ACEH (Arrahmah.com) – Kalangan ormas Islam mempertanyakan program menjadikan Banda Aceh sebagai kota “Bandar Wisata Islami” menyusul banyaknya dibangun lokasi keramaian yang terindikasi dimanfaatkan kalangan remaja dan pemuda sebagai tempat berpacaran.
“Kami menerima laporan masyarakat menyebutkan aksi pelanggaran Syariat Islam semakin parah terjadi di lokasi keramaian yang disediakan oleh pemerintah, misalnya taman-taman di sekitar kota,” kata Ketua Front Pembela Islam (FPI) Aceh, Tgk Yusuf Al Qardhawy di Banda Aceh, Jumat (23/7).
Menurut dia, taman atau tempat-tempat “mejeng” yang disiapkan Pemerintah Kota Banda Aceh, misalnya sekitar bandaran Krueng Aceh itu jelas rentan terjadinya pelanggaran Syariat Islam seperti kasus khalwat (menyepi-nyepi) antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim.
Selain itu, sepanjang jalan Tgk Daud Beureueh pusat Kota Banda Aceh yang kerap dijadikan sebagai tempat kumpul kawula muda-mudi dan remaja di bawah keremangan malam sambil menikmati roti burger juga rentan pelanggaran Syariat Islam.
“Artinya, satu sisi pemerintah gencar mempromosikan Banda Aceh sebagai bandar wisata Islami, tapi di sisi lain justru memperbanyak lokasi rentan pelanggaran Syariat Islam. Atau memang saat ini sedang ada promosi `bandar wisata maksiat` di Aceh,” kata dia menjelaskan.
Seharusnya, Tgk Yusuf Al Qardhawy menyarankan Pemko Banda Aceh khususnya Pemerintah Provinsi Aceh lebih serius dalam membangun daerah ini sebagai satu wilayah di Indonesia yang berkomitmen penuh dalam penegakan Syariat Islam.
Ia juga menilai pelaksanaan Syariat Islam di Aceh lebih baik sebelum terjadinya musibah tsunami (26 Desember 2004) dibanding dalam beberapa tahun terakhir.
“Itu sebuah keprihatinan kita semua. Mudah-mudahan para pemimpin Aceh menyadari terhadap kondisi hari ini tentang maraknya pelanggaran Syariat Islam, bukan dengan cara diam dan seakan-akan tidak tahu jika ada pelanggaran dilakukan rakyatnya,” kata dia.
Contoh lain yang dinilai sebagai sebuah pelanggaran Syariat Islam yakni semakin banyaknya wanita berpakaian ketat, tidak hanya di jalan-jalan tapi juga kampus-kampus di Aceh.
Rumah kecantikan (salon) yang terindikasi menyediakan Pekerja Seks Komersil (PSK) di Banda Aceh, seakan ada “pembiaran” dari pemerintah sebagai institusi yang memiliki kekekuasaan untuk melarang praktek maksiat, kata Tgk Yusuf. (ant/hdytlh/arrahmah.com)