BANDUNG (Arrahmah.id) – Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, dinilai tidak melibatkan pihak terkait dalam menerapkan kebijakan program Keluarga Berencana (KB] sebagai syarat penerima bantuan sosial (bansos).
Kebijakan diambil tidak inklusif sehingga menjadi polemik bahkan penolakan dari sejumlah instansi terutama Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jabar.
Menurut Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung, Bonti, seharusnya Dedi berkomunikasi dan berdiskusi dengan stakeholder terkait sebelum mengeluarkan menerapkan kebijakan program KB sebagai syarat penerima bansos.
Pasalnya, kebijakan tersebut sangat sensitif yang melibatkan dua program berbeda yaitu KB dan bantuan sosial.
“Memang itu kan kalau dari sudut pandang dari kebijakan idealnya memang kebijakan dikomunikasikan kepada pihak stakeholder terutama kalau kebijakan-kebijakan sifatnya sensitif tentu apalagi multi dimensi. Nah itu idealnya harus dibicarakan kalau memang ingin mengejar kebijakan yang inklusif,” ujar Bonti, dikutip dari Metrotvnews.com, Rabu (7/5/2025).
Aturan yang dikeluarkan Dedi tersebut bersinggungan dengan dua kebijakan lain yang telah berjalan selama ini. Terutama terkait program KB untuk pria salah satunya dengan cara vasektomi untuk menunda atau mencegah kehamilan bagi pasangannya yang menjadi syarat utama penerima bansos di Jabar.
“Satu sisi vasektomi pria itu di bidang keluarga berencana, tapi ini dikejutkan salah satu syarat untuk menerima bantuan sosial, berarti kan ini ada dua kebijakan yang disinggungkan, berarti kan ini ada jaringan kebijakan dimana kebijakan tentu ada stakeholdernya,” beber Bonti.
Seharusnya, lanjut Bonti, Dedi melakukan kajian terlebih dahulu termasuk melakukan komunikasi dengan stakeholder terkait meskipun bansos tersebut berasal dari anggaran Pemprov Jabar.
“Apakah ada sisi positifnya? Tentu ada sisi positif, tapi pasti ada juga negatifnya. Kalau ini dikaji, dimapping, dikomunikasi dengan stakeholder, tentu hasilnya akan bisa lebih diterima dari pada dengan berjalan sendirian,” imbuhnya.
Selain itu, Dedi pun didorong untuk lebih menggunakan sistem pemerintahan di Jabar dengan pentahelix dalam merumuskan berbagai kebijakan. Pasalnya, dalam kebijakan yang dikeluarkan oleh Dedi terdapat pihak yang harus bertugas sesuai fungsi dan tanggung jawab.
“Kita juga bisa melihat gaya kepemimpinan Kang Dedi Mulyadi itu seperti apa. Mungkin disitu namanya juga untuk menjalankan pemerintahan itu minimal melibatkan stakeholder. Kalau saya melihat konsep dari pentaheliks kan ada bisnis, sosial, pemerintah, akademisi dan mungkin ini fungsi-fungsi dari ini terutama media juga untuk mengawal,” ungkapnya.
(ameera/arrahmah.id)