TEL AVIV (Arrahmah.id) – Kabinet Keamanan dan Politik “Israel” dijadwalkan menggelar pertemuan penting pada Selasa malam (22/4) guna menentukan arah kebijakan selanjutnya terhadap Jalur Gaza, di tengah kebuntuan negosiasi pertukaran tahanan dengan Hamas dan perbedaan pandangan di antara para menteri.
Pertemuan tersebut berlangsung di tengah tekanan kuat dari berbagai pihak, termasuk keluarga tahanan “Israel”, yang mendesak agar dilakukan kesepakatan komprehensif untuk membebaskan seluruh tahanan sekaligus, meski harus dibayar dengan penghentian agresi militer.
Menurut laporan lembaga penyiaran resmi “Israel”, kabinet akan membahas kelanjutan operasi militer di Gaza. Meski Tel Aviv berharap tekanan militer dan penghentian bantuan kemanusiaan akan mendorong Hamas melunak dan menerima usulan mediator AS, Steven Wietkoff, namun sejauh ini belum ada kemajuan berarti.
Disebutkan bahwa Hamas telah menolak secara resmi proposal yang diajukan, dan sejak akhir pekan lalu, proses negosiasi praktisnya terhenti.
Sementara itu, pimpinan Hamas, Khalil Al-Hayya, beberapa hari lalu menyatakan kesiapan pihaknya untuk memulai negosiasi komprehensif guna membebaskan seluruh tahanan “Israel” secara sekaligus, dengan imbalan penghentian agresi dan penarikan penuh pasukan “Israel” dari Gaza.
Menurut laporan, pertemuan kabinet kali ini diwarnai perbedaan tajam. Perdana Menteri Benjamin Netanyahu bersama Menteri Pertahanan Yisrael Katz serta mayoritas anggota Partai Likud mendukung pendekatan eskalasi bertahap guna meningkatkan tekanan terhadap Hamas. Bagi mereka, pembebasan tahanan merupakan tujuan utama, sementara penghancuran Hamas dianggap sebagai konsekuensi tambahan.
Sebaliknya, dua menteri dari Partai Zionisme Religius, Betzalel Smotrich dan Orit Strok, mendesak dilanjutkannya perang besar guna mencapai kemenangan final sesuai deklarasi tujuan perang sejak awal agresi. Smotrich menyebut pembebasan tahanan sebagai “sangat penting, tetapi bukan yang terpenting”.
Laporan menyebut bahwa hasil pertemuan kemungkinan akan berada di antara dua pendekatan tersebut, dengan sikap militer “Israel” menjadi faktor penentu.
Saat ini, diperkirakan terdapat 59 tahanan “Israel” di Gaza, 24 di antaranya masih hidup. Sementara lebih dari 9.900 warga Palestina berada di penjara-penjara “Israel”, dengan kondisi yang dilaporkan penuh penyiksaan, kelaparan, dan kelalaian medis, hingga menyebabkan kematian sejumlah tahanan.
Hamas berulang kali menyatakan kesediaan untuk membebaskan seluruh tahanan “Israel” sekaligus. Namun, Netanyahu dinilai sengaja memperlambat proses dengan mencari kesepakatan parsial yang memungkinkan agresi di Gaza terus berlanjut, sebagaimana dikritik oleh oposisi “Israel” dan keluarga para tahanan.
Pada 1 Maret 2025, tahap pertama dari kesepakatan pertukaran tahanan yang dimediasi Mesir dan Qatar berakhir. Hamas mematuhi kesepakatan tersebut sejak diberlakukan pada 19 Januari. Namun pada 18 Maret, Tel Aviv kembali melancarkan agresi, disebut-sebut sebagai respons atas tekanan sayap ekstrem kanan dalam pemerintahan Netanyahu.
Sejak 7 Oktober 2023, “Israel” dengan dukungan penuh Amerika Serikat telah melakukan agresi brutal di Gaza yang menurut catatan lembaga hak asasi manusia telah menewaskan dan melukai lebih dari 168.000 warga Palestina, mayoritas anak-anak dan perempuan. Lebih dari 11.000 orang masih dinyatakan hilang.
(Samirmusa/arrahmah.id)