Memuat...

Al-Qassam Tampilkan Juru Bicara Baru, Tegaskan Perlawanan Bukan Soal Figur

Zarah Amala
Selasa, 30 Desember 2025 / 10 Rajab 1447 10:23
Al-Qassam Tampilkan Juru Bicara Baru, Tegaskan Perlawanan Bukan Soal Figur
Juru bicara Al-Qassam yang baru (Foto; tangkapan video)

GAZA (Arrahmah.id) - Kemunculan perdana juru bicara baru Brigade Izzuddin al-Qassam, sayap militer Gerakan Perlawanan Islam (Hamas), memuat serangkaian pesan politik, visual, dan organisasi yang saling terkait. Pesan-pesan tersebut tidak hanya terbatas pada penyampaian kabar wafatnya juru bicara sebelumnya, tetapi juga mencerminkan upaya gerakan untuk menegaskan kembali citra dan perannya.

Menurut para analis, al-Qassam mempertahankan pendekatan keamanan yang terukur dalam penampilan ini dengan tetap menggunakan nama dan penampilan yang sama, serta menonjolkan senjata perlawanan sebagai simbol yang disengaja. Hal ini disertai penegasan bahwa kebijakan pembunuhan terarah 'Israel' tidak berhasil merusak struktur perlawanan.

Penulis dan analis politik Iyad al-Qarra menilai bahwa pidato tersebut merupakan beban ganda bagi juru bicara baru, mengingat posisi dan pengaruh media yang telah dibangun juru bicara sebelumnya, Abu Ubaidah, selama dua dekade. Meski demikian, ia melihat adanya kemampuan untuk melanjutkan penyampaian pesan dengan bentuk dan substansi yang sama.

Dalam keterangannya kepada Al Jazeera, al-Qarra mengatakan al-Qassam secara sengaja memilih waktu dan cara kemunculan tersebut untuk menyampaikan pesan bahwa “pembunuhan tokoh tidak berarti berakhirnya peran, dan bahwa jalan perlawanan tetap berlanjut meski para simbolnya gugur.”

Pada Senin (29/12/2025), al-Qassam secara resmi mengumumkan syahidnya juru bicara mereka, Abu Ubaidah, sekaligus untuk pertama kalinya mengungkap nama aslinya, yakni Hudhaifa Samir Abdullah al-Kahlout (Abu Ibrahim). Pengumuman itu disampaikan dalam pidato video oleh penggantinya, yang juga menggunakan nama Abu Ubaidah.

Abu Ubaidah sebelumnya telah menjalankan tugas sebagai juru bicara Brigade al-Qassam selama bertahun-tahun tanpa pernah mengungkap identitas aslinya. Selama dua dekade, ia memperoleh pengaruh besar di tingkat Arab dan Islam, yang semakin menguat hingga pecahnya operasi “Banjir Al-Aqsa”.

Menurut al-Qarra, bagian terpenting dari pidato tersebut diarahkan kepada publik Palestina, khususnya di Jalur Gaza, dengan menegaskan bahwa al-Qassam dan perlawanan berada dalam keterikatan langsung dengan masyarakat Palestina serta menanggung beban konfrontasi bersama-sama.

Ia menambahkan bahwa pidato itu juga memuat pesan tegas mengenai legitimasi senjata perlawanan dan keterkaitannya langsung dengan menghadapi pendudukan, sekaligus menyasar publik Arab untuk memperingatkan bahaya eskalasi serangan 'Israel' di kawasan.

Sementara itu, Ketua Jurusan Ilmu Politik Universitas Hebron, Bilal al-Shobaki, menilai kemunculan pertama juru bicara baru tersebut sebagai penegasan bahwa “Abu Ubaida” telah menjadi kerangka institusional yang tidak lagi bergantung pada satu individu.

Menurut al-Shobaki, penggabungan antara penyampaian duka atas tokoh sebelumnya dan kemunculan juru bicara baru dengan penampilan yang sama menegaskan pesan kesinambungan, sekaligus menunjukkan kegagalan strategi 'Israel' dalam melemahkan Hamas, termasuk perangkat medianya.

Terkait senjata, al-Shobaki mengatakan bahwa penekanan pada senjata perlawanan sebagai “senapan Palestina yang sederhana” bukanlah hal yang spontan, melainkan bagian dari pesan terukur untuk menepis dalih yang melebih-lebihkan kemampuan militer perlawanan.

Ia menilai Hamas berupaya mendefinisikan ulang senjata sebagai simbol hak rakyat Palestina untuk melawan, bukan sebagai persenjataan yang mengancam eksistensi 'Israel'.

Ia juga menambahkan bahwa pidato tersebut kembali menyajikan narasi peristiwa 7 Oktober 2023 dari sudut pandang Palestina, sebagai respons atas bertahun-tahun pengepungan dan agresi, sembari menegaskan bahwa Hamas, meskipun terjadi pelanggaran oleh 'Israel', masih memandang gencatan senjata sebagai opsi untuk menghentikan pelanggaran dan mempertimbangkan aspek kemanusiaan.

Peneliti isu 'Israel', Adel Shadid, mengaitkan pidato tersebut dengan konteks politik saat ini. Ia menilai kemunculan pidato itu dari Brigade al-Qassam, bukan dari pimpinan politik, dan menjelang pertemuan politik Amerika Serikat–'Israel', sebagai pesan langsung bahwa masa depan Jalur Gaza tidak dapat ditentukan tanpa perlawanan.

Shadid menegaskan bahwa pidato tersebut mematahkan anggapan bahwa rakyat Palestina absen dari pengaturan masa depan apa pun, dengan menegaskan kehadiran al-Qassam sebagai aktor lapangan utama.

Ia juga menyebut bahwa pembahasan soal senjata disampaikan dengan arah berlawanan, dengan mengalihkan fokus ke senjata 'Israel' dan dampaknya di tingkat regional. Menurutnya, liputan luas media Ibrani dan penerjemahan cepat pidato tersebut mencerminkan besarnya perhatian lembaga keamanan dan pusat kajian 'Israel' terhadap pesan itu.

Shadid menyimpulkan bahwa penegasan kembali struktur organisasi Hamas pada saat ini melemahkan narasi resmi 'Israel' dan menambah tekanan terhadap kepemimpinan politiknya, di tengah pengakuan bahwa capaian militer belum berhasil diterjemahkan menjadi keuntungan politik.

Dalam pidatonya, juru bicara baru al-Qassam menegaskan bahwa peristiwa “7 Oktober” merupakan “ledakan dahsyat di hadapan ketidakadilan, penindasan, pengepungan, dan seluruh bentuk agresi terhadap Al-Aqsa dan rakyat Palestina, yang telah melampaui semua garis merah serta mengabaikan tuntutan, peringatan, dan seluruh perjanjian.”

Ia menegaskan bahwa “Banjir Al-Aqsa datang untuk meluruskan arah dan mengembalikan isu Palestina ke panggung utama, setelah sebelumnya mulai terpinggirkan dan dilupakan.” (zarahamala/arrahmah.id)

HeadlinePalestinabrigade al-qassamabu ubaidajuru bicara baru