Oleh: Ustadz Bachtiar Nasir
(Arrahmah.id) – Persatuan bangsa, sebuah kata yang mudah diucapkan, tapi berat dalam komitmen. Selama ini, soal komitmen kebangsaan menjadi masalah yang cukup serius di Indonesia.
Retorika tentang persatuan sering kali tak sejalan dengan tindakan nyata para pemangku kebijakan maupun kelompok elite.
Desain persatuan bangsa telah menjadi bahan kajian dalam berbagai diskusi, dan banyak teori telah dirumuskan.
Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa kepentingan atas kekuasaan lebih sering mendominasi ketimbang upaya meletakkan pondasi persatuan yang substansial.
Dalam praktiknya, persatuan bangsa sering kali hanya menjadi slogan yang dimanipulasi demi kepentingan kekuasaan.
Narasi seperti “Aku NKRI” dan “Aku Pancasila”, yang seharusnya merekatkan anak bangsa, malah lebih berorientasi pada kepentingan politik daripada pada tujuan kebangsaan. Ironisnya, narasi semacam ini justru kerap memicu konflik horizontal dan mengancam kohesi sosial.
Pendekatan konflik sering menjadi pilihan strategis penguasa untuk membungkam daya kritis rakyat yang ingin berpartisipasi membangun negeri. Padahal, strategi seperti ini kontra-produktif bagi masa depan bangsa.
Indonesia terlalu besar untuk dikelola oleh segelintir orang tanpa melibatkan aspirasi rakyat secara luas. Inilah mengapa kita perlu kembali merujuk pada Sila Keempat Pancasila, yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
Sila ini mengandung makna bahwa partisipasi rakyat adalah fondasi dalam membangun bangsa, bukan sekadar pelengkap demokrasi formalitas.
Kesalahan besar jika perbedaan selalu dimaknai sebagai oposisi atau bahkan dianggap tindakan subversif.
Justru di balik perbedaan itu ada banyak titik temu dan nilai bersama yang bisa menjadi jembatan untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan yang sejati. Keberagaman adalah potensi, bukan ancaman.
Persatuan bangsa bukan sebuah monumen mati yang dibangun dari kata-kata dan slogan.
Persatuan adalah sebuah keadaan hidup yang hanya bisa tercipta melalui partisipasi aktif dan kebersamaan langkah, serta dengan membuka ruang bagi semua pihak untuk berpikir dan berkontribusi secara nyata terhadap arah bangsa.
Kualitas persatuan bangsa sangat ditentukan oleh sikap politik dan kebijakan pemerintah sebagai pemegang mandat rakyat.
Bagaimana pemerintah menyikapi kehadiran partisipasi elemen-elemen bangsa akan sangat menentukan kuat atau rapuhnya fondasi persatuan itu sendiri.
Untuk menata Indonesia ke depan, kita dihadapkan pada setidaknya enam persoalan serius.
Masalah pertama adalah soal kesejahteraan. Pendapatan per kapita kita hanya US$4.500—angka yang masih cukup rendah, bahkan di tingkat ASEAN. Ini menjadi indikator bahwa ekonomi kita belum mampu membawa kesejahteraan luas bagi rakyat.
Indonesia adalah negeri yang kaya sumber daya alam, tapi sebagian besar rakyatnya masih jauh dari sejahtera.
Sebagai perbandingan, Malaysia memiliki pendapatan per kapita sekitar US$12.000, dan Singapura mencapai US$20.000. Kontras ini mencerminkan tantangan besar dalam pengelolaan ekonomi nasional.
Kedua, adalah tingginya angka kemiskinan dan pengangguran.
Data menunjukkan bahwa sekitar 10 persen masyarakat Indonesia hidup dalam kemiskinan. Namun, jika menggunakan standar Bank Dunia di mana pendapatan di bawah US$3,2 per hari dikategorikan miskin maka angka kemiskinan bisa melonjak hingga 60 persen.
Jumlah pengangguran juga hampir setara. Ini adalah persoalan struktural yang tak bisa diselesaikan hanya dengan retorika.
Di negara-negara maju, kemiskinan dan pengangguran mungkin tetap ada, namun akar masalahnya berbeda.
Di Indonesia, kemiskinan lebih disebabkan oleh struktur ekonomi yang timpang, lemahnya penciptaan lapangan kerja, dan pertumbuhan ekonomi yang rendah.
Ketiga, muncul ketidakadilan dalam pembangunan, baik di sektor ekonomi maupun hukum.
Wilayah Jawa lebih maju infrastruktur dan akses ekonominya dibanding NTT dan Papua. Meskipun perbedaan jumlah penduduk bisa menjadi alasan, tetap saja pembangunan infrastruktur dasar seperti jalan adalah prasyarat mutlak bagi setiap wilayah untuk mengejar kesejahteraan.
Ketimpangan ini menghambat rasa keadilan dan memperlemah rasa kebangsaan.
Keempat, lemahnya penegakan hukum. Bahkan sebelum UU diberlakukan, proses pembuatannya pun sudah bermasalah. Banyak rancangan undang-undang justru lebih melayani kepentingan kekuasaan dan pemodal ketimbang memenuhi aspirasi rakyat.
Ini adalah masalah serius yang mencederai keadilan dan merusak kepercayaan publik terhadap sistem hukum.
Kelima, tidak adanya keteladanan dari elite. Gaya hidup para pejabat dan elite politik sering kali jauh dari realitas kehidupan rakyat.
Di tengah pertumbuhan ekonomi yang hanya 4,87%, gaya hidup hedonistik mereka menjadi sumber apatisme publik. Jika elite tak mampu memberi contoh baik, bagaimana mungkin rakyat percaya akan masa depan bangsa?
Keenam, adalah budaya koruptif yang kuat, sistematis, masif, dan terstruktur. Korupsi bukan lagi praktik individu, tapi telah menjadi bagian dari sistem kekuasaan yang melibatkan hampir semua pemangku kepentingan—dari hulu ke hilir. Ini adalah penyakit bangsa yang sangat serius.
Dalam konteks ini, pemerintahan yang dipimpin Prabowo Subianto saat ini menunjukkan upaya untuk memangkas budaya koruptif melalui strategi efisiensi anggaran.
Ini adalah langkah taktis yang mulai berdampak pada kebiasaan liberal dalam penggunaan anggaran, yang sebelumnya membuka ruang luas bagi praktik korupsi.
Berbagai kebijakan Prabowo, termasuk pencabutan status Proyek Strategis Nasional (PSN) pada sejumlah proyek elitis, serta pengalihan program ke arah pemberdayaan rakyat, memberi harapan baru.
Kebijakan-kebijakan ini menunjukkan keberpihakan terhadap persoalan riil rakyat, terutama terkait kesejahteraan. Inilah bentuk konkret dari politik yang membangun, bukan politik pencitraan.
Bukti nyatanya, tingkat kepuasan rakyat saat ini mencapai 80%.
Kita berharap Prabowo konsisten dengan program-program pro-rakyatnya, sebab hanya dengan itulah persatuan bangsa dapat dibangun kokoh.
Persatuan bukan hasil dari jargon atau omon-omon semata. Ia lahir dari kebijakan substansial dan keberpihakan nyata kepada rakyat.
Jakarta, 5 Mei 2025
(ameera/arrahmah.id)