Oleh Nurul Aini Najibah
Pegiat Literasi
Berdasarkan Macro Poverty Outlook edisi April 2025, Bank Dunia menggolongkan warga Indonesia yang berpengeluaran harian di bawah USD 6,85—sekitar Rp 113.777 menurut kurs Rp 16.606 sebagai bagian dari kelompok miskin sesuai patokan negara berpendapatan menengah ke atas. (liputan6.com, 30/4/2025)
Klasifikasi penduduk miskin menurut Bank Dunia didasarkan pada garis kemiskinan bagi negara-negara berpenghasilan menengah ke atas (upper middle income), yakni sebesar $6,85 PPP (Purchasing Power Parity) per orang per hari. Metode ini berbeda dari pendekatan resmi yang digunakan di Indonesia, yang mengacu pada garis kemiskinan nasional sebesar $2,15 PPP per kapita per hari
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Amalia Adininggar Widyasanti, menanggapi laporan tersebut dengan menyatakan bahwa informasi yang disampaikan oleh Bank Dunia tidak bisa diterapkan secara menyeluruh untuk menilai tingkat kemiskinan di semua negara. Bahkan, Bank Dunia sendiri mengakui hal ini. (finance.detik.com, 30/4/2025)
Kapitalisme Sumber Masalah
Ada perbedaan yang signifikan antara standar kemiskinan nasional dan standar kemiskinan global. Hal ini disebabkan oleh perbedaan dalam metode pengukuran. Seseorang mungkin tidak dikategorikan miskin menurut standar nasional, namun termasuk dalam kelompok miskin ekstrem bila diukur berdasarkan standar global. Karena itu, diperlukan data yang akurat dan mencerminkan kondisi nyata kemiskinan di lapangan.
Perbedaan standar kemiskinan muncul sebagai konsekuensi dari penerapan sistem kapitalisme dalam pengelolaan ekonomi dan sosial. Dengan menetapkan batas kemiskinan yang rendah, sebuah negara dapat mengklaim bahwa angka kemiskinan telah menurun, meskipun sebenarnya hal itu hanya manipulasi data statistik demi menarik perhatian para investor. Pada akhirnya, kapitalisme terbukti tidak mampu mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya.
Oleh karena itu, kemiskinan merupakan realitas yang seharusnya didefinisikan secara sesuai dengan kondisi nyata, terlepas dari sudut pandang manapun. Namun sayangnya, dalam sistem kapitalisme, pengertian tentang kemiskinan cenderung bervariasi. Kapitalisme memandang kemiskinan sebagai kondisi di mana individu tidak mampu secara penuh mencukupi kebutuhan barang dan jasa yang diperlukan. Akibatnya, tidak ada standar kemiskinan yang konsisten, sehingga definisinya berbeda-beda di tiap negara.
Adapun standar kemiskinan seringkali ditentukan secara angka semata, tanpa mempertimbangkan kondisi riil di lapangan. Patokan garis kemiskinan semacam ini pun mudah berubah, tergantung pada kepentingan pihak yang berkuasa. Dengan mengubah standar kemiskinan, pemerintah dapat mengklaim bahwa angka kemiskinan menurun dan membentuk citra sebagai pemimpin yang sukses dalam menanggulangi masalah tersebut.
Selain itu, dalam perspektif kapitalisme, hubungan antara pemerintah dan rakyat dipandang layaknya hubungan antara penjual dan pembeli. Sistem ekonomi ini juga menempatkan mekanisme harga sebagai faktor utama yang menggerakkan produksi serta menentukan bagaimana barang dan jasa didistribusikan.
Dalam sistem kapitalisme, rakyat sebagai konsumen dianggap mampu membeli barang tertentu jika memiliki daya beli, dan tidak mampu membeli barang lain jika penghasilannya terbatas. Mereka yang berpendapatan tinggi memiliki kemampuan untuk memperoleh lebih banyak barang dibandingkan dengan mereka yang berpenghasilan rendah. Oleh karena itu, sistem ekonomi kapitalis lebih berorientasi pada produksi kekayaan atau pendapatan, bukan pada pemenuhan kebutuhan riil masyarakat.
Konsep ini jelas bertolak belakang dengan kenyataan. Berbagai bantuan tunai yang diberikan pemerintah tak ubahnya seperti asap yang cepat menghilang, tersapu oleh inflasi tinggi dan melemahnya daya beli masyarakat. Dalam kondisi seperti ini, bagaimana mungkin mereka bisa memikirkan kecukupan gizi keluarga? Bisa makan saja sudah dianggap cukup baik.
Dengan kata lain, persoalan kemiskinan yang sebenarnya terjadi saat ini adalah kemiskinan pada tingkat individu, yang bersifat sistemik. Akar masalah dalam sistem ekonomi kapitalisme terletak pada ketimpangan distribusi kekayaan dan layanan kepada setiap individu, khususnya dalam pemenuhan kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, dan papan secara merata. Ketika kebutuhan pokok ini tidak terpenuhi, tentu akan menimbulkan berbagai persoalan. Oleh karena itu, dibutuhkan sistem ekonomi yang mampu menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar setiap orang. Jika kemiskinan individu dapat diatasi dan kekayaan didistribusikan secara adil, maka akar persoalan kemiskinan yang sistemik pun akan terselesaikan.
Sistem Ekonomi Islam
Pada dasarnya, umat membutuhkan sistem ekonomi yang bersumber dari aturan Allah Swt., yaitu sistem ekonomi Islam. Sistem ini tidak hanya mengarahkan umat menuju kebaikan, tetapi juga menghadirkan keberkahan yang tidak mungkin diwujudkan oleh sistem ekonomi kapitalis.
Dalam sistem ekonomi Islam, negara berperan sebagai aktor utama dalam mengelola kepentingan umat. Relasi antara rakyat dan pemerintah digambarkan sebagai hubungan antara tuan dan pelayan, di mana penguasa bertindak sebagai pelayan bagi rakyatnya. Hubungan yang ideal ini menjadi dasar terwujudnya keadilan, kesejahteraan serta keberkahan pada umat. Dengan visi sebagai pelayan umat, pemerintah mampu mengatasi berbagai persoalan masyarakat, termasuk masalah kemiskinan.
Salah satu cara dalam sistem ekonomi Islam untuk mengatasi kemiskinan adalah:
Pertama, dengan memastikan terpenuhinya kebutuhan dasar setiap individu. Islam menetapkan bahwa kebutuhan dasar mencakup makanan, sandang serta tempat tinggal. Pemenuhan ketiga aspek ini menjadi tolok ukur kesejahteraan seseorang. Penilaiannya dilakukan secara personal, bukan berdasarkan rata-rata per kapita.
Mekanisme dalam Islam untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan dasar mencakup berbagai langkah-langkah. Pertama, Islam mewajibkan setiap kepala keluarga untuk mencari nafkah. Kedua, jika ada anggota keluarga yang tidak mampu bekerja karena kondisi tertentu seperti sakit atau disabilitas, maka kerabat terdekat berkewajiban memberikan bantuan. Ketiga, apabila kerabat tidak mampu membantu, maka tanggung jawab berpindah kepada negara untuk menolong warga miskin. Keempat, bila kas baitulmal tidak mencukupi, kaum Muslim yang mampu diwajibkan membantu, baik secara langsung maupun melalui pungutan sementara (dharibah) yang dibebankan kepada laki-laki Muslim yang kaya. Rasulullah saw. bersabda, “Siapa saja yang menjadi penduduk suatu daerah, lalu di antara mereka terdapat seseorang yang kelaparan, maka perlindungan Allah SWT terlepas dari mereka.” (HR Ahmad).
Kedua, Islam mengatur sistem kepemilikan secara komprehensif guna mencegah terjadinya kemiskinan. Aturan ini mencakup tiga aspek utama: jenis kepemilikan, tata kelola kepemilikan dan mekanisme distribusi kekayaan di tengah masyarakat.
Dalam Islam, kepemilikan dibagi menjadi tiga kategori: kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Sumber daya alam yang termasuk dalam kategori kepemilikan umum tidak diperbolehkan untuk dikuasai oleh pihak swasta, baik domestik maupun asing. Dalam pengelolaannya, kepemilikan dibagi ke dalam dua fungsi, yaitu pengembangan harta dan pemanfaatannya. Islam secara tegas melarang praktik riba. Dalam sistem ekonomi Islam, praktik riba tidak diberlakukan, sehingga kekayaan tidak terakumulasi hanya pada segelintir orang seperti yang lazim terjadi dalam sistem kapitalisme.
Terkait dengan distribusi kekayaan di tengah masyarakat, Islam memandangnya sebagai faktor utama dalam upaya mengatasi kemiskinan. Islam menetapkan bahwa negara berperan sebagai pengelola utama distribusi harta, sehingga menjadi kewajiban negara untuk menyalurkan kekayaan kepada mereka yang membutuhkan.
Ketiga, sistem keuangan yang kokoh dan stabil. Baitul Mal dalam Islam memiliki struktur yang kokoh untuk menjamin pemasukan yang signifikan dan pengeluaran yang selaras dengan kebutuhan dasar umat. Sumber pemasukan baitul mal berasal dari fai dan kharaj, aset kepemilikan umum, serta sedekah. Ini sangat berbeda dengan kondisi keuangan negara saat ini, yang lemah karena bergantung pada pajak dan ditutupi dengan utang luar negeri, sehingga wajar bila kesejahteraan rakyat sulit tercapai. Sementara dalam pengeluarannya, baitul mal menetapkan skala prioritas berdasarkan kebutuhan masyarakat luas, bukan berdasarkan kepentingan para pemilik modal sebagaimana yang lazim terjadi dalam sistem sekarang.
Keempat, negara memiliki kewajiban untuk menciptakan lapangan kerja bagi rakyatnya. Pengelolaan sumber daya alam secara mandiri serta kebijakan yang bebas dari intervensi asing akan membuka banyak peluang kerja. Tak hanya menyediakan pekerjaan, negara juga harus menjamin pemberian insentif yang layak. Dengan demikian, para pekerja seperti buruh pabrik maupun petani dapat menerima upah yang sebanding dengan kontribusi tenaga yang mereka berikan.
Kelima, negara perlu menjamin akses terhadap pendidikan. Kemiskinan seringkali berkaitan erat dengan rendahnya kualitas sumber daya manusia, baik dalam aspek karakter maupun keterampilan. Karena itu, diperlukan sistem pendidikan yang unggul dan dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat. Pendidikan merupakan kebutuhan mendasar yang menjadi tanggung jawab negara untuk memenuhinya. Dalam hal ini, sistem pendidikan Islam yang berlandaskan akidah Islam serta didukung oleh kekuatan baitul mal memiliki kapasitas untuk menghadirkan pendidikan yang berkualitas dan menyeluruh.
Alhasil, dengan menerapkan sistem Islam secara menyeluruh, kemiskinan bisa dicegah sekaligus diatasi. Andai pun masih ada umat yang hidup dalam kemiskinan di bawah pemerintahan Islam, jumlahnya sangat sedikit dan dapat ditangani dengan baik. Sebab, dalam sistem Islam terdapat ketentuan yang mencegah konsentrasi kekayaan hanya di tangan orang-orang kaya. Perintah untuk bersedekah serta kewajiban zakat bagi yang mampu menjadi mekanisme penting dalam menciptakan keseimbangan dan kesejahteraan sosial.
Wallahu a’lam bis Shawwab