GAZA (Arrahmah.id) – Para aktivis pro-Palestina yang berada di atas kapal bantuan Madleen menyerukan kepada pemerintah mereka masing-masing untuk bertindak segera demi membebaskan mereka serta menghentikan genosida ‘Israel’ di Gaza. Seruan ini datang setelah kapal tersebut disergap dan krunya diculik oleh pasukan ‘Israel’ pada Senin (9/6/2025).
Di antara para kru terdapat aktivis iklim asal Swedia, Greta Thunberg, dan Rima Hassan, anggota parlemen Eropa asal Prancis.
Koalisi Freedom Flotilla (FFC) menyatakan bahwa militer ‘Israel’ telah “menyerang” dan “menaiki kapal secara ilegal”. Kapal ini sebenarnya sedang dalam misi kemanusiaan mengirimkan bantuan ke Gaza, wilayah yang telah lebih dari 600 hari dilanda genosida dan selama 11 pekan terakhir diblokade total dari segala bentuk bantuan.
Dalam pernyataan di X, Kementerian Luar Negeri ‘Israel’ mengklaim bahwa kapal tersebut “dalam perjalanan menuju pantai’ Israel’ dengan aman” dan “para penumpang akan segera dikembalikan ke negara asal mereka”.
FFC sebelumnya telah menyiapkan video rekaman dari hampir semua penumpang kapal Madleen, yang dipublikasikan begitu ‘Israel’ menyerbu kapal tersebut. Video-video ini menyerukan dukungan publik dan tekanan terhadap pemerintah untuk membebaskan para aktivis serta menghentikan perang ‘Israel’ di Gaza.
“Saya Greta Thunberg, dari Swedia,” ucapnya dalam video yang direkam sebelum kapal disergap.
“Jika kalian melihat video ini, berarti kami telah dicegat dan diculik oleh pasukan pendudukan ‘Israel’ di perairan internasional. Saya minta semua teman, keluarga, dan rekan saya untuk menekan pemerintah Swedia agar segera membebaskan saya dan yang lainnya.”
Sebelumnya, FFC juga menyampaikan bahwa kapal mereka “diserang di perairan internasional.” Dalam pesan Telegram, mereka menyebutkan bahwa drone quadcopter menyemprot kapal dengan zat putih seperti cat, komunikasi dijamming, dan suara-suara aneh diputar lewat radio.
Dalam siaran langsung dari atas kapal, aktivis Yasmin Acar menunjukkan dek kapal yang tertutup zat putih tersebut, yang dikatakan membuat matanya perih. Dalam video lain yang diunggah ke Telegram, para kru terlihat duduk dengan tangan terangkat dan diperintahkan untuk melempar ponsel mereka ke laut.
Dalam pernyataannya, FFC menyebut ‘Israel’ telah bertindak dengan “impunitas total” dan menyita semua muatan kapal, termasuk susu bayi, makanan, serta pasokan medis.
“Israel tidak memiliki kewenangan hukum untuk menahan sukarelawan internasional di atas Madleen,” tegas Huwaida Arraf, pengacara HAM dan penyelenggara Freedom Flotilla.
“Tindakan ini melanggar hukum internasional secara terang-terangan dan mengabaikan perintah Mahkamah Internasional (ICJ) yang mengharuskan akses bantuan kemanusiaan tanpa hambatan ke Gaza.”
‘Israel’ sebelumnya telah berulang kali bersumpah akan menggagalkan kapal bantuan ini, bahkan menyebutnya sebagai “yacht selfie berisi selebriti.”
“Saya telah memerintahkan militer agar memastikan Madeline tidak mencapai Gaza,” ujar Menteri Pertahanan ‘Israel’, Yoav Gallant, sehari sebelum penyerangan.
Madleen merupakan bagian dari Freedom Flotilla Coalition, organisasi yang selama bertahun-tahun menentang blokade ‘Israel’ terhadap Gaza dan berusaha menembus pengepungan lewat jalur laut.
Para kru kapal telah membuka lokasi kapal secara publik lewat pelacak daring. Pada Senin pagi (9/6), kapal berbendera Inggris itu diketahui berada di utara Mesir di Laut Tengah, mendekati pantai Gaza. Namun, sejak saat itu pelacak tidak lagi menunjukkan lokasi kapal.
“Kami tahu ini misi berisiko tinggi. Kami tahu bahwa misi flotilla seperti ini di masa lalu sering berakhir dengan serangan, kekerasan, bahkan kematian,” kata Thunberg pada Sabtu lalu (7/6).
Sejak 2 Maret lalu, ‘Israel’ menutup seluruh jalur masuk ke Gaza, memutus pasokan makanan, obat-obatan, dan bantuan kemanusiaan. Menurut berbagai organisasi HAM, ini merupakan bentuk penggunaan kelaparan sebagai senjata perang terhadap warga Palestina.
Laporan IPC (Integrated Food Security Phase Classification) bulan lalu memperingatkan bahwa hampir seperempat penduduk Gaza akan mengalami kelaparan ekstrem dalam beberapa bulan ke depan (kategori IPC Fase 5).
Setelah lebih dari 80 hari blokade total, dan di tengah kemarahan dunia internasional, bantuan terbatas dilaporkan baru mulai masuk sejak 27 Mei melalui GHF, organisasi penuh skandal yang didukung AS dan ‘Israel’. Organisasi ini dibentuk untuk melewati mekanisme bantuan PBB yang sudah ada di Gaza.
Namun, sebagian besar lembaga kemanusiaan, termasuk PBB, kini menjauh dari GHF karena menilai cara kerjanya melanggar prinsip-prinsip kemanusiaan: membatasi bantuan hanya ke wilayah tengah dan selatan Gaza, mengharuskan warga berjalan jauh untuk mengakses bantuan, dan hanya menyediakan bantuan dalam jumlah terbatas. (zarahamala/arrahmah.id)