JAKARTA (Arrahmah.com) – Umat yang unggul adalah umat yang mengerti spirit sejarah para pendahulunya. Oleh karena itu sejarah adalah satu pilar penting dalam membangun suatu peradaban. Sebab selain akan melahirkan spirit untuk terus berkembang, pengetahuan sejarah akan menjaga generasi yang akan datang dari penyakit disorientasi dan inferiorisme, sehingga tetap bisa eksis dalam segala zaman tanpa harus menanggalkan identitas dan keyakinannya.
Demikian disampaikan Tiar Anwar Bahtiar, dalam acara diskusi Sabtuan di Kantor Insists Kalibata Jakarta Selatan.
Menurut Tiar, hal serupa terjadi pada umat Islam Indonesia yang begitu gigih melawan penjajahan Belanda, tawaran materi dan jabatan yang ditawarkan Belanda kepada ulama dan umat Islam ketika itu tak mampu menggeser fokus ideologi ke-Islam-an mereka. Sayangnya, saat ini umat Islam banyak yang tidak mengenal sejarah peradaban Islam. Akibatnya segala yang datang dari Barat diterima tanpa filter dan segala hal yang datang atau ada kesamaan dengan nilai-nilai Islam justru diragukan dan dicurigai.
“Umat Islam banyak yang belum memahami secara mendalam urgensitas pengkajian sejarah Islam, khususnya di Indonesia. Hal ini menyebabkan generasi sekarang cenderung menjadikan Barat sebagai model dalam segala sisi kehidupan mereka. Jika ini dibiarkan bukan tidak mungkin generasi muslim yang akan datang akan kehilangan obor dan menjadikan Barat sebagai figur terbaik,” terang penulis buku “Kenapa Dibenci Amerika” ini.
Sikap abai umat Islam ini telah terbukti dengan banyaknya buku-buku sejarah yang beredar di pasaran tentang Indonesia yang justru ditulis oleh sarjana-sarjana Belanda yang notabene pernah menjajah bangsa Indonesia. Penulisan sejarah semacam ini tentu sangat rawan distorsi dimana secara empiris-historis, umat Islam selalu dianggap sebagai pihak yang menjadi penghalang berbagai kepentingan kolonial Belanda.
Akhirnya jika kita mau melihat buku-buku sejarah Indonesia, seolah-olah Indonesia itu adalah Hindu dan bukan Islam.
“Buku-buku karya sarjana Belanda itu pasti tidak objektif. Karena secara teoritis sejarah itu berkelindan dengan ideologi. Buku-buku itu hadir sebagai pandangan subjektif Belanda, sebab pada faktanya tulisan-tulisan mereka tidak menjadikan Indonesia sebagai subjek tetapi objek dan sebaliknya Belandalah yang tampil sebagai subjek yang memposisikan Indonesia berdasarkan cara pandang mereka. Dengan kata lain membaca Indonesia melalui karya mereka tentu peran Islam di Indonesia menjadi tidak dominan bahkan ditutup-tutupi dan dihilangkan,” tegasnya.
Kandidat doktor bidang sejarah dari Universitas Indonesia ini menegaskan, bahwa distorsi adalah satu fakta tak terbantahkan dari upaya-upaya sarjana Belanda dalam berbagai buku tentang sjearah Indonesia dan khususnya sejarah Islam Indonesia. Oleh karena itu satu tantangan besar yang harus dihadapi oleh generasi muslim saat ini adalah kembali memperhatikan sejarah, khususnya dalam upaya menulis ulang sejarah Islam Indonesia.
“Setidaknya ada dua model yang biasa digunakan para sarjana Belanda dan sarjana Barat umumnya dalam menulis sejarah Islam. Pertama, dengan cara At-Tashwih (menampilkan wajah yang buruk). Kedua, dengan cara At-Tajhil (mengemukakan sejarah dengan pemaparan yang kering agar tidak menjadi pelajaran apa-apa bagi yang membaca hingga “membodohkan” kaum Muslim yang membacanya), paparnya.
Dalam kesempatan itu, Tiar yang juga dosen STAI Persatuan Islam Garut Jawa Barat itu memberikan rekomendasi kepada umat Islam agar segera mengevaluasi penulisan-penulisan sejarah yang menyudutkan dan tidak menguntungkan Islam, baik yang ditulis oleh para orientalis maupun yang ditulis oleh pengikut-pengikut mereka. Membuka kembali sumber-sumber sejarah Islam asli warisan masa lalu (turats). Melakukan kritik metodologis atas karya-karya melihat sejarah Islam dari sudut yang salah, dan menuliskan kembali sejarah Islam dari sudut pandang Muslim yang benar yang berpegang pada akidah Islam yang benar.
Selain itu dia juga mengingatkan agar umat Islam menemukan titik temu antara Islam Indonesia dengan perjalanan dakwah Islam yang dirintis oleh Nabi Muhammad saw.
“Jangan lupa bahwa, sejarah Islam Indonesia harus dilihat sebagai kesinambungan dari sejarah dakwah Islam yang dilakukan Rasulullah Saw. Tidak memandang Islam Indonesia sebagai “asli Indonesia” hingga lahir pandangan dikotomis (Islam Arab, Islam Indonesia, dan sebagainya,” beberapa saat sebelum mengakhiri presentasinya. [hidayatullah/arrahmah.com]