TAMRA (Arrahmah.id) – Puluhan warga Palestina dan pekerja asing dilaporkan ditolak masuk ke tempat perlindungan saat rudal-rudal Iran menggempur wilayah ‘Israel’ pada Sabtu malam lalu (14/6/2025).
Salah satu peristiwa paling tragis terjadi di kota Tamra, wilayah utara ‘Israel’, ketika sebuah roket menghantam rumah keluarga Palestina. Empat anggota keluarga itu tewas seketika. Menurut warga setempat, mereka tidak menerima peringatan apa pun dan tidak punya tempat aman untuk berlindung.
Tamra, yang terletak di kawasan Galilea Bawah dekat Haifa, menjadi lokasi serangan paling mematikan terhadap warga Palestina yang memegang kewarganegaraan ‘Israel’ sejak meningkatnya ketegangan antara ‘Israel’ dan Iran. Meski demikian, serangan ini diyakini bukan target yang disengaja.
Mohammad Diab, seorang relawan darurat yang datang ke lokasi kejadian, menggambarkan situasi yang mengerikan. Ia menemukan potongan tubuh berserakan dan para korban selamat terjebak di bawah reruntuhan. “Malam itu sangat sulit dan kacau,” ujarnya kepada CNN.
Wali Kota Tamra, Musa Abu Rumi, mengatakan bahwa hanya sekitar 40 persen warga kotanya yang memiliki akses ke ruang aman pribadi atau tempat perlindungan yang berfungsi. Tidak seperti kota-kota mayoritas Yahudi, Tamra tidak memiliki tempat perlindungan publik yang didanai pemerintah.
“Pemerintah tidak pernah membiayai pembangunan shelter di kota kami, karena mereka punya prioritas lain,” kata Abu Rumi. Ia menambahkan bahwa sekolah-sekolah lokal kini difungsikan sementara sebagai tempat berlindung, meski menurutnya itu bukan solusi jangka panjang.
Diskriminasi Sistemik dalam Perlindungan Sipil
Saat ini, sekitar dua juta warga Palestina tinggal di ‘Israel’, merupakan keturunan dari mereka yang menolak meninggalkan rumah mereka ketika negara ‘Israel’ dibentuk. Mereka mencakup sekitar 20 persen populasi ‘Israel’ dan selama ini telah lama mengeluhkan diskriminasi dalam perencanaan keamanan nasional dan akses terhadap infrastruktur keselamatan publik.
Fenomena ketimpangan ini bukan hal baru. Dalam laporan 2023, Israel Democracy Institute (IDI) memperingatkan adanya “kesenjangan perlindungan yang signifikan” antara komunitas Yahudi dan Palestina di ‘Israel’ utara.
Laporan itu menyebutkan bahwa perencanaan pertahanan sipil ‘Israel’ memprioritaskan wilayah-wilayah berpenduduk mayoritas Yahudi, padahal komunitas Palestina sama-sama terpapar bahaya serangan lintas batas dari Lebanon dan kini juga dari Iran.
Di bawah hukum ‘Israel’, semua bangunan residensial yang dibangun setelah 1990-an diwajibkan memiliki ruang perlindungan. Namun, kota-kota Palestina kerap tak menerapkan aturan ini dengan baik.
Asosiasi Hak Sipil di Israel (ACRI) menyatakan bahwa sebagian besar kota Arab di distrik utara tidak memiliki area yang dilindungi sama sekali, menyebut hal ini sebagai “kegagalan sistemik” yang membahayakan warga Palestina dalam situasi perang.
Dikunci dari Shelter: “Kenyataan Kami Sehari-hari”
Di media sosial, beredar pula rekaman yang menunjukkan sejumlah warga Yahudi ‘Israel’ melarang pekerja asing dan warga Palestina masuk ke shelter selama serangan rudal Iran.
Di Jaffa, warga Palestina melaporkan bahwa mereka dikunci dari shelter umum yang sebelumnya mereka gunakan dalam situasi serupa. Sementara itu, warga Yahudi yang tinggal di bangunan tua di sekitar tetap bisa mengakses shelter tersebut. Insiden ini menyoroti diskriminasi nyata dalam akses perlindungan. Salah satu warga, Ktelat, berkata, “Inilah realitas kami. Bukan hal baru lagi.”
Insiden di Jaffa mendapat kecaman dari tokoh-tokoh masyarakat sipil Palestina dan para politisi.
Abed Abu Shahada, aktivis lokal dan mantan anggota dewan kota, mengatakan bahwa pelarangan tersebut “menggambarkan rasisme yang sudah mengakar dalam masyarakat ‘Israel’,” dan mempertegas bahwa warga Palestina “ditinggalkan begitu saja menghadapi nasib mereka sendiri” saat perang meletus.
Sorakan di Kota Tetangga: “Semoga Desamu Terbakar”
Setelah serangan di Tamra, beredar pula video dari kota tetangga Yahudi ‘Israel’, Mitzpe Aviva, yang memiliki 13 shelter publik untuk sekitar seribu penduduk. Dalam video itu, tampak sekelompok warga bersorak-sorai merayakan serangan terhadap tetangga Arab mereka sambil meneriakkan, “Semoga desamu terbakar.”
Teriakan itu berasal dari lagu yang dipopulerkan penyanyi pop ‘Israel’, Kobi Peretz, dan telah lama dikecam karena mengandung unsur kebencian.
Anggota parlemen Naama Lazimi menyebut video tersebut “memalukan dan menjijikkan.” Sementara itu, anggota Knesset Ahmad Tibi menyebutnya sebagai bukti nyata dari “budaya rasisme yang telah mengakar dalam masyarakat ‘Israel’ dan meningkatnya fasisme.” (zarahamala/arrahmah.id)