GAZA (Arrahmah.id) – Pemerintah ‘Israel’ pada Senin (5/5/2025) meluncurkan strategi militer terbaru untuk Jalur Gaza yang diberi nama cukup menggetarkan: ‘Kereta Perang Gideon’ (Merkavot Gideon). Rencana ini, yang disetujui bulat oleh kabinet keamanan ‘Israel’, dianggap oleh para kritikus sebagai cetak biru untuk pendudukan permanen, pengusiran massal, dan eskalasi kekerasan terhadap warga sipil Palestina yang sudah lama terkepung dan terusir dari rumah mereka. Operasi ini mencakup pemindahan paksa semua warga Gaza ke area seluas 45 km² di selatan Poros Morag di Rafah, satu-satunya zona tempat bantuan akan diizinkan. Dengan 2,2 juta orang, kepadatan penduduk akan melebihi 49.000 per km².
‘Israel’ menyatakan bahwa Hamas diberi waktu hingga akhir kunjungan Presiden AS Donald Trump ke Timur Tengah, yang berarti 10 hari dari sekarang untuk menyepakati syarat-syarat tertentu, atau “Operasi ‘Kereta Perang Gideon’ akan dimulai dengan kekuatan penuh dan tidak akan berhenti sampai semua tujuannya tercapai.”
Namun, jenis kesepakatan yang diharapkan’Israel’ dari Hamas masih belum jelas, mengingat kelompok tersebut telah menyetujui rencana gencatan senjata menyeluruh yang mencakup pengembalian seluruh tawanan ‘Israel’ sebagai imbalan atas dihentikannya perang.
Pejabat-pejabat ‘Israel’ menggambarkan ‘Kereta Perang Gideon’ sebagai misi untuk menghancurkan Hamas dan menyelamatkan tawanan, tetapi operasi ini sebenarnya menandai eskalasi besar dalam logika hukuman kolektif dan potensi pendudukan permanen sebagian atau seluruh wilayah Gaza, sebuah pola yang telah menjadi ciri perang ‘Israel’ di Gaza sejak Oktober 2023.
Pendudukan yang Dibranding Ulang sebagai Keamanan
Menurut seorang pejabat senior ‘Israel’ yang berbicara kepada media setempat, rencana ini mencakup penggunaan kekuatan besar-besaran melalui darat, laut, dan udara, termasuk penghancuran infrastruktur di Gaza dengan alat berat jika dianggap mengancam oleh militer ‘Israel’.
Berbeda dengan operasi-operasi sebelumnya, pasukan ‘Israel’ tidak akan menarik diri setelah operasi selesai. Sebaliknya, mereka akan tetap berada di wilayah-wilayah yang berhasil dikuasai, mengubah sebagian besar Gaza menjadi zona penyangga yang diperluas, atau dalam istilah menyeramkan yang digunakan beberapa pejabat, “sabuk keamanan yang disterilkan”.
Pejabat tersebut menambahkan bahwa wilayah-wilayah yang “dibersihkan” oleh militer akan mengikuti “model Rafah”, sebuah istilah halus untuk menggambarkan penghancuran total lingkungan sipil dan integrasinya ke dalam zona yang dikendalikan ‘Israel’.
Bahasa yang digunakan ini menunjukkan perubahan bukan hanya dalam taktik, tetapi juga dalam ambisi politik: aneksasi perlahan sebagian besar Gaza dengan dalih keamanan.
Menteri Keuangan Bezalel Smotrich bahkan tidak mencoba menyamarkannya. Dalam sebuah konferensi di Yerusalem, ia berkata, “Kita menduduki Gaza untuk tinggal. Tidak ada lagi masuk-keluar. Ini adalah perang untuk kemenangan.”
Ia melangkah lebih jauh lagi dengan menyatakan bahwa orang ‘Israel’ harus berhenti takut dengan kata “pendudukan”, dan mengatakan bahwa “bangsa yang ingin hidup harus menduduki tanahnya sendiri”, secara tersirat namun jelas menyatakan bahwa Gaza dianggap sebagai bagian dari wilayah ‘Israel’.
Pengusiran Paksa sebagai Kebijakan
Salah satu pilar utama rencana ini adalah pengusiran massal warga Palestina dari Gaza utara.
Meskipun pejabat ‘Israel’ menyebutnya sebagai “relokasi sukarela”, skala dan niat di baliknya menunjukkan pengusiran paksa dan pembersihan etnis, pelanggaran serius terhadap hukum internasional, apalagi jika dilakukan tanpa jaminan keselamatan atau hak untuk kembali. Warga sipil akan didorong ke arah selatan dan dikumpulkan dalam zona-zona yang diawasi ketat oleh ‘Israel’.
Bantuan kemanusiaan, yang sudah sangat dibatasi hingga menimbulkan kondisi kelaparan, akan dijadikan alat tawar-menawar lebih lanjut.
Dalam rencana tersebut, bantuan baru akan dikirim setelah operasi militer dimulai dan penduduk telah dipindahkan. Itu pun, bantuan hanya akan didistribusikan melalui kontraktor sipil yang disetujui militer ‘Israel’, dan hanya di area “aman” di mana penerima akan disaring, langkah yang menurut kelompok HAM merupakan bentuk pemaksaan dan penggunaan bantuan sebagai senjata perang.
Propaganda dan Simbolisme
Dalam wacana berbahasa Ibrani, nama “Gideon” merujuk pada tokoh dalam kitab suci yang memimpin kelompok kecil untuk memusnahkan bangsa Midian, salah satu bangsa Arab kuno, menjadikan Operasi Kereta Perang Gideon sebagai semacam misi balas dendam ilahi dan penaklukan etnis. Nama ini sarat makna kekerasan historis yang kini digunakan untuk membingkai serangan militer modern sebagai perang suci.
Kata Merkavot, yang berarti kereta perang, menambah lapisan ancaman. Ia menyiratkan alat perang mitologis sekaligus merujuk pada tank Merkava milik ‘Israel’, kendaraan tempur yang selama ini telah menghancurkan rumah dan nyawa di Gaza maupun Tepi Barat. Perpaduan antara mitologi teologis dan mesin perang modern ini menggambarkan sebuah kampanye yang dibalut bahasa perang suci, tapi dilaksanakan dengan teknologi penghancur massal.
Beberapa warga ‘Israel’ mengejek nama tersebut, menganggapnya sebagai cara menjilat Menteri Luar Negeri Gideon Saar, yang dijuluki sinis sebagai “pahlawan penyelamat pemerintahan Netanyahu”. Tapi bahkan dalam nada bercanda, retorika yang muncul mengandung kegelapan. Menurut media Ynet, dalam diskusi kabinet soal nama operasi, seorang menteri sempat berseloroh bahwa operasi ini sebaiknya diberi nama “Let me die with the Philistines”, merujuk pada penduduk kuno Gaza yang menjadi akar nama Palestina.
Netanyahu menepis saran itu dengan dingin: “Tidak. Kita tidak ingin mati bersama mereka. Kita ingin mereka mati sendirian.”
Percakapan yang tampak seperti candaan itu mengungkapkan sesuatu yang lebih dalam: kekerasan yang dilegalkan negara, dibalut kitab suci dan sarkasme, di mana pemusnahan satu bangsa bukan hanya kebijakan, tapi juga bahan lelucon.
Perang Tanpa Akhir?
Jika tidak ada kesepakatan damai yang tercapai, Operasi Kereta Perang Gideon akan menjadi pergeseran besar dalam pendekatan ‘Israel’ terhadap Gaza, dari pengepungan menjadi penguasaan, dari invasi sementara menjadi pendudukan permanen.
Kelompok-kelompok hak asasi manusia, pengamat internasional, dan pakar hukum menyatakan bahwa rencana ini sudah memasuki wilayah pelanggaran hukum berat, di mana strategi militer hanyalah topeng bagi pembersihan etnis dan penjajahan.
Hamas mengecam rencana ini, menyebutnya sebagai penyamaran pendudukan dan pengusiran paksa di balik alasan bantuan kemanusiaan. Dalam pernyataannya, Hamas menyebut rencana tersebut sebagai bukti kebohongan ‘Israel’ terkait distribusi bantuan, dan menyebutnya sebagai bagian dari strategi besar untuk menguasai tanah dan mengusir penduduk.
Sementara itu, keluarga para sandera ‘Israel’, yang katanya menjadi alasan utama operasi ini, justru bereaksi dengan kemarahan.
Banyak dari mereka menganggap rencana ini sebagai pengkhianatan, mengorbankan nyawa orang yang mereka cintai demi ambisi politik dan perebutan wilayah. Kemarahan mereka semakin memuncak setelah Smotrich menyatakan bahwa “menyelamatkan sandera bukanlah tujuan paling penting.” (zarahamala/arrahmah.id)