Oleh: Dr. Muhannad Mustafa
(Pengajar Ilmu Politik dan Sejarah asal Palestina, peneliti di Pusat Studi Sosial Mada al-Karmel, Haifa)
(Arrahmah.id) – Pembicaraan langsung antara Amerika Serikat dan Gerakan Hamas mengejutkan “Israel”, yang berujung pada kesepakatan pembebasan tahanan “Israel”-Amerika, Aidan Alexander.
Perundingan dan kesepakatan ini mengejutkan “Israel” dan mengulang kembali skenario kesepakatan antara Amerika Serikat dan kelompok Ansharullah al-Houthi di Yaman. Dalam kedua kasus tersebut, Amerika menjalin kesepakatan dengan aktor non-negara, demi tercapainya kepentingan nasionalnya sendiri: dengan al-Houthi untuk menjamin keamanan pelayaran laut Amerika, dan dengan Hamas demi membebaskan seorang tahanan berkewarganegaraan Amerika.
Dalam kedua kasus, kepentingan “Israel” dikesampingkan: dalam kesepakatan dengan al-Houthi, tidak dibahas penghentian serangan roket terhadap “Israel” maupun kebebasan pelayaran kapal-kapal “Israel”; sementara dalam kesepakatan dengan Hamas, tidak disertakan pembebasan lebih banyak tahanan “Israel”, namun mencakup pengiriman bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza.
Kesepakatan ini bukan satu-satunya indikator bahwa Amerika lebih mementingkan kepentingannya sendiri dibanding kepentingan “Israel”. Sebelumnya telah ada pembicaraan antara Amerika dan Iran, sikap Washington terhadap isu Suriah, dan preferensi Donald Trump terhadap peran Turki di Suriah dibandingkan dengan “Israel”.
“Israel” mengira bahwa kepentingan Amerika di kawasan akan sejalan dan setara dengan kepentingan “Israel” dalam berbagai isu, namun realitasnya, kepentingan Amerika mendahului dan bahkan bisa berbenturan dengan kepentingan “Israel”.
Kegagalan dalam kasus ini menjadi dua kali lipat, karena ini merupakan kali kedua Amerika menjalin perundingan dengan Hamas. Kali pertama terjadi melalui utusan khusus Amerika untuk urusan sandera, Adam Boehler. Ketika itu “Israel” menyatakan ketidaksenangannya dan berusaha menggagalkan upaya tersebut, bahkan Boehler mengakhiri masa jabatannya usai perundingan itu. “Israel” menyangka perundingan semacam ini tidak akan terulang lagi. Namun kali ini, pembicaraan langsung AS-Hamas berujung pada kesepakatan yang terjadi di belakang punggung “Israel”, tanpa sepengetahuan maupun koordinasi dengannya.
Kesepakatan ini penting dalam beberapa hal, yang paling utama adalah bahwa ia berhasil memecah kebuntuan politik dan militer di Jalur Gaza, di tengah ketegaran “Israel” yang menolak gencatan senjata kecuali sesuai usulan mereka sendiri. Kesepakatan ini berpotensi mematahkan operasi militer dan memperluas jalan menuju pembicaraan baru yang membuka peluang kesepakatan atau gencatan dengan syarat yang berbeda.
Kesepakatan ini mencerminkan kegagalan politik bagi “Israel”, sebagaimana diakui sendiri oleh pemimpin oposisi Yair Lapid yang menyebutnya sebagai kegagalan politik bagi “Israel”.
Kesepakatan ini juga mematahkan senjata kelaparan yang digunakan “Israel” untuk menekan Hamas, agar mau menerima gencatan dan kesepakatan parsial sesuai syarat “Israel”, yakni pembebasan separuh tahanan “Israel”, hidup maupun mati, sebagai imbalan atas masuknya bantuan kemanusiaan dan gencatan selama 40 hari tanpa komitmen penghentian perang atau penarikan pasukan dari wilayah Gaza yang telah diduduki.
Kesepakatan ini mencerminkan retaknya paradigma dan kebijakan “Israel” terhadap Gaza. Pemerintah “Israel” sebelumnya telah menetapkan arah kebijakan berupa perluasan operasi militer dan penggunaan kelaparan sebagai alat tekanan. Selain itu, kesepakatan ini mengguncang keyakinan bahwa tekanan terhadap Hamas akan menghasilkan pembebasan tahanan, sebuah pendekatan yang terbukti gagal sejak diberlakukannya kebijakan kelaparan pada awal Maret, yang kemudian disusul dengan dimulainya operasi militer “Pedang dan Keberanian” pada pertengahan Maret. Justru perundingan langsung AS-Hamas yang berhasil membebaskan tahanan Amerika.
Retaknya pondasi sistem “Israel” akan menciptakan krisis besar dalam pemerintahan, baik secara politik maupun sosial, terutama dengan adanya tekanan dari Amerika untuk memulai perundingan gencatan yang secara efektif akan menghentikan jadwal operasi militer “Israel” yang diberi nama “Kereta Gideon”.
Meski keputusan Amerika untuk memulai perundingan dengan Hamas muncul menjelang kunjungan Presiden AS Donald Trump ke kawasan dan didorong keinginannya membebaskan satu-satunya warga Amerika yang ditahan Hamas sebagai pencapaian politik, keputusan ini juga muncul di tengah kebuntuan total kebijakan “Israel” di Gaza. “Israel” telah kehabisan seluruh opsi tekanan terhadap Hamas, terutama senjata kelaparan yang diterapkan secara sistematis dan intensif—bahkan lebih dari yang pernah terjadi dalam konflik internasional sejak Perang Dunia II.

Amerika telah memberi kesempatan kepada “Israel” untuk membuktikan keyakinannya bahwa tekanan lebih lanjut terhadap Hamas akan menghasilkan kesepakatan sesuai tujuan perang mereka. Atas dasar inilah dunia diam terhadap pelanggaran “Israel” terhadap gencatan pasca berakhirnya tahap pertama kesepakatan.
Perkiraan keamanan dan intelijen “Israel” menunjukkan bahwa mencapai tujuan perang berupa penghancuran Hamas memerlukan waktu bertahun-tahun. Sementara senjata kelaparan telah kehilangan efektivitasnya, dan bencana kemanusiaan di Gaza telah menimbulkan tekanan dari masyarakat internasional terhadap AS, apalagi ditambah dengan pernyataan-pernyataan menjijikkan dari para pejabat “Israel” tentang “etika kelaparan” dan “membunuh warga Gaza dari anak-anak hingga lansia”. “Israel” kini terlihat sebagai mesin penghancur buta yang mengabaikan hukum dan kemanusiaan internasional, bahkan membanggakan sikap tersebut. Retorika ini diiringi oleh kebijakan-kebijakan yang mengancam stabilitas kawasan, merusak visi AS dalam menciptakan iklim stabilitas, perdamaian, investasi, dan pengurangan konflik serta ketegangan.
Masalah Netanyahu adalah bahwa ia tidak memiliki alat untuk menekan Trump. Selama masa pemerintahannya, Netanyahu telah menghadapi tiga presiden dari Partai Demokrat—Bill Clinton, Barack Obama, dan Joe Biden—dan satu presiden Republik, yakni Donald Trump.
Saat berhadapan dengan presiden dari Demokrat, Netanyahu biasanya mengandalkan dukungan dari Partai Republik di Kongres untuk menekan presiden atau melepaskan diri dari komitmen yang disepakati. Ini yang terjadi dengan Clinton dalam Kesepakatan Oslo, dengan Obama dalam kesepakatan nuklir 2015, dan dengan Biden dalam upaya menghindari inisiatif Biden soal penghentian perang di Gaza, yang kini justru dijalankan oleh Trump.
Netanyahu akan mencoba keluar dari krisis ini dengan meyakinkan pemerintah AS untuk berunding berdasarkan usulan asli Witkoff yang mencakup pembebasan lima tahanan “Israel” yang masih hidup sebagai imbalan atas gencatan dan dimulainya pembicaraan soal masa depan politik Gaza. Dengan cara ini—jika berhasil—ia bisa mempertahankan pemerintahannya tanpa perlu memperluas operasi militer yang diinginkan oleh sayap kanan secara umum, dan khususnya oleh kelompok kanan religius ekstremis.
Jika tidak, maka Netanyahu dihadapkan pada dua pilihan: menyetujui penghentian perang dan menjatuhkan pemerintahannya sendiri, atau melanjutkan perang dan berbenturan dengan Trump.
Artikel ini diterjemahkan dari Aljazeera Arabic dengan judul asli: “نقاط تفوق حققتها حماس من صفقة ألكسندر مع أميركا” (Nuqāṭ Tafawwuq Ḥaqqaqathā Ḥamās min Ṣafqat Al-Iksandar ma‘a Amrīkā / Poin-Poin Keunggulan yang Diraih Hamas dari Kesepakatan Alexander dengan Amerika).
(Samirmusa/arrahmah.id)