TRIPOLI (Arrahmah.id) – Pembunuhan Abdelghani al-Kikli, kepala Aparat Dukungan dan Stabilitas Libya sekaligus salah satu pemimpin milisi paling berpengaruh di Tripoli, pada Senin malam (12/5/2025) telah memicu pertempuran sengit di ibu kota. Setidaknya enam orang dilaporkan tewas, dan Tripoli kembali dilanda kekacauan bersenjata pada Selasa pagi (13/5).
Al-Kikli, yang lebih dikenal dengan nama panggilannya “Ghneiwa”, dilaporkan tewas tertembak saat menghadiri pertemuan di kamp militer Tekbali, Tripoli tenggara. Menurut sumber keamanan dan medis yang dikutip oleh Al-Araby Al-Jadeed, pertemuan itu awalnya bertujuan untuk meredakan ketegangan antar faksi bersenjata, namun berujung bentrokan ketika penjaga dari kelompok saingan terlibat baku tembak di luar ruangan.
Al-Kikli dan beberapa pengawalnya tewas dalam insiden tersebut. Sejumlah anggota Brigade 444 dan 111, yang keduanya terafiliasi dengan Kementerian Pertahanan, juga dilaporkan hadir di lokasi. Video yang beredar di media sosial menunjukkan jasad al-Kikli tergeletak di dalam kamp Tekbali, dikelilingi pria bersenjata yang diyakini bagian dari rombongannya.
Ketegangan Meningkat di Tripoli
Pada Selasa pagi (12/5), pertempuran telah meluas ke berbagai wilayah di Tripoli selatan, terutama di distrik Abu Salim dan Mashrou al-Hadhba, markas utama Aparat Dukungan dan Stabilitas.
Menyusul eskalasi kekerasan ini, Kementerian Pertahanan Libya menyatakan operasi militer di Abu Salim telah selesai. Perdana Menteri Abdul Hamid Dbeibah menyebut serangan itu sebagai bukti bahwa negara “masih mampu melindungi tanah air dan menjaga martabat rakyat.”
Sementara itu, Kementerian Dalam Negeri mengeluarkan seruan agar warga tetap berada di dalam rumah, dan Kementerian Kesehatan menyatakan keadaan darurat di seluruh rumah sakit di Tripoli.
Pertempuran juga memaksa otoritas menutup Bandara Internasional Mitiga dan memindahkan penerbangan ke Misrata. Sekolah-sekolah ditutup dan jalanan di banyak distrik tampak sepi.
Wali Kota Tripoli, Ibrahim al-Khalifi, menyatakan bahwa tembakan mulai mereda pada Selasa pagi (13/5), namun aktivitas warga masih lumpuh di banyak wilayah.
Figur Sentral Dunia Milisi Libya
Abdelghani al-Kikli adalah sosok penting dalam lanskap militer pasca-2011 di Libya. Sebelum pemberontakan terhadap Muammar Gaddafi, ia adalah seorang warga sipil. Namun setelah rezim jatuh, ia mendirikan milisi di Abu Salim.
Pasukannya menjadi kekuatan utama dalam Operasi Libya Dawn pada 2015 dan diintegrasikan ke dalam struktur resmi negara di bawah Kementerian Dalam Negeri pada 2016.
Di bawah Pemerintahan Kesepakatan Nasional (GNA), pengaruhnya semakin meluas, hingga akhirnya membentuk Aparat Dukungan dan Stabilitas di bawah Dewan Kepresidenan.
Kekuasaannya tak hanya terbatas di Tripoli, tapi juga menjangkau Gharyan di barat dan Zliten di timur. Ia dianggap sebagai salah satu dari empat komandan milisi besar di kota, bersama Pasukan Deterrence Khusus, Brigade 444, dan Brigade 111.
Al-Kikli juga berperan penting dalam Operasi “Volcano of Rage” tahun 2019–2020, yang berhasil menggagalkan upaya panglima perang Khalifa Haftar merebut Tripoli.
Krisis yang Terus Berulang
Libya tetap terpecah antara dua pemerintahan rival: satu yang diakui PBB di Tripoli, dan satu lagi yang dipimpin Haftar di Benghazi. Sejak pecahnya konflik politik pada 2014, berbagai upaya penyatuan dan penyelenggaraan pemilu nasional gagal total.
Kontestasi kekuasaan, ketidakstabilan, dan aliansi yang terus berubah membuat pembentukan struktur pemerintahan atau militer tunggal sulit terwujud.
Ketegangan yang memuncak dalam beberapa hari terakhir disebut-sebut terkait perebutan pengaruh atas lembaga negara dan jabatan penting. Video yang beredar menunjukkan konvoi dari Pasukan Gabungan Misrata dan unit berbasis Zintan yang loyal kepada Menteri Dalam Negeri Imad Trabelsi bergerak menuju Tripoli. Kelompok-kelompok ini bersekutu dengan Pemerintah Persatuan Nasional (GNU) dan diyakini turut melakukan penggerebekan terhadap markas al-Kikli.
Misi Dukungan PBB di Libya (UNSMIL) menyatakan keprihatinan mendalam dan menyerukan “penurunan eskalasi segera serta penghentian tindakan provokatif.”
Kedutaan Besar AS di Libya pun menggemakan seruan PBB, meminta semua kelompok bersenjata untuk melindungi warga sipil dan menyelesaikan sengketa lewat dialog.
Ironisnya, bentrokan ini terjadi hanya beberapa hari setelah misi PBB memulai konsultasi tentang rancangan undang-undang pemilu sebagai langkah mengakhiri kebuntuan politik Libya. (zarahamala/arrahmah.id)