TRIPOLI (Arrahmah.com) – Muammar Ghaddafi berjanji pada Selasa (22/2/2011) akan tetap di Libya sebagai pemimpin revolusi, dengan mengatakan dia akan mati sebagai martir di tanah nenek moyangnya dan berjuang sampai “tetes darah terakhir”.
Ghaddafi memerintahkan tentara dan polisi untuk menangani (baca: menyerang, Red.) protes rakyat Libya terhadap pemerintahannya yang sudah berlangsung selama empat dekade dan telah menyebabkan ratusan orang tewas dalam delapan hari terakhir.
Dalam pidatonya yang ditayangkan melalui televisi nasional, pria nyentrik 68 tahun itu berkata, “Muammar Ghaddafi adalah pemimpin revolusi; Muammar Ghaddafi tidak memiliki keputusan untuk mundur. Ia adalah pemimpin revolusi. Selamanya.”
“Ini adalah negara saya, negara saya,” teriak Ghadaffi yang diselingi dengan kepalan tangannya.
Ia pun menyatakan ia akan mati sebagai martir di tanah leluhurnya dan “akan bertempur sampai tetes darah terakhir.”
“Rakyat Libya ada bersama saya,” katanya.
“Tangkap tikus-tikus itu!” katanya ditujukan pada para demonstran yang anti-rezim. “Keluarlah dari rumah kalian dan seranglah mereka dimanapun mereka berada!”
Ghadaffi menolak bahwa pihaknya telah melakukan terhadap pembantaian yang menyebabkan tewasnya sejumlah demonstran yang sebagian besar adalah pemuda. Ghadaffi berdalih bahwa korban tewas justru lebih banyak dari kalangan polisi dan tentara yang berusaha menghentikan aksi demonstrasi.
Marai Al Mahry, salah seorang saksi mata yang melintasi perbatasan Libya ke Mesir mengatakan Ghaddafi menggunakan tank, pesawat tempur, dan tentara bayaran untuk membasmi para demonstran.
Di kota timur Tobruk, seorang koresponden Reuters mengatakan ledakan sporadis terdengar, sebuah tanda terbaru bahwa peran Ghaddafi di negara pengekspor minyak dan gas itu melemah
“Semua wilayah timur berada di luar kendali Ghaddafi sekarang,” kata koresponden Reuters.
Gedung Putih menyatakan belasungkawa atas “kekerasan yang mengerikan” di Libya dan mengatakan masyarakat internasional harus segera membahas dan punya satu suara mengenai krisis ini.
Di kota timur al-Bayda, menurut laporan, terdapat 26 orang yang telah ditembak mati dalam waktu satu malam oleh loyalis Ghaddafi.
“Mereka menembak siapapun yang berjalan di jalanan,” kata salah seorang warga.
Pengunjuk rasa diserang dengan tank dan pesawat tempur, katanya.
“Satu-satunya hal yang bisa kami lakukan sekarang adalah tidak menyerah, tidak menyerah. Kami tidak akan mundur. Dalam kondisi apapun, kami akhirnya akan mati, suka atau tidak,” kata Mahry (42).
Human Rights Watch mengatakan, 62 orang telah tewas pada bentrokan di Tripoli dalam dua hari terakhir, menambah jumlah sebelumnya, yakni dari 233 jiwa. Kelompok-kelompok oposisi menyebutkan angka kematian jauh lebih tinggi.
Pemberontakan di Libya, produsen minyak terbesar ketiga di Afrika, telah mendorong harga minyak terus meninggi hingga di atas $ 108 per barel, dan OPEC mengatakan akan memproduksi minyak mentah lebih banyak jika pasokan dari anggota Libya telah terganggu. (althaf/arrahmah.com)