DAMASKUS (Arrahmah.id) — Dua wilayah mayoritas Druze di pinggiran Damaskus, yakni Ashrafiyah Sahnaya dan Jaramana, menjadi sorotan publik Suriah setelah terjadi bentrokan bersenjata antara kelompok lokal dan aparat keamanan Suriah pada Rabu (30/4).
Pemerintah Suriah segera mengerahkan pasukan ke wilayah tersebut guna mengontrol situasi dan melucuti senjata dari tangan kelompok bersenjata. Namun, keadaan memburuk menyusul laporan intervensi udara dari pesawat tempur “Israel”, sebagaimana terekam dalam sejumlah video yang beredar luas di media sosial.
Dalam video yang sama, tampak tokoh spiritual Druze yang bermukim di wilayah pendudukan Palestina, Sheikh Muwafaq Tarif, menyatakan dukungan terhadap intervensi “Israel”. Sikap tersebut menuai kecaman keras dari warganet Suriah, yang menuduhnya, bersama tokoh lain seperti Sheikh Hikmat al-Hijri, berkontribusi dalam memicu perpecahan dan fitnah sektarian di dalam negeri.
Banyak yang menggunakan ungkapan populer “berlindung pada ‘Israel’ sama saja telanjang” untuk mengecam upaya menggunakan “Israel” sebagai pelindung.
Sejumlah analis menilai bahwa intervensi “Israel” di wilayah Sahnaya tidak bertujuan melindungi kaum Druze, melainkan merupakan bagian dari proyek lebih besar untuk memecah Suriah. Mereka menyebut bahwa rencana membentuk entitas Druze otonom hanyalah awal dari agenda pembagian wilayah, yang sejatinya merupakan tujuan strategis “Israel”.
Warganet juga menolak narasi sektarianisme dalam konflik ini. Mereka menekankan bahwa jika persoalannya berbasis agama, maka desa-desa Druze di Idlib atau Quneitra sudah lama menjadi target. Namun hal itu tidak terjadi. Ini menegaskan bahwa akar masalah sesungguhnya adalah krisis sosial, ekonomi, dan keamanan, yang diperparah oleh pernyataan provokatif tokoh-tokoh tertentu.
Beberapa suara dari publik mengingatkan bahwa komunitas Druze di Suriah memiliki sejarah panjang dalam menjaga persatuan nasional, dengan karakter seperti kesederhanaan, keberanian, keramahan, dan penolakan terhadap campur tangan asing. Mereka menilai bahwa tindakan mengangkat senjata melawan negara, apalagi dengan dukungan “Israel”, merusak citra komunitas Druze dan mengkhianati warisan nasional mereka.
Di tengah ketegangan, para tokoh Druze seperti Sheikh Hamoud al-Hanawi, Sheikh Yusuf al-Jarbou’, serta komandan pasukan “Syuyukh al-Karama”, Laith al-Balous, dipuji karena peran mereka dalam meredam ketegangan melalui dialog dengan pejabat dari Damaskus, Suwaida, dan Quneitra.
Warganet pun menyerukan agar masyarakat menolak semua bentuk hasutan sektarian. Mereka mendesak agar akun-akun di media sosial yang menyebarkan ujaran kebencian dan provokasi dilaporkan dan dibungkam. “Kritik terhadap tokoh tertentu seperti Hikmat al-Hijri atau organisasi seperti PKK tidak boleh menjadi alasan untuk menyerang sebuah komunitas secara kolektif,” tegas mereka.
Beberapa pengguna media sosial juga mempertanyakan asal-muasal senjata berat yang digunakan oleh kelompok bersenjata di Sahnaya, serta pihak-pihak yang mendanai dan menyuplai mereka.
Sementara itu, dukungan publik terhadap negara Suriah dan militernya terlihat jelas. Banyak yang menegaskan bahwa menjauhi fanatisme sektarian adalah bentuk dukungan terbesar bagi stabilitas dan masa depan Suriah.
“Zaman loyalitas sektarian telah usai. Kini saatnya membangun negara kewarganegaraan yang menjunjung persamaan hak seluruh rakyatnya, tanpa diskriminasi ras atau agama,” ujar salah satu warga.
(Samirmusa/arrahmah.id)