DAMASKUS (Arrahmah.id) – Dalam beberapa hari terakhir, spekulasi makin santer soal kemungkinan normalisasi hubungan antara Suriah dan ‘Israel’. Media ‘Israel’ ramai memberitakan bahwa kedua negara dikabarkan hampir mencapai kesepakatan damai yang akan ditandatangani sebelum akhir 2025. Salah satu poin yang paling kontroversial adalah soal Dataran Tinggi Golan, wilayah Suriah yang telah diduduki ‘Israel’ sejak 1967. Namun, kemungkinan ‘Israel’ mengembalikan wilayah itu hampir mustahil.
Otoritas Suriah sejauh ini hanya mengakui adanya perundingan tidak langsung dengan ‘Israel’, dan itu pun sebatas isu keamanan. Fokusnya adalah menghidupkan kembali Perjanjian Pelepasan 1974, yang dilanggar ‘Israel’ setelah jatuhnya rezim Assad pada Desember 2024. Saat itu, ‘Israel’ menduduki zona demiliterisasi di timur Golan dan menggempur sejumlah pangkalan militer Suriah.
Damai Sebelum 2025?
Kabar terbaru tentang negosiasi ini muncul dari situs berita ‘Israel’ i24 News pada Jumat lalu (27/6/2025). Mengutip “sumber Suriah”, laporan itu menyebut bahwa Suriah dan ‘Israel’ akan menandatangani perjanjian damai sebelum akhir 2025. Dalam kesepakatan itu, Dataran Tinggi Golan disebut-sebut akan diubah menjadi “taman perdamaian”. Sumber yang sama menyebut bahwa ‘Israel’ akan secara bertahap mundur dari wilayah-wilayah Suriah yang didudukinya sejak 8 Desember 2024, termasuk puncak Gunung Hermon, sebuah sinyal awal ke arah perdamaian.
Namun tak lama setelah kabar itu beredar, Menteri Luar Negeri ‘Israel’, Gideon Saar, menegaskan bahwa pendudukan ‘Israel’ atas Dataran Tinggi Golan adalah syarat mutlak bagi kesepakatan apa pun. Dalam wawancaranya Sabtu lalu (28/6), ia menyatakan bahwa Suriah harus mengakui “kedaulatan Israel” atas Golan jika ingin menjalin normalisasi.
Apa Tanggapan Suriah?
Pemerintah Suriah belum mengomentari laporan-laporan tentang kemungkinan perjanjian damai ataupun pernyataan Gideon Saar. Namun Presiden Suriah Ahmad asy Syaraa sebelumnya telah mengakui adanya negosiasi tidak langsung dengan ‘Israel’.
Setelah tumbangnya rezim Assad, ‘Israel’ semakin agresif: melanggar kesepakatan 1974, menduduki zona penyangga, dan melakukan serangan udara hampir setiap hari. Serangan besar-besaran pada Desember lalu diklaim menghancurkan senjata strategis Suriah. ‘Israel’ terus mengabaikan resolusi-resolusi PBB yang memerintahkan penarikan dari wilayah Golan dan mengecam aneksasi ilegal yang dilakukannya pada 1981.
Pengamat politik Zaidoun al-Zoubi menyatakan kepada Al-Araby Al-Jadeed bahwa Suriah “tidak akan menerima solusi atau perjanjian apa pun yang tidak mengembalikan Golan sepenuhnya di bawah kedaulatan Suriah”. Ia menyebut gagasan “taman perdamaian” sebagai upaya mencabut Golan dari tubuh Suriah. “Saya yakin otoritas Suriah tak akan menerima kesepakatan yang mengarah ke situ,” ujarnya.
Bagaimana Sikap Publik Suriah?
Sejak ‘Israel’ menduduki Golan pada 1967, sebagian besar warga Suriah di wilayah itu mengungsi. Kini, ratusan ribu pengungsi dan keturunan mereka menanti kesempatan untuk kembali ke kampung halaman mereka.
Jika pemerintah baru Suriah melanjutkan kesepakatan yang mengandung kompromi wilayah, mereka akan menghadapi penolakan besar dari publik. Banyak yang melihat bahwa ‘Israel’ memanfaatkan lemahnya kondisi militer Suriah untuk memaksakan syarat.
Analis politik Radwan Ziadeh menyebut bahwa pemerintahan Suriah saat ini bersifat transisional dan tidak memiliki kewenangan untuk menandatangani perjanjian permanen, terlebih karena tidak ada badan legislatif yang bisa meratifikasinya. Ia juga menyebut pembicaraan ini “hampir pasti gagal” karena dipengaruhi oleh pemerintahan ekstrem kanan di bawah Benjamin Netanyahu.
Sementara itu, Khaled Khalil, pakar urusan ‘Israel’, menyatakan bahwa selama Netanyahu masih berkuasa, normalisasi dengan Suriah sangat tidak mungkin. “Publik Suriah tidak akan menerima perdamaian dengan negara berdarah. Damai yang dipaksakan tak akan diterima,” ujarnya.
Lalu, Bagaimana Status Perundingan Saat Ini?
Meski pemerintah Suriah belum mengeluarkan pernyataan resmi, perundingan tampaknya masih berjalan. Khalil menyebut bahwa AS mendorong tercapainya normalisasi antara Suriah dan ‘Israel’ untuk menghentikan konflik terbuka dan membuka jalan bagi kerja sama politik lebih lanjut. Namun, detail dan tingkat pembicaraan masih belum jelas.
Ia menambahkan bahwa pemerintah ‘Israel’ kemungkinan sedang memanfaatkan proses ini sebagai propaganda, sementara pemerintah Suriah mencoba bersikap realistis meskipun menghadapi agresi terbuka dari ‘Israel’.
Menurut Khalil, Suriah tampaknya mengincar kesepakatan keamanan yang bisa menghentikan serangan-serangan ‘Israel’ dan memastikan ‘Israel’ mundur dari wilayah yang baru diduduki setelah Desember 2024. Meski bukan perjanjian damai penuh, ini bisa menjadi langkah awal. Tapi ia menekankan, Suriah tidak akan pernah menormalisasi hubungan dengan ‘Israel’ secara sepihak. (zarahamala/arrahmah.id)