YERUSALEM (Arrahmah.id) - Tepat pukul sepuluh pagi pada Selasa (23/12/2025), kehidupan warga di Kamp Qalandiya serta lingkungan Kafr Aqab dan Samira Mays, di utara Kota Yerusalem, berubah drastis. Hal ini terjadi setelah operasi penggerebekan besar-besaran yang dilakukan polisi dan militer pendudukan 'Israel', didampingi oleh sekitar 10 lembaga pemerintah lainnya. Selama berjam-jam, operasi tersebut menyasar manusia, bangunan, dan lingkungan, sebelum pasukan pendudukan akhirnya mundur, meninggalkan kerusakan parah dan kerugian materi yang sangat besar.
Penggerebekan dilakukan melalui tiga jalur utama: pos militer Qalandiya, permukiman ilegal “Kokhav Yaakov” yang dibangun di atas tanah rampasan milik Desa Kafr Aqab, serta permukiman “Psagot” di Jabal al-Tawil yang berdiri di atas tanah Kota al-Bireh.
Begitu pasukan memasuki wilayah tersebut, serangan langsung dilakukan terhadap seluruh toko yang berjajar di sepanjang jalan Qalandiya, Kafr Aqab, dan Samira Mays. Operasi ini disertai dengan peluncuran granat suara dan gas air mata, serta pengubahan kawasan itu menjadi zona militer. Beberapa atap rumah diduduki dan tim penembak jitu ditempatkan di atasnya.
Al Jazeera Net mewawancarai Ketua Komite Lingkungan Yerusalem Utara, Munir Zaghir, mengenai alasan di balik operasi ini. Menurutnya, antara 200 hingga 300 tentara infanteri terlibat. Ia mengatakan bahwa “kapten” wilayah militer yang baru ditugaskan di kawasan tersebut ingin menunjukkan eksistensinya, sehingga memerintahkan pelanggaran besar-besaran yang kemudian terdokumentasi dan tersebar luas di media dan media sosial.
Aksi brutal dan teror
Zaghir menambahkan, “Setiap kali seorang komandan baru mengambil alih wilayah ini, kami selalu menyaksikan penggerebekan besar yang disertai aksi brutal dan kehancuran luas. Tidak benar klaim mereka bahwa ini adalah operasi penegakan hukum.”
Menurutnya, jika benar itu penegakan hukum, pasukan pendudukan tidak akan melarang para lansia kembali ke rumah mereka, tidak akan meneror para pelajar dan menghambat pendidikan mereka, serta tidak akan menargetkan warga sipil dengan gas beracun yang menembus balkon-balkon rumah.
Ia menegaskan bahwa pesan yang ingin disampaikan 'Israel' kepada warga adalah bahwa mereka tidak memiliki keistimewaan apa pun meski berstatus sebagai warga Yerusalem, dan bahwa mereka diperlakukan sebagai musuh, bukan warga negara.
Zaghir menjelaskan bahwa penggerebekan ini berdampak langsung pada sekitar 3.600 mobil dan 1.000 sepeda motor yang setiap hari digunakan warga Kafr Aqab untuk pergi bekerja menuju pusat kota melalui pos militer Qalandiya. Selain itu, sekitar 100 ribu warga Palestina pemegang kartu identitas 'Israel' (kartu biru) dengan alamat “Kafr Aqab” juga terdampak.
Ia menambahkan bahwa sekitar 20 ribu warga Palestina tercatat beralamat “Kota Tua” dalam kartu identitas mereka, namun tinggal di balik tembok pemisah setelah membeli apartemen di kawasan tersebut. Selain itu, terdapat sekitar 10 ribu orang dari keluarga “pernikahan campuran”, salah satu pasangan memegang kartu identitas 'Israel' dan yang lain identitas Tepi Barat, yang masih menunggu proses penyatuan keluarga untuk memperoleh hak tinggal di Yerusalem.
Menurut Zaghir, kehidupan seluruh kelompok ini lumpuh total akibat penggerebekan luas yang dilakukan oleh tentara yang ia sebut sebagai “anak buah Ben-Gvir”. Tujuannya tak lain adalah menekan warga melalui pungutan dan tekanan ekonomi demi mendorong mereka hengkang dari Yerusalem, menyengsarakan kehidupan mereka, dan menjejalkan lebih banyak praktik diskriminasi rasial.
“Pembantaian pembongkaran”
Direktur Kantor Gubernur Yerusalem di Kamp Qalandiya, Zakaria Fayala, mengatakan kepada Al Jazeera Net bahwa warga terkejut dengan tingkat perusakan yang menyertai penggerebekan tersebut. Mulai dari perataan kios-kios, toko-toko, papan reklame, hingga baliho besar, dengan dalih “operasi penertiban”. Selain itu, banyak barang dagangan disita dan sebagian dihancurkan di depan mata para pedagang, dengan alasan tidak layak konsumsi atau tidak memenuhi standar pengawasan.
Fayala menyoroti dikeluarkannya perintah pengosongan lapangan terhadap lima rumah di pintu masuk Kamp Qalandiya, yang kemudian diubah menjadi pos militer. Pemilik rumah diberi tahu bahwa mereka tidak boleh kembali hingga pagi hari berikutnya, sebelum pasukan akhirnya menarik diri dari kawasan tersebut.
Ia juga menyebutkan bahwa jumlah tentara yang sangat besar dikerahkan untuk menyisir gang-gang kamp. Bahkan, “Pusat Pemuda Qalandiya” diubah menjadi pos militer selama beberapa jam sebelum akhirnya ditinggalkan, dan penjaganya yang sebelumnya dipukuli dibebaskan setelah ditahan sepanjang operasi.
Ketika ditanya tentang pesan yang ingin disampaikan 'Israel' melalui penggerebekan besar ini, Fayala menjawab: “Mereka ingin memaksakan realitas baru di kawasan yang dihuni 180 ribu orang, termasuk 150 ribu warga Yerusalem pemegang kartu identitas 'Israel'.”
Pajak tinggi, layanan nihil
Warga Kafr Aqab membayar seluruh pajak yang diwajibkan kepada warga Yerusalem, meskipun infrastruktur di kawasan ini sangat buruk dan terabaikan. Belakangan, pemerintah kota 'Israel' juga memutuskan bahwa apartemen yang dibangun setelah tahun 2020 harus dikenai pajak properti (arnona) dengan klasifikasi “A”, tarif tertinggi per meter persegi. Artinya, pajak di kawasan minim layanan ini disamakan dengan kawasan paling mewah di Yerusalem Barat.
Tak jauh dari Kafr Aqab dan Kamp Qalandiya, pemerintah kota 'Israel' juga mendorong pembangunan permukiman raksasa yang mencakup 9.000 unit hunian baru di atas lahan Bandara Internasional Yerusalem di Desa Qalandiya. Untuk merealisasikan proyek ini, banyak rumah warga Palestina akan diratakan. (zarahamala/arrahmah.id)
Laporan Khusus Al Jazeera Arabic
