GOLAN (Arrahmah.id) – Kemunculan sebuah kelompok bersenjata baru yang menamakan diri mereka “Brigade Muhammad Deif” dan klaim mereka atas serangan roket terhadap pasukan ‘Israel’ di Dataran Tinggi Golan yang diduduki menimbulkan banyak pertanyaan soal makna kemunculan kelompok ini dan dampaknya terhadap situasi regional.
Menurut pengamat urusan ‘Israel’, Muhannad Mustafa, sejarah ‘Israel’ memang penuh dengan kemunculan kelompok-kelompok bersenjata yang muncul dari waktu ke waktu menantang dominasi dan kontrol keamanan Tel Aviv. Ia menyebut bahwa kelompok ini tergolong baru, apalagi mengingat Muhammad Deif, panglima tertinggi sayap militer Hamas, telah gugur.
Mustafa meyakini bahwa ini menandakan adanya kegagalan kontrol keamanan dari pihak ‘Israel’, meskipun sebelumnya mereka mengklaim telah meraih keberhasilan militer di front Lebanon dan Suriah. Namun, keberhasilan itu tidak diiringi pendekatan politik yang memadai.
Kepada Al Jazeera, Mustafa menyampaikan bahwa ketakutan ‘Israel’ sebenarnya bukan hanya tentang hilangnya kontrol keamanan, melainkan efek strategis yang lebih besar karena tidak adanya langkah politik. Menurutnya, perubahan lanskap politik Timur Tengah saat ini justru bisa menjadi bumerang bagi ‘Israel’.
Ia juga menyoroti kesepakatan Amerika Serikat dengan kelompok Houtsi (Ansarullah) di Yaman, serta negosiasi yang sedang berlangsung antara AS dan Iran terkait program nuklir Teheran, sebagai indikator perubahan itu.
Serangan dari Suriah
Radio militer ‘Israel’ melaporkan bahwa pada Selasa malam (3/6/2025), dua roket jenis Grad ditembakkan dari wilayah Daraa di selatan Suriah dan mendarat di area terbuka di Dataran Tinggi Golan yang diduduki.
Kelompok yang menamakan diri “Brigade Muhammad Deif” ini mengklaim bertanggung jawab atas serangan tersebut. Seorang komandan kelompok itu mengatakan kepada Al Jazeera bahwa serangan ini adalah respons terhadap pembantaian di Gaza, dan menegaskan bahwa aksi mereka akan terus berlanjut “hingga pengeboman terhadap rakyat tertindas di Gaza dihentikan”.
Pada akhir Januari 2025, juru bicara Brigade al-Qassam (sayap militer Hamas), Abu Ubaidah, mengumumkan gugurnya Muhammad Deif bersama sejumlah komandan senior lainnya dari dewan militer al-Qassam dalam serangan ‘Israel’.
Kritik terhadap Penggunaan Nama Deif
Sementara itu, Dekan Fakultas Ilmu Politik di Universitas al-Shamal di Idlib, Kamel Abdo, menyebut penggunaan nama Muhammad Deif oleh kelompok bersenjata ini sebagai “manipulasi murahan”. Ia meyakini bahwa kelompok tersebut tidak ada hubungannya dengan Deif maupun faksi-faksi perlawanan Palestina.
Menurut Abdo, aksi ini lebih berkaitan dengan peran dinas intelijen regional, khususnya Iran, yang menurutnya sedang terusik oleh hubungan terbuka antara Suriah dan Amerika Serikat.
Ia menilai ada upaya dari pihak-pihak tertentu untuk menyeret Suriah kembali ke dalam konflik, dan menyerukan perlunya semua pihak untuk turun tangan guna menata ulang kondisi di selatan Suriah.
Abdo juga mengkritik sikap ‘Israel’ yang dinilainya sangat arogan dalam menangani isu Suriah, termasuk dalam perundingan tidak langsung yang pernah dilakukan antara ‘Israel’ dan pemerintah Suriah. Ia menuduh ‘Israel’ bertindak semaunya, mencampuradukkan semua kartu di meja, meski sebelumnya sudah ada kesepahaman dengan Damaskus. Menurutnya, kondisi ini membingungkan pemerintah Suriah dan sangat berbahaya, bahkan bagi ‘Israel’ sendiri.
Reaksi ‘Israel’
Menanggapi serangan tersebut, Menteri Pertahanan ‘Israel’, Yisrael Katz, menegaskan bahwa Presiden Suriah, Ahmad asy Syaraa, bertanggung jawab langsung atas setiap ancaman dan tembakan ke arah ‘Israel’, dan menyatakan bahwa ‘Israel’ “akan merespons dengan keras secepat mungkin”.
Media ‘Israel’ melaporkan bahwa militer ‘Israel’ telah menyerang lokasi peluncuran roket di Suriah. Jet-jet tempur ‘Israel’ bahkan dikabarkan memecahkan batas suara di langit Suriah sebagai bentuk unjuk kekuatan.
“Lebih ke Aksi Politik daripada Militer”
Pengamat militer Brigadir Jenderal Elias Hanna menyerukan agar publik tidak gegabah menilai kejadian ini. Ia menilai bahwa berulangnya serangan roket menandakan adanya strategi tertentu dari pihak yang berkepentingan, dan dalam hal ini, pemerintah Suriah adalah pihak yang paling dirugikan, terutama mengingat negara itu baru saja mulai kembali diterima di kancah Arab dan mendapat pelonggaran sanksi internasional.
Menurut Hanna, ini lebih merupakan “tembakan politik” ketimbang aksi militer murni, karena serangan seperti itu tidak akan mampu menggoyahkan keberadaan ‘Israel’ di Dataran Tinggi Golan.
Ia juga menekankan bahwa kerugian terbesar justru diderita oleh pemerintah Suriah, karena ‘Israel’ secara efektif telah membatasi ruang gerak militer Suriah di sejumlah wilayah, termasuk di Provinsi Suwayda, selatan negara itu.
Hanna menyimpulkan bahwa ‘Israel’ melihat Suriah bukan hanya sebagai tetangga, tapi sebagai ancaman regional yang merentang sampai ke Turki, sebuah ancaman langsung terhadap keamanan nasional ‘Israel’.
Konteks Lebih Luas
Pada 8 Desember 2024, kelompok-kelompok oposisi bersenjata di Suriah mengumumkan telah mengambil alih kendali atas negara itu, mengakhiri 61 tahun kekuasaan Partai Baath dan 53 tahun kekuasaan keluarga Assad.
Sejak 1967, ‘Israel’ telah menduduki sebagian besar wilayah Dataran Tinggi Golan. Dengan runtuhnya rezim Bashar al-Assad, ‘Israel’ memanfaatkan kekacauan di Suriah untuk menguasai zona penyangga yang sebelumnya netral, dan menyatakan bahwa perjanjian pemisahan pasukan 1974 antara kedua negara telah “tidak lagi berlaku”. (zarahamala/arrahmah.id)