listrik dan menghalangi bantuan kemanusiaan ke Gaza. Lebih dari satu tahun perang telah menewaskan lebih dari 61 ribu warga Palestina, menghancurkan infrastruktur kesehatan, dan membuat sekitar 90% populasi mengungsi.
Secara hukum internasional, setiap negara memiliki hak untuk membela diri. Namun, menurut jurnalis Fox News, Abdullah Fayad, hak ini memiliki batasan—yaitu hanya berlaku jika terjadi serangan bersenjata dari negara lain. Dalam kasus “Israel”, serangan Hamas berasal dari wilayah yang masih berada di bawah kendali “Israel”, sehingga klaim membela diri menjadi tidak relevan.
Meskipun ada yang berargumen bahwa “Israel” harus menindak Hamas atas serangan 7 Oktober, argumen moral semata tidak cukup membenarkan pembunuhan puluhan ribu warga sipil tak berdosa.
Argumen Hukum yang Samar
Dalam hukum internasional, ada dua kerangka utama yang mengatur hak membela diri. Pertama, Piagam PBB, yang mengikat semua negara anggota secara hukum. Kedua, Hukum Humaniter Internasional, yang mengatur perilaku dalam konflik bersenjata.
Menurut Francesca Albanese, Pelapor Khusus PBB untuk wilayah Palestina, “Israel” tidak bisa mengklaim hak membela diri karena tidak diserang oleh negara lain, melainkan oleh kelompok bersenjata di wilayah yang didudukinya secara ilegal. Pengacara Afrika Selatan juga menegaskan bahwa tindakan “Israel” di Gaza justru memperkuat pendudukannya, bukan bentuk pertahanan sesuai Pasal 51 Piagam PBB.
Bahkan, dalam putusan Mahkamah Internasional, disebutkan bahwa “Israel” wajib segera mengakhiri pendudukannya di wilayah Palestina. Namun, alih-alih mundur, “Israel” terus memperluas pemukiman ilegal, memblokade Gaza, dan memberlakukan kontrol militer yang melanggar hak asasi warga Palestina.
Dalih “Israel”
Meski demikian, beberapa pakar hukum berpendapat bahwa serangan 7 Oktober tergolong serangan bersenjata, sehingga Pasal 51 Piagam PBB bisa berlaku. Eric Heinze, profesor studi internasional di Universitas Oklahoma, menyebutkan bahwa skala serangan dan jumlah korban sipil bisa membenarkan respons militer “Israel”.
Namun, Ardi Imseis, pakar hukum dari Universitas Queen’s, menegaskan bahwa klaim membela diri tidak berlaku karena “Israel” masih menduduki Gaza secara de facto, meskipun telah menarik pemukimannya sejak 2005. Bahkan, Mahkamah Internasional dan Departemen Luar Negeri AS masih mengakui Gaza sebagai wilayah Palestina yang diduduki.
Jika “Israel” memang ingin merespons serangan secara sah, maka harus mengikuti Hukum Pendudukan, yang menetapkan bahwa tindakan represif terhadap serangan dari wilayah yang diduduki harus dilakukan dalam skala yang terbatas dan proporsional.
Standar Ganda dalam Hukum Internasional
Dalam setahun terakhir, “Israel” telah menggunakan kelaparan massal sebagai senjata perang, menghancurkan sistem kesehatan Gaza, dan menciptakan kondisi yang memicu penyebaran penyakit yang dapat dicegah. Lebih dari 150 jurnalis juga terbunuh dalam perang ini.
Dengan fakta-fakta ini, sulit bagi “Israel” untuk mengklaim bahwa perangnya adalah bentuk pembelaan diri, atau bahwa perang ini hanya ditujukan kepada Hamas. Bahkan jika awalnya perang ini dimulai sebagai respons terhadap serangan 7 Oktober, tindakan “Israel” selama perang tetap tidak bisa dibenarkan secara hukum.
Selain itu, ada realitas hukum lain yang sering diabaikan sekutu “Israel”: sebagai bangsa yang hidup di bawah pendudukan, rakyat Palestina memiliki hak untuk melawan, termasuk melalui perlawanan bersenjata, sesuai dengan hukum internasional.
Menerima klaim “Israel” sebagai tindakan membela diri, sambil mengabaikan fakta bahwa mereka adalah kekuatan pendudukan, menunjukkan standar ganda dalam penerapan hukum internasional. Sikap ini tidak hanya melemahkan legitimasi sistem hukum global, tetapi juga memberikan impunitas bagi “Israel” untuk terus melanggar hukum tanpa konsekuensi.
(Samirmusa/arrahmah.id)