(Arrahmah.com) – Patutlah kita berbangga hati karena salah satu keunikan kuliner Indonesia adalah beragamnya cita rasa setiap masakan.
Selain rasa gurih, manis dan pedas, masakan khas yang memiliki rasa asam juga banyak disukai, sebut saja pempek khas Palembang, brengkes tempoyak patin, rujak cingur, atau garang asem.
Rasa asam alami kuliner Indonesia umumnya berasal dari asam jawa, asam gelugur asal Sumatera, asam sunti asal Aceh, asam patikala dan asam mangga khas Sulawesi, jeruk nipis atau belimbing sayur. Namun dengan alasan kepraktisan, cuka menjadi salah satu alternatif lain yang paling sering digunakan.
Selain digunakan sebagai penambah rasa asam, cuka juga banyak dimanfaatkan sebagai perendam daging, salah satu bahan membuat acar, salad dressing hingga campuran dessert.
Penggunaan cuka sebagai tambahan bumbu masak telah dilakukan sejak sebelum masehi, dengan proses fermentasi sebagai bahan dasar pembuatannya.
Secara kimiawi, cuka atau vinegar merupakan senyawa organik dengan rumus kimia asam asetat atau asam etanoat. Cuka dapat diproduksi secara sintesis maupun secara alami.
Cuka sintesis diproduksi melalui proses karbolasi metanol, salah satu senyawa alkohol. Secara alami, cuka dibuat lewat fermentasi.
Ada dua cara fermentasi untuk menghasilkan cuka yaitu fermentasi cara tradisional atau fermentasi dengan bantuan mikroorganisme.
Fermentasi secara tradisional akan mengubah bahan baku menjadi cuka dalam rentang waktu yang lama sedangkan fermentasi dengan bantuan mikroba akan menghasilkan cuka dalam beberapa hari.
Umumnya bakteri yang digunakan secara komersial dalam fermentasi cuka adalah Acetobacter yang akan mengubah etanol (salah satu senyawa alkohol) menjadi asam asetat.
Meski kini cuka sintesis lebih banyak digunakan, beberapa olahan masakan lebih disukai bila ditambahkan cuka masak hasil fermentasi buah-buahan sebagai tambahan bumbunya.
Beberapa contoh cuka hasil fermentasi buah-buahan adalah red wine vinegar hasil fermentasi minuman anggur merah (red wine), white wine vinegar yaitu jenis cuka dari fermentasi anggur putih (white wine) yang merupakan hasil sulingan alkohol, malt vinegar yang berasal dari fermentasi pati yang menjadi maltosa, apple cider vinegar yang terbuat dari fermentasi sari buah apel atau ampas apel dan rice vinegaryang terbuat dari fermentasi beras yang kerap digunakan dalam masakan Asia.
Sebagai umat muslim tentunya kita harus jeli dengan status kehalalan cuka yang kita gunakan.
Pada dasarnya cuka termasuk makanan yang halal seperti yang disabdakan Nabi Shallahu ‘alaihi wa sallam : “Sebaik-baiknya bumbu dan lauk adalah cuka” (HR. Muslim No 2051).
Menilik asal bahan dan prosesnya, maka kita harus jeli dengan titik kritis kehalalan cuka. Untuk cuka sintesis, selama tidak menggunakan bahan haram dalam prosesnya maka statusnya adalah halal.
Bagaimana dengan cuka yang yang dihasilkan dari proses fermentasi?
Dalam pembuatan cuka dengan proses fermentasi, ada 2 tahap proses yang berlangsung secara berkesinambungan, yaitu proses fermentasi pengubahan glukosa (C6H12O6) menjadi alkohol (C2H5OH) lalu alkohol akan berubah menjadi asam cuka (CH3COOH).
C6H12O6 ® C2H5OH ® CH3COOH
Tahap 1 Tahap 2
Gula > Alkohol > Cuka
Proses fermentasi langsung mengubah gula menjadi cuka maka status cuka adalah halal seperti halnya dalam pembuatan cuka apel. Namun apabila proses fermentasi tersebut berhenti terlebih dahulu di tahap 1, gula diubah menjadi alkohol (dalam hal ini berarti terbentuk produk khamr) maka tahapan fermentasi selanjutnya yang mengubah alkohol menjadi cuka akan menjadikan status cuka menjadi haram karena berasal dari khamr.
Dari Anas bin Malik, bahwasanya Abu Tholhah pernah bertanya pada Rasulullah mengenai anak yatim yang diwarisi khamr. Lantas Rasulullah berkata, “Musnahkan khamr tersebut.” Abu Thohlah bertanya, ”Bolehkah aku mengolahnya menjadi cuka?” Rasulullah menjawab, “Tidak boleh.” Contoh fermentasi cuka jenis ini adalah cider.
Sumber: Halalcorner.id
(ameera/arrahmah.com)