1. Opini
  2. Geopolitik

Mengapa Netanyahu Takut dengan Kembalinya Turki ke Gaza?

Oleh Samir al-Araki Penulis dan peneliti urusan Turki
Diperbaru: Ahad, 19 Oktober 2025 / 27 Rabiul akhir 1447 10:32
Mengapa Netanyahu Takut dengan Kembalinya Turki ke Gaza?
Perdana Menteri “Israel” Benjamin Netanyahu (kanan) dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan (Al Jazeera)

(Arrahmah.id) – “Turki tidak lagi sekadar mediator sementara, melainkan telah menjadi pemain utama dan salah satu arsitek tatanan baru.”
Demikianlah pernyataan Oded Ilam, mantan Kepala Unit Anti-Teror di Mossad, menggambarkan peran baru Turki yang mencuat dalam perundingan kesepakatan gencatan senjata di Jalur Gaza.

Turki memang terlibat sejak awal dalam krisis ini, namun tidak menjadi pihak utama dalam perundingan yang berlangsung hampir dua tahun di bawah mediasi gabungan Qatar dan Mesir.
Namun, Ankara berhasil membuat perbedaan besar ketika akhirnya turun langsung bersama Kairo dan Doha hingga tercapai kesepakatan gencatan senjata.
Atas kontribusi tersebut, Presiden Amerika Serikat Donald Trump berulang kali memuji Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan — terakhir dalam pidatonya di Konferensi Perdamaian di Sharm el-Sheikh, Mesir — dengan menegaskan bahwa Turki kini menjadi salah satu penjamin utama kesepakatan itu.

Keharmonisan antara Washington dan Ankara — lebih tepatnya antara Trump dan Erdoğan — justru menimbulkan kekhawatiran di dalam tubuh penjajah “Israel”.
Oded Ilam menyebut, “Erdoğan, dengan dukungan Trump, mampu mengubah krisis menjadi peluang — dan ia telah melakukannya lagi.”

Kecemasan “Israel” itu terkait erat dengan peran yang mungkin dimainkan Turki setelah perang berakhir, terutama dalam urusan keamanan, rekonstruksi, dan pembentukan pemerintahan baru yang akan mengelola Gaza.

Noga Lazimi, pakar dari Misgav Institute for National Security, menegaskan:
“Keterlibatan Turki dalam kesepakatan Gaza berarti pengakuan terhadapnya sebagai kekuatan Sunni yang berpengaruh. Ini sekaligus mengakui kenyataan bahwa tidak mungkin tercapai kesepakatan regional yang komprehensif, khususnya terkait isu Palestina, tanpa partisipasi Turki.”

Tel Aviv menyadari bahwa keterlibatan Turki sangat berbeda dari Iran, yang selama ini tidak mendapat dukungan populer di dunia Arab karena perbedaan sektarian serta kebijakan destruktifnya di Suriah, Irak, Lebanon, dan Yaman.

Namun, situasinya benar-benar berbeda dengan Turki. Dalam beberapa tahun terakhir, diplomasi Ankara berhasil memperbaiki hubungan dengan banyak negara kawasan yang sempat renggang akibat gelombang Arab Spring.
Krisis Gaza justru membuka peluang baru bagi kerja sama regional yang lebih erat.

Inilah sebabnya “Israel” menilai keterlibatan Turki berpotensi menjadi ancaman strategis jangka panjang.
Pakar kontra-terorisme “Israel”, Ely Karmon, memperingatkan bahwa “situasi ini akan menjadi ancaman tambahan bagi Israel dalam jangka panjang, selain ancaman dari Suriah.”

Menjaga Gaza Tetap Hidup

Salah satu aspek utama dari strategi Turki — yang bertentangan dengan rencana “Israel” — adalah mempertahankan keberadaan Jalur Gaza bersama penduduk dan kelompok perlawanan di dalamnya, bahkan jika senjata mereka harus dibekukan atau diserahkan di bawah skenario terburuk.

Bagi Ankara, perlawanan Palestina bukan sekadar pertahanan bagi Palestina, tetapi juga benteng bagi Anatolia. Erdoğan bahkan pernah menyamakan mereka dengan Kuva-yi Milliye — gerakan perlawanan nasional Turki yang menjadi ujung tombak perjuangan kemerdekaan setelah Perang Dunia I.

Karena itu, Turki tidak mungkin membiarkan perlawanan Palestina hancur total. Namun, menghadapi genosida yang dilakukan “Israel” terhadap warga Gaza, Ankara memilih langkah realistis: menghentikan pembantaian terlebih dahulu, meskipun harus menahan aktivitas militer perlawanan untuk sementara waktu.

Turki pernah menghadapi situasi serupa di Suriah, ketika bergabung dalam proses Astana dan perjanjian de-eskalasi demi mencegah kehancuran total revolusi Suriah dan eksodus besar warga Idlib.
Langkah itu memberi kesempatan bagi oposisi Suriah untuk menata ulang barisan mereka dan memanfaatkan perubahan geopolitik baru.

Tel Aviv khawatir, dengan kehadiran Turki di Gaza, Ankara tidak akan membongkar infrastruktur perlawanan — bahkan mungkin melindunginya, sebagaimana dulu melindungi pasukan revolusi Suriah di wilayah utara.

Selain itu, upaya Turki mempertahankan penduduk Gaza dan mencegah pengusiran massal mereka jelas menjadi pukulan telak bagi rencana “Israel” yang ingin menggusur warga dan menggantinya dengan proyek permukiman baru.

Kembalinya Turki ke Gaza

Jika semua berjalan sesuai rencana, Turki akan menjadi bagian dari pasukan internasional yang bertugas di Gaza pascaperang.
Kehadiran militer Turki — untuk pertama kalinya dalam lebih dari satu abad — adalah skenario yang paling ditakuti oleh “Israel”.

Menurut Ely Karmon, “Turki jauh lebih kuat secara militer dibanding Iran.”
Ia mengingatkan bahwa Ankara selama ini memboikot ekonomi “Israel”, menutup pelabuhannya bagi kapal “Israel”, melarang penerbangan militer melintas di wilayahnya, menolak kerja sama di berbagai bidang, dan bahkan berusaha menyatukan kekuatan Arab untuk menghadang ekspansi “Israel” di kawasan.

Karmon juga menyinggung peran aktif Turki dalam menggagalkan aktivitas “Israel” di ladang gas Mediterania serta penandatanganan perjanjian maritim dengan Libya yang memotong wilayah ekonomi eksklusif “Israel”.

Ketegangan diplomatik itu semakin jelas ketika Erdoğan menolak berada satu panggung dengan Netanyahu di Konferensi Perdamaian Sharm el-Sheikh, bahkan mengancam membatalkan kehadirannya jika Netanyahu datang — hingga akhirnya Netanyahu benar-benar absen.

Kondisi hubungan yang sangat tegang ini membuat “Israel” tak dapat menerima kehadiran pasukan Turki di perbatasan selatannya.
Langkah Erdoğan itu dianggap sebagai strategi tandingan, apalagi ia pernah memperingatkan bahwa setiap kekuatan “Israel” yang mendekati perbatasan Turki akan ditanggapi serius.

Sebagian analis “Israel” bahkan memperkirakan bahwa jika pasukan Turki menjadi bagian dari misi internasional dan perusahaan-perusahaan konstruksi Turki terlibat dalam pembangunan kembali Gaza, maka “Hamas akan tetap menjadi faktor berpengaruh di sana.”

Kerja Sama Regional Baru

Salah satu pendekatan utama Ankara dalam menangani krisis Gaza adalah membangun kerja sama regional dan Islam yang kuat.
Turki tidak bergerak sendiri, tetapi bekerja bersama Liga Arab dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) yang membentuk komite khusus dari sejumlah negara.

Koordinasi ini diperkuat dengan kerja sama trilateral antara Turki, Mesir, dan Qatar yang berhasil meyakinkan pemerintahan Trump untuk mengakhiri perang dan memulai tahap rekonstruksi Gaza — sebagaimana diakui sendiri oleh Trump dalam pertemuan di Sharm el-Sheikh.

Oded Ilam menilai bahwa dalam satu dekade terakhir, Turki tidak hanya memperkuat kekuatan maritimnya dengan kapal selam dan kapal induk ringan, tetapi juga meningkatkan kerja sama militer dan ekonomi dengan berbagai negara Timur Tengah.

Yang paling mengkhawatirkan bagi Tel Aviv adalah meningkatnya kerja sama keamanan antara Turki dan Mesir, termasuk latihan militer gabungan di Laut Tengah.
Kedua negara ini — yang sempat berseteru pasca kudeta 2013 — kini menutup babak lama dan tampil bersatu dalam menghadapi ancaman “Israel” yang semakin meluas.

Karena itu, langkah selanjutnya yang diantisipasi adalah semakin eratnya kolaborasi Turki-Mesir sebagai strategi jangka panjang untuk mengelola Gaza pascaperang.
Sebaliknya, Tel Aviv akan berusaha keras menggagalkan kerja sama ini agar tidak berkembang menjadi blok strategis anti-“Israel”.

Setelah Gaza

Upaya besar Turki menghentikan perang di Gaza — yang mendapat apresiasi langsung dari Trump — akan dijadikan Ankara sebagai pijakan untuk memperkuat strategi keamanannya dan memperluas pengaruh regionalnya.

Salah satu arena utama dari kebijakan baru itu adalah Suriah.
Turki bertekad mengakhiri ancaman yang ditimbulkan oleh Pasukan Demokratik Suriah (SDF), baik melalui jalur diplomasi maupun operasi militer, sebelum akhir tahun ini.
Ankara memperkirakan bahwa Washington akan menarik dukungannya terhadap kelompok tersebut, karena Trump masih membutuhkan peran mediasi Erdoğan dalam mengakhiri perang Ukraina, mengingat hubungan baik Turki dengan kedua pihak.

Stabilisasi situasi keamanan di Suriah akan memperkuat kemampuan pertahanan negara itu — dan dampaknya bisa dirasakan hingga ke wilayah Suwaida — sesuatu yang tentu tidak diinginkan oleh “Israel”.
Tel Aviv memahami bahwa kebangkitan kembali negara Suriah dengan dukungan Turki akan menjadi ancaman langsung terhadap keamanan “Israel”.

Penutup

Shai Gal, analis “Israel”, menggambarkan kekhawatiran elite politiknya dengan kalimat:
“Tahap berikutnya bukan lagi perang militer, melainkan perang pengetahuan. Israel berusaha menetapkan realitas sebelum Doha dan Ankara menulis ulang peta kawasan dengan bahasa Hamas. Jika keduanya diberi tempat di meja perundingan, maka penghentian perang akan dianggap kekalahan; tetapi jika disingkirkan, sistem baru akan lahir — kemenangan mutlak, kekuasaan tanpa mediator, dan efek jera permanen.”

Namun faktanya, baik Ankara maupun Doha kini sudah duduk di meja perundingan — dan perjalanan ke depan masih penuh tantangan yang belum terselesaikan.

Sumber: Aljazeera Arabic

(*/arrahmah.id)

Editor: Samir Musa