(Arrahmah.id) – Sebuah peristiwa mengejutkan datang dari Vietnam. Seorang Pekerja Migran Indonesia (PMI) asal Jawa Timur ditemukan dalam kondisi hidup meski lemah di dalam peti es berpendingin di sebuah pelabuhan di Vietnam.
Peristiwa ini sontak menarik perhatian publik, karena tak hanya memperlihatkan betapa ekstremnya kondisi yang dihadapi sebagian PMI, tetapi juga menggambarkan praktik eksploitasi yang masih terjadi di balik janji pekerjaan luar negeri.
Menurut laporan awal, PMI tersebut diduga menjadi korban perdagangan manusia. Ia dipaksa masuk ke dalam peti es dalam upaya penyelundupan antarpelabuhan.
Aksi ini digagalkan saat pihak keamanan pelabuhan mencurigai suara dan gerakan dari salah satu peti pendingin. Ketika dibuka, mereka menemukan korban dalam kondisi menggigil namun masih hidup.
Fakta yang Menyayat Nurani
- Korban berasal dari Jawa Timur, sebelumnya direkrut untuk bekerja di luar negeri melalui jalur tidak resmi.
-
Tidak ada dokumen lengkap, korban dimasukkan ke dalam peti es untuk diselundupkan guna menghindari pemeriksaan imigrasi.
-
Masih dalam penyelidikan, pihak KBRI di Vietnam telah turun tangan dan memberikan pendampingan hukum serta medis.
Keprihatinan dan Panggilan Kemanusiaan
Kasus ini hanyalah satu dari sekian banyak yang menimpa para pekerja migran yang berangkat melalui jalur ilegal atau tanpa perlindungan negara. Demi sesuap nasi, mereka berjudi dengan nyawa. Ironisnya, bukan pekerjaan yang mereka dapatkan lebih dulu, tetapi luka, ketakutan, bahkan maut yang mengintai.
Negara wajib hadir. Tidak cukup hanya mengimbau agar calon PMI mengikuti jalur resmi. Harus ada pengawasan ketat terhadap agen ilegal, edukasi menyeluruh hingga ke pelosok desa, dan hukuman tegas bagi sindikat yang memperdagangkan manusia seperti komoditas murah.
Jangan Lagi Ada Kisah dalam Peti Es
PMI bukan pahlawan devisa jika negara membiarkan mereka berangkat tanpa perlindungan. Mereka manusia, bukan barang ekspor. Kasus ini harus jadi momentum bagi pemerintah dan masyarakat untuk sadar: eksploitasi pekerja bukan hanya melukai nama bangsa, tapi juga kemanusiaan kita sendiri.
(ameera/arrahmah.id)