RIYADH (Arrahmah.id) — Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada Selasa (13/5) mengumumkan pencabutan sanksi terhadap Suriah dalam pidato langsung yang mengejutkan di Riyadh, ibu kota Arab Saudi. Pengumuman itu disambut tepuk tangan dan berdiri oleh para hadirin, menandai perubahan besar dalam peta politik kawasan.
“Saya akan memerintahkan penghentian sanksi terhadap Suriah untuk memberi mereka kesempatan meraih kejayaan,” ujar Trump. Ia lalu menambahkan dengan nada bercanda, “Oh, apa pun akan saya lakukan demi sang putra mahkota,” merujuk pada Putra Mahkota Saudi Muhammad bin Salman.
Jika benar-benar diwujudkan, maka ini akan menjadi pertama kalinya sejak 1979 Suriah tidak berada di bawah sanksi Washington, yang dulu menjatuhkan label “negara sponsor terorisme” kepada Damaskus di bawah rezim Hafez al-Assad.

Trump menyatakan, “Kami akan mencabut semuanya,” merujuk pada seluruh paket sanksi. Ia juga menyampaikan harapan bahwa pemerintahan baru di Suriah “akan berhasil”, seraya menambahkan, “Semoga sukses, Suriah. Tunjukkan sesuatu yang istimewa.”
Dukungan bagi Pemerintahan Baru Suriah
Menteri Luar Negeri Suriah, Assad al-Shibani, menyebut keputusan Trump sebagai “titik balik penting” bagi negaranya. Ia mengatakan pencabutan sanksi akan membuka jalan bagi “stabilitas, kemandirian, dan rekonstruksi sejati setelah perang panjang yang menghancurkan.”
Keputusan ini menjadi kemenangan besar bagi pemerintahan baru Suriah di bawah Presiden Ahmad Asy-Syaraa, mantan komandan kelompok Hayat Tahrir al-Sham (HTS) yang berhasil menggulingkan rezim Bashar al-Assad pada akhir 2024.
Pemerintahan Asy-Syaraa selama beberapa bulan terakhir aktif melobi pihak internasional untuk mencabut sanksi, di tengah kehancuran ekonomi akibat perang 13 tahun, kemiskinan ekstrem, dan serangan udara “Israel”.
Trump mengakui bahwa ia dilobi langsung oleh Putra Mahkota Saudi dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan agar mencabut sanksi tersebut.
Pukulan bagi “Israel”
Langkah Trump juga dipandang sebagai pukulan politik bagi “Israel”, yang saat ini masih menduduki sebagian wilayah barat daya Suriah. Sejumlah pejabat tinggi “Israel” sebelumnya menyuarakan wacana pemecahan Suriah ke dalam zona Druze dan Kurdi, dengan dalih melindungi kelompok minoritas. Namun, gagasan itu ditolak oleh mayoritas komunitas Kristen dan Druze di Suriah.
“Israel” juga gagal melobi AS agar mempertahankan kehadiran militer di timur laut Suriah. Washington menolak permintaan tersebut, sebagaimana pernah diberitakan sebelumnya.
Presiden Asy-Syaraa pun memanfaatkan celah ini untuk menunjukkan pendekatan diplomatik yang lebih realistis. Ia menegaskan bahwa Suriah tidak berniat mengancam “Israel”, dan membuka kemungkinan normalisasi hubungan jika “Israel” bersedia menghormati perjanjian pelepasan pasukan 1974.
Bahkan, pekan lalu Asy-Syaraa mengonfirmasi bahwa pemerintahannya tengah menjalin komunikasi tak langsung dengan otoritas “Israel” dalam rangka mencegah bentrokan terbuka.
Rekonstruksi dan Upaya Tarik Investor Barat
Sebulan terakhir, Damaskus menjadi tujuan diplomatik tokoh-tokoh pro-Trump dari Amerika. Presiden Asy-Syaraa menerima kunjungan anggota Kongres dari Partai Republik, Cory Mills, dan pengusaha energi Jonathan Bass. Bass menyatakan bahwa Suriah sangat terbuka terhadap kerja sama dengan sektor bisnis Amerika.
Media AS bahkan melaporkan bahwa Asy-Syaraa menyatakan kesiapannya menyambut pembangunan Trump Tower di pusat Damaskus sebagai simbol hubungan ekonomi baru dengan Washington. Gedung Putih mengonfirmasi bahwa Trump akan menyapa Asy-Syaraa dalam pertemuan informal di Riyadh.
Pencabutan sanksi ini membuka peluang rekonstruksi besar-besaran di Suriah, negeri yang memiliki posisi strategis di jantung Syam. Negara-negara Teluk seperti Uni Emirat Arab, Qatar, dan Arab Saudi, serta Turki, diperkirakan akan bersaing memperluas pengaruh mereka di Damaskus—terutama saat Iran mulai kehilangan pijakan.
Jika rekonstruksi benar-benar dimulai, maka perusahaan-perusahaan Barat juga akan ikut berebut proyek. Salah satu yang sudah bergerak adalah grup pelayaran asal Prancis, CMA, yang meneken perjanjian pembangunan pelabuhan Latakia awal bulan ini.
PBB memperkirakan bahwa biaya pemulihan Suriah mencapai sekitar $250 miliar.
Dari Sanksi Caesar ke Perdagangan Bebas?
Selama masa jabatan pertamanya, Trump dikenal sebagai tokoh yang mendorong pemberlakuan Caesar Syria Civilian Protection Act, yang mendasarkan sanksi pada bukti-bukti kejahatan perang rezim Bashar al-Assad yang dibocorkan oleh seorang fotografer militer Suriah bernama sandi “Caesar”.
Namun, kini arah kebijakan berubah drastis. Pemerintahan baru di Damaskus dinilai lebih pragmatis dan berusaha membangun aliansi baru untuk menyelamatkan Suriah dari keterpurukan.
Dunia menyaksikan, apakah penghapusan sanksi ini benar-benar akan menjadi titik balik sejarah bagi negeri Syam.
(Samirmusa/arrahmah.id)