KASHMIR (Arrahmah.id) – India telah menghancurkan setidaknya sepuluh rumah dalam sepekan terakhir yang dimiliki oleh para tersangka di wilayah Kashmir yang dikelola India, menyusul serangan di Pahalgam pada April lalu yang menewaskan 26 orang.
Gelombang penghancuran rumah ini memicu kemarahan warga setempat yang menyebut tindakan tersebut sebagai “taktik ala Israel”.
Pada Rabu lalu (23/4/2025), Perdana Menteri Narendra Modi dalam pertemuan dengan petinggi militer di New Delhi memberikan “kebebasan operasional penuh” kepada angkatan bersenjata India.
Hal ini memicu kekhawatiran internasional akan konflik bersenjata antara dua negara bersenjata nuklir, India dan Pakistan. Namun, di Kashmir sendiri, perintah tersebut justru memperburuk keadaan dengan meningkatnya penangkapan, penggerebekan, dan pembongkaran rumah oleh militer, menyebarkan ketakutan dan ketidakpastian di kalangan warga.
Salah satu rumah yang diledakkan pada malam 24 April adalah milik Ehsan Ul Sheikh (23), seorang tersangka yang meninggalkan rumah pada 2023 dan diduga bergabung dengan kelompok bersenjata berbasis di Pakistan, Lashkar-e-Taiba (LeT).
Pihak berwenang India meyakini LeT berada di balik serangan Pahalgam, meskipun awalnya kelompok kecil bernama Resistance Front sempat mengklaim bertanggung jawab sebelum kemudian menarik pernyataan dan membantah keterlibatan.
“Ini bukan hanya rumah, tapi hasil kerja keras ayah kami seumur hidup,” kata saudari Sheikh kepada Middle East Eye sambil berdiri di puing-puing rumah mereka di Desa Murran, Distrik Pulwama.
Sheikh hilang dua tahun lalu saat masih awal 20-an, dan tak pernah kembali, ujar keluarganya.
Warga desa menangis di dekat puing-puing rumah yang dihancurkan pada 24 April.
“Saat malam, pasukan bersenjata India mengepung desa dan memaksa kami keluar rumah,” kata Ashiq Ahmad, seorang warga.
“Setelah beberapa saat, tanah seperti berguncang,” lanjutnya, menggambarkan ledakan yang terdengar dari arah masjid tempat warga ditahan selama berjam-jam.
“Ketika kami keluar setelah dua jam, banyak rumah sudah hancur rata. Kami berkabung sepanjang malam,” tambahnya.
Tak hanya rumah Sheikh yang hancur, tetapi 14 rumah lainnya di sekitar juga mengalami kerusakan parah.
“Rumah ini saya bangun dengan darah dan keringat, dan sekarang lenyap,” kata Ali Muhammad, yang putranya akan menikah dalam 10 hari.
“Kami hanya tetangga. Mereka bilang rumah tetangga dihancurkan karena anaknya. Tapi apa salah kami? Siapa yang akan mempersoalkannya?” katanya nyaris menangis.
Respons Berat dan Kolektif
Srinagar, ibu kota musim panas Kashmir, sebelumnya ramai oleh ribuan wisatawan, kini tampak sepi. Lalu lintas malam lenyap, wisatawan pergi, dan pemesanan dibatalkan.
Kashmiris mulai turun ke jalan memprotes tindakan ini.
“Pejabat India menghukum kolektif warga Kashmir atas kegagalan negara mereka,” kata Mohammad Junaid, profesor antropologi di Massachusetts College of Liberal Arts.
Junaid merujuk pada keputusan Mahkamah Agung India pada November 2024 yang melarang pembongkaran rumah hanya berdasarkan tuduhan kejahatan, praktik yang populer disebut sebagai “keadilan buldoser”.
“Kashmiris diberi tahu bahwa hak mereka bergantung pada kehendak rezim yang berkuasa di Delhi. Mereka menghabiskan seumur hidup membangun rumah, dan tampaknya hal itu membuat pejabat India merasa terganggu,” ujarnya.
“Apa Salah Kami?”
Shazada Bano (59) menangis saat mengais reruntuhan rumahnya. Kasur terbakar, tirai hangus, dan perabot hitam menjadi sisa-sisa kehidupannya. Ia adalah ibu dari Adil Thoker, tersangka yang juga diduga terlibat dalam serangan Pahalgam.
“Kalau dia yang melakukannya, hukum saja dia. Dia sudah pergi dari rumah sejak 2018, kami bahkan tak tahu dia masih hidup atau tidak,” ucapnya. Ia sendiri sempat ditahan semalam untuk interogasi.
Ledakan tersebut juga merusak empat rumah di sekitarnya.
Lebih dari 100 km dari sana, di Kupwara, Muhammad Yaqoob Teedwa masih syok. Rumahnya dihancurkan karena saudaranya, Farooq Teedwa, pergi ke Pakistan pada 1990-an untuk pelatihan militer.
“Dia pergi 30 tahun lalu. Kenapa sekarang kami dihukum? Saya cuma buruh miskin, apa salah anak-anak saya yang kini tak punya atap?” katanya.
Di Naaz Colony, Bandipora, keluarga tersangka Jameel Ahmad Gojri berdiri diam di halaman, dikelilingi reruntuhan rumah dua lantai mereka.
“Kami tak mau bicara. Apa yang mau dikatakan? Siapa yang mau dengar, dan siapa yang akan bertanggung jawab?” kata salah satu anggota keluarga.
Apa yang Terjadi pada 22 April?
Pada 22 April, sekelompok orang bersenjata muncul dari hutan di Lembah Baisaran, Pahalgam, dan menembaki wisatawan secara membabi buta, menewaskan 26 orang dan melukai 17 lainnya.
Kelompok TRF sempat mengklaim serangan sebagai reaksi terhadap kebijakan pemerintah yang memberikan ribuan izin tinggal kepada warga non-lokal, yang dianggap sebagai upaya perubahan demografi sejak pencabutan status otonomi Kashmir pada Agustus 2019.
Meski pariwisata hanya menyumbang 7% dari ekonomi Kashmir, pemerintah India terus menggalakkan sektor ini untuk mencitrakan kondisi “normal” pasca pencabutan status khusus.
Namun kini, ketegangan meningkat. Konvoi militer India mengalir ke utara Kashmir dan sepanjang Line of Control (LoC), sementara 48 lokasi wisata ditutup untuk alasan keamanan.
“Suara Tak Berdaya”
India mendapat dukungan penuh dari negara-negara Barat yang cepat mengecam serangan tersebut, yang menurut sejumlah pengamat mendorong India bertindak lebih keras terhadap warga Kashmir.
Di media sosial, kelompok nasionalis Hindu garis keras menyerukan pembalasan dengan gaya “Israel”, termasuk menghancurkan rumah warga Muslim Kashmir.
“Di lembah ini, memiliki rumah adalah naluri, seperti unta yang lahir dengan punuk, seorang Kashmiri lahir dengan rumah. Melihat rumah-rumah hancur sama seperti melihat kehidupan ikut runtuh,” kata Munir Ahmad, warga Shopian, tempat rumah tersangka Adnan Shafi Dar dihancurkan.
“Merobohkan rumah bukan sekadar penghancuran fisik, ini adalah penghapusan mimpi dan investasi puluhan tahun,” tambahnya.
Ahmad khawatir bahwa saat ini rumah militan yang jadi target, tapi ke depan bisa giliran simpatisan, bahkan seluruh penduduk.
“Itu gaya ‘Israel’: menghukum seluruh populasi. Diamnya komunitas internasional terhadap Gaza membuat pemerintah lebih berani,” katanya.
Hafsa Kanjwal, penulis buku Colonising Kashmir, menyebut penghancuran rumah ini sebagai kejahatan perang, karena hak atas tempat tinggal diatur dalam hukum internasional.
“Tindakan ini adalah peringatan: jika kamu melawan, negara akan mengejar bukan hanya kamu, tapi juga rumah dan keluargamu,” ujarnya.
Shameema, yang rumahnya rusak sebagian di Pulwama, menyimpulkan dengan getir:
“Pemerintah punya segalanya: teknologi, tentara, senjata, dunia di belakang mereka. Kami punya apa? Hanya suara yang tak berdaya.” (zarahamala/arrahmah.id)