ROMA (Arrahmah.id) – Sebuah laporan dari surat kabar Italia Il Manifesto mengungkap bahwa pernyataan Perdana Menteri “Israel”, Benjamin Netanyahu, dan sejumlah menterinya terkait perlindungan terhadap komunitas Druze serta distribusi bantuan kemanusiaan di As-Suwayda, Suriah, adalah bagian dari strategi lama untuk memecah belah kawasan berdasarkan sektarianisme.
Penulis Italia, Lorenzo Trombetta, menjelaskan bahwa kebijakan ini mirip dengan strategi kolonial Prancis seabad lalu di Suriah dan Lebanon, yang bertujuan mempertahankan kendali dengan memperburuk perpecahan sektarian.
Taktik “Israel” di Suriah
Menteri Luar Negeri “Israel”, Gideon Sa’ar, secara terang-terangan mengungkap pendekatan ini ketika mengomentari distribusi bantuan ke komunitas Druze di Suriah:
“Di kawasan di mana kita akan selalu menjadi minoritas, adalah benar dan perlu untuk mendukung minoritas lainnya.”
Menurut Trombetta, Prancis dulu menerapkan strategi serupa untuk memastikan Suriah dan Lebanon tetap terpecah secara internal. Namun, kini strategi “Israel” dihadapkan pada tantangan baru, termasuk perjanjian antara Damaskus dan Pasukan Demokratik Suriah (SDF) serta negosiasi antara pemerintah Suriah dan komunitas Druze di As-Suwayda.
Langkah Militer “Israel” di Selatan Suriah
Setelah kejatuhan Bashar al-Assad pada Desember lalu, militer “Israel” memanfaatkan kekosongan kekuasaan dengan menguasai puncak Gunung Hermon yang menghadap Damaskus serta memperluas kehadiran mereka hingga Sungai Yarmouk, yang bermuara di Danau Tiberias.
Menurut Trombetta, komunitas Druze di As-Suwayda dipandang sebagai sekutu potensial bagi “Israel” dalam memperkuat pengaruh di timur Golan, yang sebelumnya merupakan wilayah dengan kehadiran kuat Iran dan Hizbullah hingga beberapa bulan lalu.
Pendekatan Halus Tanpa Serangan
Jika di Gaza “Israel” menggunakan taktik serangan udara dan penghancuran infrastruktur, di selatan Suriah mereka menerapkan strategi yang lebih fleksibel dan halus.
Beberapa saksi mata melaporkan bahwa perwira tinggi “Israel” telah menjalin komunikasi langsung dengan elit desa di Quneitra dan Lembah Yarmouk, menggunakan bahasa Arab yang fasih.
Selain itu, “Israel” diketahui merekrut perwira Druze dari Galilea serta dari Damaskus dan Aleppo untuk membangun hubungan dengan masyarakat lokal.
Namun, hingga saat ini belum ada tanda-tanda bahwa komunitas di Quneitra bersedia bekerja sama dengan “Israel” dalam strategi ini.
(Samirmusa/arrahmah.id)